Saat Jalan Tol Trans-Jawa tersambung dan sebagian pengguna beralih menggunakan jalan tol, para pengusaha mikro, kecil, dan menengah di sepanjang jalur non-tol pantai utara diliputi kekhawatiran. Menolak merana, berbagai pihak bersiasat untuk tetap menghidupkan roda perekonomian di jalur tersebut.
Sejumlah pedagang telur asin dan oleh-oleh khas di Brebes, Jawa Tengah, misalnya, sempat mengeluhkan anjloknya pendapatan mereka. Mudik Lebaran dan Tahun Baru yang biasanya menjadi momen meraup rupiah tak berbeda dengan hari-hari lain.
Saat para pedagang belum mampu beradaptasi dengan sepinya jalur pantura non-tol, mereka dipaksa menghadapi pandemi Covid-19. Rata-rata penjualan mereka anjlok lebih dari 90 persen.
”Sebelum ada jalan tol, saya bisa menjual 2.000-2.500 butir telur dalam sehari. Setelah ada tol lalu pandemi, saya bisa menjual 100 butir saja sudah termasuk banyak,” kata Dinah (55), penjual telur asin di Kecamatan Wanasari, Brebes, pekan lalu.
Seiring pelonggaran aktivitas masyarakat akibat penurunan kasus Covid-19, pembeli di tokonya bertambah. Dalam sepekan terakhir, ia menjual rata-rata 2.000 telur per hari.
Menurut Dinah, belakangan, para pelintas yang mudik awal untuk liburan akhir tahun mulai hafal dengan gerbang tol yang harus dilalui jika ingin mampir membeli oleh-oleh di jalur pantura. Sentra oleh-oleh di Brebes mayoritas ada di antara Gerbang Tol Brebes Timur dan Brebes Barat.
Tak hanya berdiam menunggu pelanggan, Dinah juga berjualan telur asin secara daring. ”Biasanya, para pelanggan akan memesan telur untuk dikirim ke kampung halaman sehingga mereka tidak perlu mampir. Kalau kembali dari mudik, mereka akan pesan telur lagi untuk dikirim ke rumah mereka di perantauan. Jadi lebih praktis,” kata Dinah.
Dampak Jalan Tol Trans-Jawa terlebih dulu dialami Rumah Makan (RM) Pesona Laut di Eretan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Rabu (15/12/2021) siang, restoran tampak lengang. Dari 15 saung, hanya dua tempat yang terisi. Debu menempel di meja pertanda jarang digunakan.
Sebelum tahun 2015, RM Pesona Laut yang tepat di pinggir jalan pantura Eretan arah ke Cirebon tidak pernah sepi. Saat mudik Lebaran dan libur Tahun Baru, macet tak terhindarkan jelang rumah makan itu karena keluar masuk mobil pelanggan.
Lebih dari 30 karyawan bekerja bergantian dari pukul 07.00 hingga pukul 22.00. Mereka tidak hanya dari Kecamatan Kandanghaur, tetapi juga Losarang, Indramayu, bahkan ada yang tinggal di Subang, Jabar.
Dulu, rumah makan tersebut berkolaborasi dengan BT Batik Trusmi Cirebon. Konsumen dapat belanja batik sembari menunggu pesanan datang.
Namun, rumah makan itu meredup sejak Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) beroperasi pertengahan 2015. Jalan tol sepanjang 116,7 kilometer (km) itu memangkas jarak hingga 40 km dibandingkan dengan pantura Jabar sehingga menarik minat pelintas.
RM Pesona Laut menjadi jauh dari jalan tol. Dari Gerbang Tol Cikedung, gerbang tol terdekat, pengendara harus menempuh 96 km.
Meski demikian, pengelola RM Pesona Laut tak tinggal diam. ”Kami tetap menjaga kualitas makanan. Misalnya, ikan segar yang dibeli hari itu juga,” ujar Iis Kholisotul Maulidiyah (24), penjaga kasir.
Area rumah makan lalu dirancang menghadap laut layaknya tempat wisata. Ada spot berfoto untuk diunggah ke media sosial dengan bingkai hiasan bola warna-warni dan tulisan ”Pesona Laut Love”. Ada pula kolam yang airnya langsung dari laut.
”Mungkin karena kangen suasananya, orang-orang masih makan di sini. Bahkan, ada yang bela-belain keluar dari tol untuk ke Pesona Laut,” ujarnya.
Upaya pemda
Sejumlah upaya juga ditempuh pemerintah daerah di wilayah pantura Jawa agar UMKM tetap menggeliat. ”Kami berupaya melatih UMKM untuk memasarkan produk mereka secara daring. Kami pamerkan produk mereka di bazar-bazar UMKM. Selain itu, kami juga membantu agar produk UMKM masuk ke peritel,” kata Sekretaris Daerah Brebes Djoko Gunawan.
Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi UKM Perdagangan dan Perindustrian Sumedang Wuddan Lukmanul Hakim menyebutkan, di Sumedang terdata lebih dari 36.000 UMKM. ”Dengan yang belum terdata, bisa lebih dari 80.000 usaha.” ujarnya.
Meski berjarak hampir 80 km dari pesisir utara Jawa, Sumedang menjadi salah satu daerah yang sempat merasakan manisnya jalur pantura. Geliat perekonomian di Sumedang selama berabad- abad bergantung pada ramainya lalu lintas dari dan menuju jalur pantura.
Namun, ekonomi Sumedang terancam sepi jika Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) beroperasi. Jalur bebas hambatan lebih kurang 60 km ini menghubungkan Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi) dengan Tol Cipali.
Strategi yang kemudian akan ditempuh adalah membangun empat area peristirahatan di Sumedang. Di lokasi itu akan ditempatkan sejumlah produk UMKM andalan, seperti tahu Sumedang dan kerajinan lainnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, Setia Mulyawan, berpendapat, pergeseran pengguna jalan jelas akan memengaruhi transaksi karena berkurangnya permintaan. Jika dibiarkan, itu berdampak negatif bagi perekonomian masyarakat yang bergantung di jalan ini. Padahal, lebih dari 90 persen perputaran ekonomi jalur-jalur lintas di Indonesia berasal dari UMKM.
Untuk itu, ia menyarankan pemda mempercepat pembekalan bagi pelaku UMKM dengan berbagai kemampuan, terutama di bidang pemasaran digital.
Koridor terpenting
Jalur pantura non-tol bagi Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hedy Rahadian tetap penting. Menurut Hedy, sekitar 70 persen pergerakan ekonomi Indonesia memanfaatkan koridor utara Jawa itu.
Namun, menurut Hedy, terdapat banyak masalah di jalur pantura yang susah diperbaiki bahkan terkesan proyek perbaikan abadi. Hampir setiap tahun terjadi masalah, apalagi saat musim hujan. Jalan berlubang dengan cepat karena sistem drainase terganggu.
Dari jalan nasional pantura non-tol sepanjang 3.993,34 km, yang kondisinya rusak berat 1,55 persen, rusak ringan 8,3 persen, sedang 51,61 persen, dan dalam kondisi baik 38,54 persen. Untuk pemeliharaan jalan pantura, tahun ini dianggarkan Rp 1,23 triliun dengan alokasi terbesar di Jateng sebesar Rp 500 miliar.
”Anggaran (pemeliharaan) tetap tinggi, hanya keluhan (kondisi jalan) lebih sedikit. Namun, bukan berarti jalan pantura non-tol sudah bagus, masih banyak masalah, karena (pantura) itu jalan yang dilintasi muatan berat. Truk-truk masih banyak (melintas),” ujarnya.
Kondisi jalan pantura yang masih dipadati truk-truk terpantau pada Sabtu (11/12) siang di wilayah Gresik hingga Lamongan. Kendaraan yang didominasi truk kontainer dan truk besar angkutan logistik barang berjalan merayap. Kemacetan hingga 4 km tak terelakkan karena ada pekerjaan pengecoran hampir 2 km di dekat tugu perbatasan wilayah Gresik dan Lamongan.
Jalan pantura masih dipilih sebagian besar pelaku usaha untuk mendistribusikan produk mereka. Ketua Asosiasi Logistik dan Fowarder Indonesia Jatim Hengky Pratoko mengatakan, jalur pantura tetap menjadi tumpuan utama angkutan logistik karena tarif tol dinilai terlalu mahal.
Dari Surabaya menuju Semarang, misalnya, tarif tolnya sekitar Rp 600.000. ”Apabila tidak ada barang yang bersifat segera atau mendesak untuk dikirim, pelaku usaha logistik memilih lewat jalan non-tol pantura,” kata Hengky.
Dengan keberadaan jalur pantura non-tol di Jawa yang cukup vital bagi perekonomian nasional, sepatutnya perhatian yang memadai diberikan guna menjaga denyut kehidupan di jalur itu.