Indonesia-Vietnam, dari Kendang Perunggu hingga Pulau Galang

Indonesia dan Vietnam memiliki hubungan sejarah yang erat pada masa silam sejak masa prasejarah hingga era modern kini.

Republik Vietnam baru saja mengakhiri helatan SEA Games dengan sukses, Senin (23/5/2022), dan menjadi juara umum perolehan medali emas. Di balik penyelenggaraan SEA Games, Indonesia dan Vietnam memiliki hubungan sejarah yang erat pada masa silam sejak masa prasejarah, yakni era Dong Son atau budaya perunggu sejak lebih dari lima abad hingga abad Ke-1 Sebelum Masehi.

Pada era Dong Son, berbagai perkakas perunggu, seperti kendang perunggu raksasa, yakni nekara, diboyong dan berkembang di Nusantara. Salah satunya adalah nekara di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan.

Sejarawan John Bastin dan Harry Benda dalam buku A History of South East Asia menuliskan, ketika Kepulauan Nusantara dan daratan Asia Tenggara masih menyatu, mulai terjadi migrasi kelompok manusia dari daratan Asia Tenggara ke wilayah yang kelak menjadi kepulauan Nusantara mengikuti alur-alur sungai besar yang kemudian menjadi lautan di Teluk Thailand, Laut China Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, dan lain-lain perairan di Nusantara.

Perpindahan penduduk pada periode Budaya Perunggu mengakibatkan berkembangnya budaya tersebut hingga wilayah timur Kepulauan Nusantara. Pada saat yang sama, masyarakat Mon bermigrasi dari lembah Menam ke Myanmar, masyarakat Khmer berpindah ke lembah Mekong, dan masyarakat Viet (cikal bakal Vietnam) migrasi ke delta Sungai Merah (sekitar Kota Hanoi).

Kompas/Indira Permanasari
Arsip foto 21 Mei 2013 menunjukkan seni wayang air berkembang di delta Sungai Merah, Hanoi, Vietnam dan dipraktikkan oleh petani padi selama berabad-abad. Di kota Hanoi, ada pertunjukkan rutin wayang air di sebuah teater di dekat Old Quarter.

Tidak jauh dari wilayah hunian masyarakat Viet berkembang masyarakat Cham atau Champa dan di wilayah paling selatan pada awal abad Masehi berkembang Kerajaan Funan yang berintikan bangsa Khmer (cikal bakal Kamboja).

Keberadaan masyarakat Cham terkait dengan perkembangan Islam di China yang selanjutnya berkembang luas di Nusantara pada era akhir Majapahit. Ini terkait dengan ekspedisi Zheng He alias Cheng Ho pada 1400-an yang menimbulkan daerah hunian Muslim di daerah pesisir yang dikunjungi armada Zheng He.

Masyarakat Cham yang dikenal dengan narasi Putri Campa dalam sejarah di masyarakat Jawa kini mendiami wilayah Vietnam dan Kamboja.

Sejarawan Slamet B Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara mencatat tentang kaitan segitiga Tiongkok–Campa–Jawa dalam perkembangan Islam di Nusantara, terutama terkait masa Wali Songo dan Kesultanan Demak Bintoro yang dipimpin oleh Raden Patah atau dikenal juga sebagai Lo Jim Bun. Berbagai artefak Tionghoa masih dapat dilihat di Mesjid Agung Demak saat ini, seperti tiang utama atau Saka Tatal, dan sepatu.

Masyarakat Cham yang dikenal dengan narasi Putri Campa dalam sejarah di masyarakat Jawa kini mendiami wilayah Vietnam dan Kamboja.