Candi Borobudur telantar selama beberapa abad sebelum ”ditemukan kembali” pada 1814. Sejak saat itu, upaya pemugaran, penelitian, dan konservasi telah dilakukan selama ratusan tahun dengan melibatkan ribuan orang dan menghabiskan anggaran jutaan dollar AS. Namun, hingga sekarang, upaya merangkai kembali jejak arkeologis Borobudur ternyata belum sepenuhnya selesai.
Suatu hari pada 1814, Hermanus Christiaan Cornelius diperintahkan berangkat menuju sebuah hutan di Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Juru survei muda itu mendapat tugas penting untuk memeriksa sebuah bangunan besar yang tersembunyi di suatu wilayah bernama Bumisegoro, tak jauh dari pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo.
Cornelius merupakan seorang berkebangsaan Belanda, tetapi saat itu ia bekerja untuk Pemerintah Inggris yang tengah memegang kendali terhadap wilayah Jawa. Orang yang memerintahkan Cornelius tak lain adalah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang merupakan wakil Pemerintah Inggris di Jawa kala itu.
Saat tiba di hutan yang ditujunya, Cornelius menemukan bangunan batu raksasa yang tertutup oleh pohon, semak belukar, dan abu vulkanik gunung api. Agar bisa melihat wujud jelas monumen batu itu, Cornelius mengerahkan sekitar 200 penduduk setempat menebang pohon, menebas semak belukar, serta membersihkan lapisan abu vulkanik.
Dalam bukunya yang berjudul Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015), Tim Hannigan menuturkan, setelah upaya pembersihan rampung, Cornelius akhirnya bisa melihat kemegahan bangunan tersebut dengan lebih jelas.
”Ketika pekerjaan bersih-bersih selesai, Cornelius kiranya bisa memandangi suatu karya arsitektur yang luar biasa, satu setengah juta potongan batu andesit menjulang di antara tumpukan besar batang pohon yang digergaji dan tumbuhan rambat yang ditebas,” tulis Hannigan dengan kalimat yang sedikit berbunga-bunga.
Bangunan dengan arsitektur luar biasa yang dilihat Cornelius itu tak lain adalah Candi Borobudur yang secara administratif saat ini berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Saat ditemukan oleh Cornelius, Candi Borobudur sudah berusia lebih dari seribu tahun karena candi tersebut diperkirakan dibangun mulai abad ke-8. Penemuan itu kemudian menjadi peristiwa bersejarah karena menjadi awal mula Candi Borobudur dikenal luas oleh dunia.
Setelah ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelius itu, keberadaan Candi Borobudur disebut oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang terkenal, The History of Java. Dalam buku yang terbit tahun 1817, Raffles menyebut adanya sebuah candi bernama Boro Bodo yang tak lain merupakan Candi Borobudur.
Berkat publikasinya itu, Raffles kemudian dianggap sebagai sosok yang menemukan kembali Candi Borobudur. Dalam versi sejarah yang umum, Raffles disebut pertama kali mendengar informasi mengenai Candi Borobudur pada pada 1814 saat ia singgah di Semarang. Saat itu, Raffles mendapat laporan tentang keberadaan bangunan besar yang terbuat dari batu di wilayah Kedu.
Sebagai orang yang tertarik pada budaya dan peninggalan purbakala, Raffles langsung menindaklanjuti temuan tersebut. Dia pun mengirimkan sebuah tim yang dipimpin Cornelius untuk menyelidiki kebenaran laporan itu. Tim itulah yang akhirnya berhasil menemukan Candi Borobudur.
Meski memiliki jasa besar untuk mengenalkan kembali Borobudur, Hannigan menilai, Raffles sebenarnya tak bisa disebut sebagai ”penemu” candi tersebut. ”Raffles hari ini sering menerima pujian karena ’menemukan’ Borobudur seolah-olah sang Letnan Gubernur sendiri menelusuri rawa dan menyingkirkan tumbuhan rambat. Itu gambaran yang keliru dan bisa disadari semua orang,” tulis Hannigan.
Lagi pula, kisah penemuan kembali Borobudur ternyata tak sesederhana yang diketahui secara luas. Sebab, selain Raffles dan Cornelius, ada satu sosok lagi yang disebut-sebut berperan besar dalam menemukan kembali Borobudur, yakni seorang Tionghoa bernama Tan Jin Sing.
Dalam lintasan sejarah Jawa, Tan Jin Sing dikenal sebagai Bupati Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III. Atas jabatannya itu, Tan Jin Sing mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secodiningrat.
Di buku Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta, TS Werdoyo menulis bahwa Tan Jin Sing merupakan orang yang memberi tahu Raffles ihwal keberadaan Candi Borobudur. Bahkan, Werdoyo juga menulis, sebelum kedatangan Cornelius, Tan Jin Sing—yang ditemani seorang anak buahnya bernama Rachmat dan seorang warga lokal bernama Paimin— lebih dulu mengunjungi Candi Borobudur. Menurut Werdoyo, Tan Jin Sing juga ikut menemani Cornelius saat meninjau Candi Borobudur dan melakukan pembersihan di sana.
Pemugaran
Dibangun mulai abad ke-8 hingga abad ke-9 pada masa kekuasaan dinasti Syailendra di Jawa Tengah, Candi Borobudur merupakan candi Buddha terbesar di dunia. Dilengkapi dengan 2.672 panel relief, 504 arca Buddha, dan 73 stupa, pembangunan Candi Borobudur membutuhkan waktu lama. Sebuah referensi menyebut pembangunan candi itu diperkirakan memakan waktu 75-100 tahun, sementara referensi lain menyatakan candi itu dibangun dalam kurun lebih dari satu abad.
Namun, yang mengejutkan, masa pemanfaatan Candi Borobudur ternyata tak berlangsung lama, diperkirakan hanya sekitar satu hingga dua abad. Candi itu kemudian ditelantarkan, diduga karena adanya perpindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pemindahan itu diperkirakan berkait dengan terjadinya bencana letusan gunung berapi di Jawa Tengah.
Sebelum ditemukan lagi oleh Raffles beserta anak buahnya pada abad ke-19, Candi Borobudur diperkirakan sudah telantar selama beberapa abad. Meski begitu, ingatan tentang Candi Borobudur sebenarnya tak pernah benar-benar hilang. Sebab, keberadaan Borobudur ternyata disebut-sebut dalam sejumlah naskah Jawa kuno, misalnya Nagarakretagama, Babad Tanah Jawi, dan Babad Mataram.
Dalam Babad Mataram, misalnya, dikisahkan tentang seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta yang mengunjungi wilayah Borobudur dan melihat adanya arca yang terkurung dalam sangkar. Sejumlah ahli berpendapat, arca yang dilihat sang pangeran itu merupakan arca yang ada di Candi Borobudur.
Sementara itu, catatan Eropa pertama tentang Candi Borobudur datang dari seorang bernama Frederik Coyett yang mencuri sejumlah patung di candi tersebut pada tahun 1733. Catatan Coyett itu tentu saja jauh lebih dulu dibuat ketimbang “penemuan” Borobudur oleh Raffles dan anak buahnya. Namun, harus diakui bahwa setelah publikasi The History of Java karya Raffles, Borobudur mendapat perhatian lebih luas.
Sesudah buku itu terbit, Candi Borobudur sempat beberapa kali dibersihkan, misalnya tahun 1834 dan 1844. Namun, menurut Mundardjito dalam buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur: Trilogi I (2011), kegiatan pembersihan di Candi Borobudur itu awalnya dilakukan tanpa pemahaman arkeologi yang memadai. “Bukan tidak mungkin kegiatan pembersihan semacam itu menyebabkan hilangnya data yang sebenarnya diperlukan,” katanya.
Candi Borobudur baru mendapat perhatian lebih baik dalam proses pemugaran yang dipimpin oleh Theodoor van Erp pada tahun 1907-1911. Mantan Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Dukut Santoso, mengatakan, sebelum pemugaran yang dipimpin oleh van Erp, Candi Borobudur hanya berupa gundukan tanah dengan batu-batu candi yang berserakan dan sama sekali tidak tertata.
Namun, setelah pemugaran tersebut, bentuk utuh Candi Borobudur mulai terlihat. ”Setelah dilakukan pemugaran oleh van Erp, candi ini sudah dapat dikunjungi oleh wisatawan dan dinikmati bentuknya,” kata Dukut dalam sebuah tulisan di buku 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur: Trilogi I.
Dukut menyebut, ada sejumlah hal yang diperbaiki dalam proses pemugaran Candi Borobudur yang dipimpin van Erp. Beberapa bagian yang diperbaiki itu misalnya pagar langkan atau serambi atas, sebagian dinding tingkat I dan II, saluran air di halaman candi, struktur bawah tangga candi, dan sejumlah gapura.
Pemugaran van Erp juga mencakup perbaikan kerusakan susunan batu teras bundar dan stupa induk di bagian Arupadhatu serta penguatan struktur candi melalui dua cara, yakni menguatkan lereng bukit dan menutup lantai lorong asli yang miring dengan bahan tertentu.
Akan tetapi, Dukut menyatakan, sesudah pemugaran yang dipimpin van Erp selesai, Borobudur masih mengalami sejumlah persoalan, baik secara struktural maupun material. Contoh kerusakan struktural adalah kondisi dinding tingkat I dan II ternyata masih miring dan melesak. Kondisi ini terjadi karena susunan batu-batu di dinding tersebut sudah saling bergeser sehingga terdapat celah-celah yang lebar di sana.
Waktu itu, saat musim hujan, bagian tersebut bahkan membentuk pancuran-pancuran air. Untuk mengatasi masalah itu secara sementara, bagian tersebut ditopang dengan kayu jati.
Masalah lain adalah adanya sejumlah pagar langkan yang masih kosong dan tak ada susunan batunya. Selain itu, tak semua arca Buddha di Borobudur dikembalikan ke relung aslinya. Padahal, waktu itu, ditemukan banyak arca Buddha di sekitar candi yang belum terpasang di kondisi aslinya. Di sisi lain, dari 24 gapura yang ada di Borobudur, ternyata hanya sedikit yang diperbaiki.
Dukut menyebut, kerusakan struktur itu kemudian berpengaruh pada kerusakan material di Candi Borobudur. Wujud kerusakan material itu adalah adanya batu-batu yang retak dan pecah. Selain itu, beberapa blok batu di Borobudur bahkan sudah ada yang hancur sehingga tak mungkin direkonstruksi lagi. Pelapukan karena faktor alam, terutama akibat air, juga terjadi pada batu-batu di Borobudur.
Kondisi itulah yang kemudian membuat pemerintah Indonesia dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) melakukan pemugaran kembali Candi Borobudur. Pemugaran kedua itu berlangsung tahun 1973-1983.
Dalam buku Tinjauan Kembali Rekonstruksi Candi Borobudur (2013) disebutkan, sebelum pemugaran kedua itu dilakukan, pemerintah sebenarnya sudah mulai melakukan upaya penyelamatan sejak tahun 1960. Pada 19 Maret 1965, sempat dilakukan upacara sebagai tanda dimulainya pemugaran Candi Borobudur. Namun, upaya pemugaran itu berhenti setelah adanya peristiwa 1965.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah melakukan komunikasi dengan UNESCO agar organisasi tersebut membantu pemugaran kedua Candi Borobudur. Mulai tahun 1969, serangkaian penelitian untuk menyiapkan pemugaran pun dilakukan. Penelitian-penelitian yang dilakukan para ahli dari dalam dan luar negeri itu mencakup beragam aspek, semisal penelitian teknis dan arkeologis mengenai faktor penyebab kerusakan Candi Borobudur.
Dilakukan pula penelitian mengenai struktur dan bahan penyusun bangunan Candi Borobudur serta penelitian di beberapa bidang terkait, misalnya geologi, hidrologi, dan seismologi. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan batuan candi yang sudah lepas pada tahun 1970-1971 dan 1973-1974.
Berdasarkan buku Borobudur 1973-1982, pemugaran kedua itu mencakup beberapa hal, yakni, pembongkaran seluruh bagian Rupadhatu yang mencakup lima tingkat segi empat di atas kaki candi, pembersihan dan pengawetan batu-batu candi, pemasangan fondasi beton bertulang guna memperkuat struktur candi, pemasangan saluran air di dalam konstruksi candi, serta penyusunan kembali batu-batu candi yang sudah dibersihkan.
Dengan cakupan pekerjaan yang sangat banyak, pemugaran kedua tersebut menjadi sebuah kerja besar yang melibatkan sekitar 600 orang dan menghabiskan biaya jutaan dollar AS. Sebagian biaya itu merupakan sumbangan dari sejumlah negara lain.
Dalam buku Borobudur 1973-1982 yang diterbitkan panitia nasional peresmian berakhirnya pemugaran kedua Candi Borobudur, tercantum daftar 26 negara yang menyumbang dana, misalnya Australia, Belgia, Belanda, Perancis, Jerman, Ghana, India, Inggris, Iran, Irak, Italia, Jepang, Kuwait, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Spanyol, Swiss, Qatar, dan sebagainya.
Belum selesai
Berkat pemugaran kedua itu, Candi Borobudur menjadi jauh lebih kokoh dan diyakini bisa bertahan hingga 1.000 tahun lagi. Beberapa tahun setelah pemugaran itu, tepatnya pada 1991, Candi Borobudur ditetapkan oleh UNESCO menjadi Situs Warisan Dunia.
Meski begitu, setelah pemugaran kedua antara 1973-1983, bukan berarti kerja merangkai seluruh bagian Candi Borobudur benar-benar sudah usai. Hingga sekarang, masih ada ribuan batu lepas yang belum bisa dipasang kembali ke candi tersebut. Hal ini terjadi karena para petugas kesulitan mencari pasangan atau lokasi persis batu tersebut.
Dalam tulisan yang terbit pada 15 November 2018, Kompas mencatat, ada 12.000 blok batu lepas yang ditemukan sejak pemugaran kedua yang dimulai tahun 1973. Namun, hingga lebih dari 40 tahun kemudian, hanya sekitar 2.500 batu lepas yang berhasil dipasang.
Arkeolog di Balai Konservasi Borobudur, Hari Setyawan, mengatakan, upaya mencocokkan dan memasang kembali batu-batu lepas itu sudah dilakukan sejak 1970-an. Akan tetapi, upaya itu menghadapi hambatan yang sangat tinggi. Hal ini karena bentuk batu-batu tersebut sangat mirip satu sama lain sehingga tak mudah memastikan pasangan atau lokasi persis batu-batu itu.
Hari menuturkan, salah satu jenis batu yang sulit dicari pasangannya adalah kepala arca. Dia menyebut, ada 56 kepala arca yang belum terpasang dan 240 badan arca tanpa kepala.
Meski petugas telah mencoba mengelompokkan kepala arca ke dalam enam kategori, pemasangan kembali batu-batu itu tetap tak mudah dilakukan. Sebab, ternyata satu kepala arca bisa dipasangkan ke minimal 16 badan arca.
”Karena begitu banyak yang mirip, kami pun justru khawatir keliru memasang kepala ke badan arca,” ujar Hari (Kompas, 15 November 2018).
Kondisi itulah yang menyebabkan pemasangan kembali batu-batu lepas itu berjalan lambat. Dalam kurun 2012-2018, misalnya, hanya tiga blok batu yang berhasil dicocokkan dan dipasang kembali ke tubuh utama Candi Borobudur.
Oleh karena itu, masih ada ribuan batu lepas yang belum menemukan ”jodohnya” kembali. Kerja untuk merangkai kembali semua bagian Candi Borobudur pun masih jauh dari kata selesai.