Harum aroma hio menyapa ketika tiba di Kelenteng atau Tempat Ibadah Tri Dharma Kong Hwie Kiong. Staf humas Kelenteng, Tjen Lay, memandu kedatangan rombongan wisatawan “Heritage on Wheels” memasuki ruang doa. Ia memperkenalkan dewa-dewi sesembahan serta ritual yang biasa dilakukan di kelenteng itu.
”Kong Hwie Kiong lebih kurang artinya lapang hati atau lapang dada,” kata Tjen. Dibangun pada 1898, rombongan menuju Kelenteng Kong Hwie Kiong yang terletak di Jalan Pramuka.
Salah satu bagian menarik di kelenteng yang dibangun 1898 ini adalah ”Sumur Langit” yang bentuknya persegi dan dikelilingi pagar. ”Jadi, air hujan tidak langsung terbuang, tetapi berputar dulu mengelilingi kelenteng, baru kemudian yang tersisa dibuang keluar. Ibaratnya dapat rezeki jangan langsung dihabiskan sia-sia, tetapi disimpan dulu,” katanya.
Tjen juga mengenalkan altar utama Dewi Samudera, altar Dewa Bumi, Dewi Perang, Dewi Kwan Im, dan lain-lain. Di sini sejumlah peserta mulai antusias menanyakan cara menyalakan dupa, arti lambang yin yang, dan juga filosofi warna merah yang mendominasi warna kelenteng. ”Merah dan kuning adalah lambang cinta kasih serta kemakmuran,” ujar Tjen.
Sebelumnya, rombongan mengunjungi Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kebumen yang berlokasi di Jalan Pemuda. Para wisatawan yang berasal dari beragam agama ini disambut oleh pendeta dan juga pegiat sejarah Teguh Hindarto.
Teguh kemudian berkisah tentang perkabaran Injil di Kebumen selama periode 1900-1950. ”Ini dibangun pada 1919. Dulu belum bernama GKJ karena masih merupakan tempat perkabaran Injil dari kelompok Zending,” kata Teguh, Sabtu (2/10/2021).
Setelah menyimak pemaparan Teguh, para wisatawan masuk ke dalam gereja. Di dalam bangunan bergaya kolonial itu, sejumlah orang mengabadikan interior gereja yang berhias kaca patri bergambar Yesus Kristus.
”Tampaknya misi Kristen banyak terkonsentrasi di Kebumen kota sehingga ada rumah sakit Zending yang cukup besar di Kebumen. Sementara misi Katolik lebih banyak dilakukan di wilayah Kecamatan Gombong. Peninggalan-peninggalan itu sampai sekarang masih ada,” kata Founder Biro Tur Milangkori Sigit Asmodiwongso menambahkan.
Perjalanan berlanjut menuju sentra produksi genteng yang terletak di samping Stasiun Sokka, Kebumen, atau persisnya di Dukuh Widarapayung, Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan. Di sana, rombongan diajak melihat proses pembuatan genteng. Salah satunya proses pencetakan yang sebagian besar dilakukan oleh ibu-ibu.
”Pabrik tobong genteng api Sokka ini sudah hampir satu abad berdiri. Dirintis oleh keluarga Bani Ahmad yang hingga kini sudah 10 keturunan. Salah satunya Mbah Hadi Aboengamar yang memproduksi genteng merek AB,” kata pegiat sejarah Kebumen Aryo M Sano yang didapuk sebagai pemandu wisata di sentra genteng.
Dalam sehari, pabrik ini mampu memproduksi hingga 900 genteng dengan jumlah tenaga kerja 6-7 orang di bagian pencetakan manual. Mereka bekerja mulai dari pukul 07.30 hingga 15.00. Genteng dijual dengan harga Rp 900, Rp 2.000, hingga Rp 3.000 per buah tergantung ukuran dan jenis.
”Awalnya ada 10 tobong (pembakaran genteng), tetapi sekarang hanya tersisa lima. Salah satunya sudah terlilit akar pohon beringin,” kata Aryo menunjuk cerobong asap pembakaran genteng yang berbentuk menara-menara tinggi.
Para wisatawan menyimak penjelasan Aryo sambil menikmati cimplung, tempe bacem, dan es campur. Aryo juga menunjukkan beragam koleksi genteng yang berevolusi sesuai masa dan gayanya, mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, hingga batu bata cap Inpres pada zaman Orde Baru.