Jejak Perjuangan Buya Syafii Maarif Merawat Toleransi

Sejumlah pemikiran tentang toleransi beragama mungkin terasa mengawang-awang dan membosankan. Penyampaian yang tidak pas justru mempertebal jarak pemahaman yang ditangkap oleh masyarakat. Alih-alih menerapkannya, mereka rentan terjebak dalam penafsiran yang sempit atau sekadar slogan semata.

Berbeda dengan yang disampaikan Buya Syafii Maarif. Pemikirannya amat membumi dan menyentil kesadaran setiap insan tentang konsep toleransi beragama. Perbedaan tak semestinya dipertentangkan, tetapi dipandang sebagai keberagaman yang melengkapi satu sama lain dan saling merangkul. Terlebih lagi, pemikiran Buya tak sebatas dalam ucapan, tetapi selaras pula dengan tindakannya.

Kompas/Yuniadhi Agung
Cendekiawan Syafii Maarif menyampaikan sambutan saat membuka seminar “Pemberantasan Korupsi yang Memberikan Efek Jera” di Jakarta, Kamis (18/2/2016). Seminar diselenggarakan dalam rangkaian HUT pertama Gerakan Anti Korupsi (GAK) lintas perguruan tinggi.

Buya Syafii Maarif meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi bangsa ini. Ia banyak menelurkan buah pikirannya ke dalam buku dan tulisan opini yang dimuat pada berbagai media cetak, termasuk harian Kompas. Sosoknya memang selaiknya dicintai, dihormati, dan disebut sebagai tokoh perawat toleransi Indonesia.

Kompas/Iwan Setiyawan
Para tokoh lintas agama berjalan bersama menuju Tugu Proklamasi untuk menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan bangsa (18/10/2011). Mereka membacakan tujuh butir keprihatinan yang diberi tajuk “Surat Terbuka Kepada Rakyat”. Tokoh yang menyatakan keprihatinan antara lain: Ahmad Syafii Maarif, KH Salahuddin Wahid, Mgr Martinus D Situmorang, Pdt Andreas Yewangoe, Bikkhu Sri Panyavaro Mahathera, Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa, Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi, Frans Magnis-Suseno, Djohan Effendy, Azyumardi Azra, dan Abdul Mu’ti.

Pada tahun 2000, pemikiran Buya Syafii Maarif tentang agama tidak dapat diperjualbelikan rasanya masih relevan sampai sekarang. Ia menentang keras mereka yang memperdagangkan agama atas nama Tuhan. Sebab, orang-orang demikian dinilai mengingkari konsep ketulusan dan membuat agama jatuh menjadi benda duniawi yang tidak memiliki harga. Mereka lebih mengedepankan kuantitas (jumlah pengikut) dibandingkan kualitas.

”Namun, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan historis tentang pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya. Bila pandangan sempit ini yang dominan dalam suatu masyarakat, agama bukan lagi sebagai rahmat, tetapi telah berubah menjadi kutuk dan doktrin pemaksa,” tulisnya dalam artikel ”Agama dan Ketulusan” yang dimuat di Kompas tanggal 25 April 2000.

Tak mudah untuk menemukan ketulusan dalam menjalin persaudaraan. Terlebih jika pemahaman tentang ajaran agama tidak diresapi dengan benar. Buya Syafii Maarif berpendapat, jika agama disalahgunakan, agama seolah diperalat untuk memancing emosi dan tujuan yang tidak sehat. Akibatnya, merusak persaudaraan dan menjadi sumber peperangan. Hal tersebut membuat ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi otentik dari iman sudah tidak berdaya lagi.