Jejak Bandung Menyembuhkan Nusantara dan Mengobati Dunia

Dari awalnya desa kecil-terpencil di pegunungan yang kerap dicemooh dengan sebutan udik, Bandung lahir jadi kota dengan beragam inovasi. Setelah menyembuhkan dirinya sendiri, harapan mengobati dunia lahir dari kota ini.

Dari awalnya desa kecil dan terpencil di pegunungan yang kerap dicemooh dengan sebutan udik, Bandung lahir menjadi kota dengan beragam inovasi. Setelah menyembuhkan dirinya sendiri, harapan mengobati dunia lahir dari kota ini. Franz Wilhelm Junghuhn, penjelajah berdarah Jerman, pernah sangat jatuh cinta kepada kawasan dataran tinggi Priangan. Sesaat sebelum dia mengembuskan napas pada tahun 1864, Junghuhn mengutarakan permohonan terakhir kepada kawannya, dokter Groneman.

”Maukah engkau menbuka jendela kamarku ini. Aku ingin berpamitan kepada gunung-gunungku yang tercinta. Buat akhir kali, aku ingin memandang hutan-hutanku. Aku ingin sekali lagi menghirup udara pegunungan yang segar.”

Di gunung-gunung itu, ia menemukan kesenangannya menjelajahi alam. Tidak hanya memuaskan hobi, minatnya pada dunia botani membawanya kepada pengembangan kina untuk menekan wabah malaria hingga kontribusinya menentukan tanah yang ideal bakal perkebunan teh Priangan yang kelak mahsyur. Dalam buku Wajah Bandung Tempo Doeloe, Haryoto Kunto mengatakan, penjelajah berdarah Jerman ini berkolaborasi dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Charles Ferdinand Pahud de Mortanges. Junghuhn diminta mengembangkan kina mulai tahun 1850-an. Saat itu, malaria masih menjadi ancaman, khususnya di Batavia.

Junghuhn berhasil. Bibit dari Amerika Selatan tumbuh subur di Jawa Barat. Selanjutnya, pabrik kina dibangun di Bandung pada tahun 1896 lewat Bandoengsche Kleine Fabriek. Sebelum Perang Dunia II pecah, sekitar 90 persen kina dunia dipasok dari Bandung, Jawa Barat. P Honig dan F Verdorn dalam Scientists in the Netherland Indies menyebutkan, ”Junghuhn adalah orang yang berhasil mengangkat nama Bandung Parisj van Java menjadi kesohor sebagai gudang penghasil bubuk kina utama di dunia”.

Selain kina, Junghuhn juga berjasa dalam lokasi perkebunan yang tepat. Hasil penyelidikannya dibukukan dalam empat jilid yang legendaris berjudul Java (1853). Dalam laporan Ekspedisi The Nusantara Harian Kompas disebutkan, teh masuk Hindia tahun 1827 dan pertama kali ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta), Jawa Barat. Berselang delapan tahun kemudian (1835), hasil teh dari Nusantara diangkut ke negeri Belanda sebanyak 200 peti dan untuk pertama kali diikutkan dalam pelelangan teh Amsterdam.

Teh dari Jawa ini merupakan yang pertama di luar China yang masuk pasar Eropa. Harganya juga tinggi. Semenjak itu, teh Indonesia mulai dikenal bangsa-bangsa di dunia.

Pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memberikan hak guna usaha kepada pengusaha di bidang perkebunan selama 75 tahun membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para investor untuk mengembangkan perkebunan. Hingga lahirlah para pengusaha di Priangan (Preanger Planters).