Tanggal 25 Juli 2020 genap 100 tahun kelahiran salah satu pendiri Harian Kompas, Petrus Kanisius Ojong alias Auw Jong Peng Koen. PK Ojong terlahir seabad silam tanggal 25 Juli tahun 1920 di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat dari pasangan Auw Jong Pauw – Njo Loan Eng Nio alias Sayang. Auw Jong Peng Koen adalah anak nomor delapan dari sebelas bersaudara klan Auw Jong Pauw.
Helen Ishwara dalam biografi Hidup Sederhana Berpikir Mulia P.K. Ojong Satu Dari Dua Pendiri Kompas Gramedia mencatat, Auw Jong Pauw yang berniaga di Kota Payakumbuh, dengan istri pertama bernama Ang Ho Nio dikaruniai tujuh anak, yakni empat anak perempuan Po Tioe, Po Soat, Po Hong, dan Po Hoen, serta tiga anak lelaki Peng Yam, Peng Goan, dan Peng Ho alias Agus Ojong. Ang Ho Nio meninggal karena pendarahan saat melahirkan Peng Ho.
Akhirnya Auw Jong Pauw (49) menikah lagi dengan Njo Loan Eng Nio (25) asal Bukittinggi. Peng Koen adalah putra pertama dari pernikahan kedua. Auw Jong Peng Koen dilahirkan dengan bantuan seorang dokter berkebangsaan Jerman. Dia dilahirkan di loteng rumah kakek dari pihak ibunya. Kelahirannya dianggap cukup sulit karena Peng Koen berkepala besar dan kemudian dijuluki “Si Kepala Gede”.
Selanjutnya lahir anak perempuan Po Keng alias Toos, dan dua anak lelaki yakni Peng Kian dan Peng Lam. Seluruh kakak – beradik tersebut hidup rukun dan tumbuh bersama.
Auw Jong Pauw adalah perantau asal Pulau Kin Men atau Quemoy, wilayah Taiwan di lepas pantai Kota Xiamen, Fujian. Leluhur keluarga Auw Jong berasal dari Po Hai, Teluk Bohai di China Utara. Adapun kampung mereka di Kin Men adalah basis kubu Nasionalis atau Kuomintang yang digempur pihak Komunis semasa Perang Dingin berlangsung.
Ibarat wilayah Kargil di perbatasan utara Pakistan – India, semasa Perang Dingin hingga tahun 1970-an, duel tembakan artileri berat berlangsung di Kin Men, wilayah Taiwan yang dikuasai Kuomintang – kubu Nasionalis dan Xiamen, wilayah Republik Rakyat China yang dikuasai rejim Komunis. Moncong meriam dari daratan China menembak ke arah Kin Men dan dibalas dengan tembakan meriam dari kubu Kuomintang.
Selain itu, perang propaganda berlangsung sehari-hari. Pengeras suara dari Daratan China menyampaikan gagasan komunisme, disambut pengeras suara dari Kinmen yang menyampaikan gagasan demokrasi dan kebebasan. Pihak Taiwan juga melepas balon dengan membawa pesan-pesan propaganda ke daratan China.
Dari Kantor Dagang Taiwan di Jakarta (TETO) diberikan informasi tentang Pulau Kinmen yang kini berkembang dan bersaing dari sisi ekonomi. Tidak ada lagi perang artileri atau pun adu propaganda. Persaingan saat ini diganti dengan kemampuan mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi dari masing-masing pihak.
Putri bungsu PK Ojong, Mariani Ojong menceritakan, waktu pemakaman PK Ojong pada tahun 1980, ada keluarga ayahnya yang datang dari Taiwan untuk meyampaikan dukacita. Sedangkan Glory Ojong, cucu PK Ojong, mengisahkan ada keluarga mereka yang masih rutin berkunjung ke Kinmen.
Pedagang di Payakumbuh
Auw Jong Pauw kelahiran 1870 di Kinmen, merantau dan membuka perdagangan tembakau di Payakumbuh. Dia tinggal di rumah kayu yang kemudian dirombak menjadi rumah permanen yang kokoh di Jalan Lundang. Semasa itu ada sepuluh buah auto (mobil) di Kota Payakumbuh, yang salah satunya dimiliki Keluarga Auw Jong Pauw.
Memasuki usia sekolah dasar, Peng Ho alias Agus Ojong masuk ke Sekolah Negeri yakni Hollandsche Inlandsche School (HIS). Semasa pemerintahan kolonial, dilakukan segregasi rasial termasuk di bidang pendidikan. Warga Eropa dan yang dianggap setara, menempuh pendidikan Sekolah Dasar Eropa yakni Europesche Lagere School (ELS), untuk Bumiputera di sekolah HIS, dan untuk Tionghoa di sekolah Hollandsche Chineseesche School (HCS). Kesempatan untuk bergaul anak-anak yang berbeda kelompok tersebut menjadi kecil karena adanya segregasi rasial tersebut.
Ketika Peng Koen memasuki usia sekolah, HCS sudah dibuka di Payakumbuh. Peng Koen pun bersekolah di HCS. Kemudian dari pelajaran agama Katolik yang diterima dari kapel setempat, Peng Koen dan ibunya kemudian dibaptis oleh Pastor van Hoff di rumah mereka. Peng Koen mendapat nama baptis Andreas.
Dalam biografi karya Helen Ishwara, PK Ojong dalam majalah Star Weekly mengecam pembagian sekolah dengan kriteria rasial zaman Hindia Belanda yang mengakibatkan pemisahan antara sesama anggota masyarakat. Sekat dan kecurigaan rasial warisan kolonial tersebut membekas hingga era modern.
Sejak dini, Auw Jong Pauw menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, jujur, dan ketekunan kepada anak-anaknya. Meski mampu membelikan sepatu yang tren masa tahun 1920-an, Auw Jong Pauw membelikan sepatu model kuno tetapi lebih awet dipakai untuk mendidik Peng Koen kecil. Auw Jong Pauw mencontohkan gesper kulit yang dipakainya awet hingga 12 tahun.
Masa kecil Andreas Peng Koen diisi dengan keseriusan untuk bersekolah dan merintis kehidupannya kelak. Dari HCS di Payakumbuh, dia pindah saat kuartal II Kelas VII ke HCS di Padang yang satu komplek dengan Sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs).
Mereka mendapat pelajaran dasar-dasar aljabar di Kelas VII HCS. Di saat murid lain masih mengerjakan hitungan, Peng Koen sudah selesai mengerjakan tugas aljabar.
Menjelang masa remajanya, ayahnya mulai sakit-sakitan akibat rematik dan berbagai gangguan kesehatan. Kelak sebelum meninggal, Auw Jong Pauw dan tiga anak lelakinya juga dibaptis sebagai penganut Katolik. Setelah Peng Ho alias Agus menikah, tak lama kemudian Andreas diminta pulang karena ayahnya sakit keras. Pada tanggal 4 Oktober 1933, Auw Jong Pauw meninggal dunia.
Karena menjadi tokoh sebuah organisasi Tionghoa, pemakaman Auw Jong Pauw mendapat perhatian penuh dari pengurus. Hingga kini di Sumatera Barat ada dua organisasi penting Tionghoa, yakni Hok Tek Tong dan Hok Bek Tong. Glory Ojong membenarkan beberapa keluarganya ada yang pernah menjadi pengurus organisasi tersebut.
“Makam Kakek Buyut (Auw Jong Pauw) di sana juga besar sekali karena konon tanah pemakaman masyarakat Tionghoa di sana yang memperjuangkan beliau,” kata Glory Ojong.
Sedangkan ibunda Andreas Peng Koen juga aktif dalam organisasi Hoedjin Hwee (Mandarin: Mu Jin Hui) atau Perkumpulan Kaum Ibu sehingga dirinya mendapat dukungan penuh dalam proses pemakaman suaminya.
Sekolah guru
Selepas dari Sumatera Barat, agar tidak membebani keuangan keluarga, Ojong pun merantau ke Batavia (kini Jakarta) menempuh pendidikan di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK) – Sekolah Guru Tionghoa di Leonie Laan, kini Jalan Bekasi Timur IV. Komplek itu kini menjadi sekolah di bawah Direktorat Palad TNI Angkatan Darat.
“Orang setempat menyebut daerah itu Yunilan – pelafalan dari Leoni Laan,” kata Iwan S Kamah seorang penulis di komunitas Kompas Kita (Koki) yang kini berganti nama menjadi komunitas Baltyra.
Pemerintah kolonial mendorong agar warga Bumiputera dan Timur Asing, Tionghoa tergerak menjadi guru. Biaya sekolah guru pun dibuat ringan. Sebagai pembanding, bersekolah di MULO membutuhkan biaya bulanan pondokan, uang sekolah, dan uang jajan mencapai 30 Gulden sebulan. Sedangkan di sekolah guru atau Kweek School hanya butuh biaya 7,5 Gulden plus uang saku 2,5 Gulden. Jaman itu, seporsi mie harganya 5 sen, dan tiket bioskop 20 sen.
Ketika itu, Ojong adalah 1 dari 100 siswa penghuni asrama putra, dan ada 150 penghuni asrama putri. Mereka hidup di dunia “tersendiri” dan sering berkelakar mereka hidup di “penjara”.
Semasa sekolah, watak tekun Auw Jong sangat kentara. Ketika teman-temannya hanya membaca dan mempelajari Tajuk Rencana koran Java Bode, Ojong lebih dalam lagi, mempelajari cara penulisan dan cara penulis mengutarakan gagasan.
Bahkan untuk memberikan bahan ceramah di sekolah mereka, Ojong memerlukan secara khusus ke perpustakaan di Museum (Gedung Gajah atau Museum Nasional) untuk mengumpulkan bahan dengan tekun. Dia pun menyampaikan materi ceramah berjudul “Hauw” atau Berbakti Kepada Orang Tua.
Ojong juga menjadi semacam Ketua OSIS di HCK yang memiliki nama organisasi Tung Sie Ie Tjia (Mandarin: Dong Xi Yi Jia) yang berarti “Timur – Barat adalah Satu Keluarga” atau seluruh umat manusia sejatinya bersaudara.
Semasa sekolah itu, waktu berwisata ke Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Cibodas, menjadi saat berkesan bagi Ojong. Dia memang pecinta tumbuhan dan lingkungan hidup yang kelak kemudian beberapa kali disampaikan dalam Tajuk Kompasiana.
Dia juga kerap menonton Mohammad Husni Thamrin menyampaikan pidato di Volksraad, menyampaikan aspirasi terkait nasib rakyat Bumiputera dan warga Batavia. Menurut Ojong, pidato Thamrin sangat “hidup”.
Setelah lulus dari HCK, bulan Agustus 1940, Ojong menjadi guru di sekolah Hollandsch Chineesche Broederschool (HCB) St Johannes Berchmans, kini Sekolah Budi Mulia, di sebelah Rumah Sakit Jang Seng Ie, kini RS Husada di Jalan Prinsenlaan nomor 135, yang kini menjadi Jalan Mangga Besar Raya. Gajinya 77 Gulden sebulan.
Dia sempat indekos di tempat kenalan asal Sumatera di bilangan Kartini, lalu mencari kontrakan dengan biaya 16 Gulden sebulan di Nopel Laan nomor 17 yang kini menjadi Jalan Kartini VII C Nomor 16.
Dari anak pengusaha yang tinggal di rumah permanen, Ojong tinggal di kontrakan berdinding bilik bambu (gedek) dan jalan di depannya tidak beraspal yang selalu becek ketika hujan mengguyur. Keluar dari kontrakan di Nopel Laan terdapat jalan di tepi kanal yang sekarang menjadi Jalan Kartini Raya. Terdapat perahu tambang atau eretan yang mengantarkan warga menyeberang kanal untuk mencapai Jalan Gunung Sahari.
Nyonya Auw Jong Pauw kemudian menyusul ke Batavia bersama Anton dan Peng Lam. Berdesakan mereka tinggal di rumah gubuk di Nopel Laan. Toos, adik kesayangan Ojong yang juga menyusul bersekolah di HCK Meester Cornelis mengenang, dinding rumah gubuk itu bergetar jika rangka bangunan diguncang tangan.
Mereka berlima hidup dengan gaji Ojong 77 Gulden sebulan dan bantuan kiriman keluarga dari kampung halaman di Sumatera Barat 25 Gulden sebulan.
Bulan Maret 1942, bala tentara Jepang masuk ke Jawa. Belanda kalah dan sekolah pun ditutup. Kiriman uang dari kampung terhenti. Ojong pun bekerja serabutan. Kehidupan serba sulit ketika itu.
Di tengah hiruk pikuk Perang Dunia II, Ojong kerap mengumpulkan berita-berita tentang perang dari Koran Kong Po, satu-satunya harian Melayu Tionghoa yang masih terbit. Kelak kliping tersebut menjadi bahan pembanding dan sumber tulisannya saat menulis rangkaian sejarah Perang Pasifik di mingguan Star Weekly belasan tahun kemudian. Bahkan di tahun 2000-an, kumpulan tulisan tersebut dibukukan dengan judul Perang Pasifik yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) berulang kali.
Ojong akhirnya berhenti dari profesi guru di tahun 1944. Kemudian di tahun 1946, dia menjadi wartawan mengikuti Khoe Woen Sioe, mentor dan guru spiritual Ojong yang memimpin harian Keng Po bersama Injo Beng Goat yang menjadi pemimpin redaksi. Pada 6 Januari 1946, majalah Star Weekly diterbitkan, Ojong pun membantu Khoe Woen Sioe menjadi penulis lepas di Star Weekly atau pun Keng Po.
Dia pun menyambi kuliah hukum di Recht Hooge School – kini Fakultas Hukum Universitas Indonesia – seraya bekerja sebagai wartawan. Pada pertengahan tahun 1947 dalam pertemuan kaum muda, Ojong bertemu dengan seorang gadis manis bernama Catherine Oei, murid HBS di Jalan Pos (kini Sekolah Santa Ursula).
Ojong dengan baik-baik mengutarakan maksud mengenal Catherine kepada Biarawati Romana (asal Jerman) yang mengasuh asrama Ursulin tempat Catherine tinggal. Dengan aksen Jerman, Biarawati Romana mengatakan kepada Catherine ada pemuda bernama Oud Jong ingin berkenalan. Tentu saja itu membuat Catherine bingung karena “Oud” dan “Jong” berarti tua dan muda dalam Bahasa Belanda!
Catherine yang berasal dari keluarga Peranakan Tionghoa di Magelang, Jawa Tengah itu menerima permintaan tersebut. Mereka pun berkenalan dan sejak saat itu, Ojong menempel ketat Catherine setiap ada acara pesta. Padahal mereka belum resmi berpacaran.
Kencan pertama mereka barulah berlangsung pada Hari Natal 25 Desember 1947, ke Pasar Ikan. Catherine membawa pengawal yakni seorang teman untuk pergi menemaninya dan Ojong.
Tanggal 6 Mei 1948, Catherine berulang tahun di usia 23 tahun. Ojong memberikan hadiah buku misa. Tanggal 25 Juli 1948, giliran Ojong berulang tahun ke-28 dan mendapat hadiah sebuah album dari Catherine. Oei Tjoe Tat SH seorang sahabat Ojong menceritakan, sebagai mahasiswa zaman itu, Ojong hanya berpacaran dengan Catherine dan tidak gonta-ganti pacar layaknya pemuda masa itu.
Setelah Ojong melamar Catherine meski kondisi ekonominya pas-pasan, Catherine berpikir keluarga Yesus pun miskin tetapi Bunda Maria bisa berbahagia. Akhirnya mereka pun bertunangan 24 April 1949, lantas menikah di Catatan Sipil tanggal 6 Juli 1949.
Sesudah menikah di Gereja Katedral tanggal 21 Desember tahun 1949, pengantin baru tersebut berbulan madu ke Bandung. Mereka menginap di Hotel Homman, hotel nomor 1 di Kota Bandung.
Bulan madu usai, mereka pun kembali ke kontrakan di Nopel Laan bersama ibu dari PK Ojong dan Anton adiknya. Karena rumah tersebut semakin sesak, Anton pun pindah mencari kontrakan.
Tak lama kemudian di tahun 1950, Catherine mengandung. Selanjutnya mereka mencari tempat yang lebih baik untuk merawat bayi yang akan dilahirkan. Ojong pun mengontrak di bulan September 1950 sebuah kamar di Jalan Maluku Nomor 12 Menteng.
Ketika aliran air di rumah sewaan tersebut macet, Ojong sempat meminta tolong seorang pejabat Kotapradja Djakarta. Aliran air pun segera diperbaiki. Di kemudian hari, ternyata pejabat tersebut terlibat kasus. Itu membuat Ojong serba salah dan memutuskan lebih baik jika wartawan berjarak terhadap nara sumber agar tidak terikat utang budi seperti dialaminya soal aliran air ledeng yang mampet.
“Wartawan jangan sekali-sekali menerima dan meminta fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia tidak bebas lagi menghadapi pejabat itu dalam profesinya,” Ojong menulis.
Sesudah anak sulung Ojong – Catherine lahir, yang diberi nama Harli atau Bin Lie yang diberi nama baptis Remigius, tanggal 8 Maret 1951, mereka menambah kamar dan ruangan yang disewa di Menteng. Proses melahirkan Harli cukup dramatis, Ojong mengantarkan Catherine ke RS St Carolus dengan sepeda ontel!
Harian Keng Po kemudian membangun beberapa rumah untuk karyawan di daerah Jatinegara. Ojong kebagian rumah di Jalan Slamet Riyadi IV Nomor 9 tidak jauh dari komplek militer Beerlan yang kemudian dibelinya dari Keng Po. Untuk perlengkapan rumah, Ojong membelanjakan uang Rp 6.000 di sebuah toko di Jalan Jawa – kini Jalan HOS Tjokroaminoto Menteng.
Di rumah tersebut, dia bisa mendatangkan piano milik Catherine yang diboyong dari Magelang. Catherine pun mendapat penghasilan tambahan dengan memberikan les piano.
Tempat tinggal terakhir PK Ojong sebelum meninggal adalah rumah baru di Jalan Mas Prada, Komplek Permata Hijau, Jakarta Selatan yang terletak tidak jauh dari kantor Harian Kompas yang dirintisnya bersama Jakob Oetama.
Dari guru jadi wartawan
Selepas HCK, Ojong sempat empat tahun (1940 – 1944) menjadi guru di Bruder School – kini Sekolah Budi Mulia – di Jalan Mangga Besar Raya, tepat di sebelah Rumah Sakit Jang Seng Ie (Yang Sheng Yi) yang kini menjadi RS Husada. Karena Perang Dunia II, menurut Helen Ishwara, tidak ada catatan yang jelas tentang apa yang dikerjakan Ojong tahun 1944 – 1946. Yang jelas, setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, di awal 1946, Ojong banting stir menjadi penulis lepas kemudian menjadi wartawan.
Kariernya terus melesat seiring berkembangnya Star Weekly. Pada bulan Mei tahun 1951, di usia 31 tahun, PK Ojong menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly dengan tiras 15.000. Harga majalah tersebut adalah Rp 1,25 per eksemplar.
Ada tulisan-tulisan Sjahrir dan Hatta dalam Star Weekly yang merupakan sahabat Injo Beng Goat. Ojong bersikap tegas terhadap staf. Kebanyakan pergaulan eratnya adalah dengan Khoe Woen Sioe dan para sarjana Katolik.
“Radar” PK Ojong dalam memilih penulis untuk mengisi beragam topik di Star Weekly hingga Intisari dan kemudian berlanjut di Harian Kompas memang tajam. Para penulis di Star Weekly, Intisari, kelak menjadi tokoh-tokoh terkemuka di bidangnya di era 1970-an dan 1980-an. Mereka pun tetap menulis atau pun menjadi narasumber Harian Kompas semisal sejarawan Ong Hok Ham dan pengacara Yap Thiam Hien.
Teman-teman Ojong yang sering berkumpul dengannya di rumah antara lain ekonom Pang Lay Kim (ayah Mari Elka Pangestu), ahli hukum Oei Tat Hway dan Oei Tjoe Tat.
Di tahun 1953, saat hamil anak kedua, Catherine dan Ojong pergi ke RS St Carolus dengan menumpang becak dan oplet. Anak kedua pun lahir yaitu Bin Han atau Handy tanggal 28 Februari 1953.
Selanjutnya anak ketiga lahir tanggal 6 Mei 1956 yang semula diduga anak perempuan. Lagi-lagi lahir anak lelaki yang diberi nama Bin Siong atau Sasongko yang diberi nama baptis Andreas seperti ayahnya. Ketika itu, sebagai Pemimpin Redaksi, Ojong sudah diberi fasilitas mobil Skoda. Akan tetapi, mobil tersebut sering digunakan untuk mengangkut para karyawan.
PK Ojong meski sibuk mengurus redaksi Star Weekly dan kemudian Kompas, dalam keseharian, dia juga terlibat langsung mengurus anak-anaknya. Mariani Ojong menceritakan, setelah lahir anak nomor tiga dan nomor empat serta anak nomor lima dan nomor enam dengan jarak kelahiran yang dekat, Ojong pun langsung menyingsingkan lengan, membantu Catherine mengurus anak-anak mereka setiap kali ada di rumah.
“Setelah anak ketiga lahir hingga anak ke enam yang masing-masing jarak kelahiran dekat antara anak nomor tiga Bin Siong atau Andreas dan empat Bin Kwan lalu anak nomor lima Sri Melani dan anak bungsu Mariani, Papi ikut momong anak – anak kalau sedang berada di rumah,” kata Mariani. Ketika itu PK Ojong – Catherine sudah tinggal di rumah di Jalan Slamet Riyadi IV.
Ketika Catherine hamil kelima, pasangan itu memperkirakan akan memperoleh anak lelaki hingga genap “Pandawa Lima”. Ternyata tanggal 11 Mei 1960 ketika Ojong sedang berada di kantor, lahirlah bayi perempuan yang diberi nama Sri Melani tanpa nama Tionghoa. Praktik yang belum lazim pada zaman itu.
Nama Melani diambil dari nama Yayasan Bersalin Melania tempat Catherine dan Ojong berkiprah dalam bidang kemanusiaan.
Sri Melani baru berusia satu setengah tahun, ketika tanggal 17 November 1961, Catherine melahirkan anak ke enamnya, bayi perempuan yang diberi nama Mariani. Mariani lahir sebulan sebelum Majalah Star Weekly diberedel untuk selama-lamanya yang membuat pukulan bagi PK Ojong yang idealis.
Star Weekly, Candranaya, hingga Baperki
PK Ojong yang selalu peduli dengan isu kemanusiaan juga tergugah memperjuangkan keadilan dan keseteraan termasuk bagi warga keturunan Tionghoa. Sin Ming Hui atau Candranaya, Baperki, Universitas Res Publica yang kini menjadi Universitas Trisakti, Rumah Sakit Sumber Waras, yayasan Rumah Bersalin Melania, hingga LBH yang kini menjadi YLBHI di dekat Megaria, Menteng.
Ketika mengelola Star Weekly, Ojong mengasuh kolom Gambang Kromong yang merupakan pojok berita, dan Timbangan yang merupakan Tajuk Rencana. Di sebelah rubrik Timbangan, ada rubrik Pemandangan Dalam Negeri yang diisi Pemimpin Redaksi Keng Po, Injo Beng Goat.
Ada rubrik Pemandangan Luar Negeri yang diisi Soedarsono, Mr Ide Anak Agung Gede Agung, Raja Gianyar yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri, Ruang Pajak diasuh oleh Mr Sindian Djajadiningrat–Dirjen Iuran Negara Waktu itu, Ruang Pengajaran (pendidikan) yang diasuh Drs Oey Kwie Tek kelak menjadi akuntan terkenal Drs Darmawan, kolom Gizi diasuh Profesor Poorwo Soedarmo yang memperkenalkan istilah “Empat Sehat Lima Sempurna”.
Juga ada kolom Memasak diasuh Julie mantan murid HCK yang menikah dengan Oh Thiam Hok yang menggantikan Ojong sebagai Kepala Sekolah Budi Mulia. Julie Sutardjana dikenal sebagai Nyonya Rumah yang kemudian kolomnya berlanjut di Harian Kompas dan kumpulan resepnya diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.
Tanya jawab soal tanaman diasuh oleh N Delmaar, Direktur Jawatan Pertanian Rakyat dan penasihat kebun-kebun Istana Presiden, bidang musik dipercayakan kepada Binsar Sitompul. Mantan Menteri Pertahanan Jenderal TB Simatupang, menjadi penulis tetap, kolom sejarah kerap diisi Kepala Arsip Nasional Drs Moh Ali.
Nama-nama penulis lain di Star Weekly diantaranya, WS Rendra, Ramadhan KH, Harjadi S Hartowardojo, Ajip Rosidi, Wiratmo Soekito, SM Ardan, dan Pramoedya Ananta Toer.
Saat bekerja di kantor di Jalan Pintu Besar Selatan, Ojong kerap membawa bekal sendiri yang disiapkan ibunya yang tinggal di Jalan Kawi. Makanan favoritnya rendang dan terong balado. Rokok kesukaannya adalah Nojorono.
Meski berkembang pesat, Star Weekly akhirnya diberedel karena dianggap menyinggung penguasa karena menerbitkan laporan tentang kegagalan proyek pembangunan lima tahun di India. Star Weekly terakhir terbit 7 Oktober 1961 nomor 823 dengan tiras di atas 80.000.
Dalam keadaan seperti itu, pada Natal tahun 1961, seorang sahabat Ong Hok Ham mengirimkan kado Natal. Ketika itu Koran Keng Po mati, Star Weekly diberedel, dan koran Pos Indonesia juga mati.
Selanjutnya di bulan Oktober 1962, Injo Beng Goat meninggal karena pendarahan otak, lalu bulan Juni 1966 Khoe Woen Sioe, mentor Ojong juga meninggal. Kepergian dua tokoh itu sangat berpengaruh bagi Ojong yang mengambil teladan soal kebersamaan, terutama dari Khoe Woen Sioe.
PK Ojong berusaha bangkit dan pada tanggal 17 Agustus 1963, dia menerbitkan majalah Intisari bersama Jakob Oetama yang dikenalnya sejak tahun 1960 melalui jaringan aktivis Katolik. Intisari berkembang seperti Reader Digest versi Indonesia yang berbobot dan bertahan hingga kini.
Selanjutnya pada masa krisis politik dan ekonomi Indonesia tahun 1965, Ojong bersama Jakob Oetama menerbitkan Koran Kompas yang mendapat dukungan penuh Presiden Soekarno dan Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani. Kompas dilahirkan terutama untuk membendung gerakan komunis yang membuat aksi sepihak di akar rumput, merasuki birokrasi, dan berusaha memaksakan kehendak agenda trans-nasional komunis.
Setelah era Presiden Soekarno berakhir, Kompas pun mulai berkembang pesat dengan keberadaan PK Ojong menulis rubrik Kompasiana membahas pelbagai permasalahan dengan warna yang khas mencerahkan dan tidak menggurui.
Menyejahterakan seniman
Ojong juga perhatian dengan kesejahteraan seniman, seperti dengan menggelar pameran dan menyediakan galeri di Toko Buku Gramedia di Jalan Melawai dan memberikan berbagai perlengkapan melukis bagi para seniman seperti dilakukan di Bali. GM Sidharta, pencipta karikatur Oom Pasikom, secara khusus diutus Ojong ke Bali untuk bertemu para pelukis muda Bali.
Beragam karya seni, martavan atau guci, lukisan, dan lain-lain dibeli masa-masa awal Kompas dan diteruskan oleh Jakob Oetama dengan mengembangkan Bentara Budaya Jakarta dan ruang pamer serta ruang kesenian sejenis di Yogjakarta dan Bali.
Beberapa peninggalan PK Ojong berupa perlengkapan kerja dan bust atau patung separuh badan PK Ojong kini ditempatkan di Bentara Budaya Jakarta di samping Rumah Kudus.
Adapun perabot rumah dan beberapa barang pribadi yang dibeli Ojong semasa muda memulai meniti karier di Jakarta, menurut Mariani Ojong, disimpan di rumah keluarga di Permata Hijau. “Masih ada meja dan beberapa perlengkapan yang digunakan keluarga. Foto-foto lama dan beberapa arsip pribadi masih ada disimpan,” kata Mariani.
Sejak awal berumah tangga, Ojong menyimpan diary yang mencatat keseharian keluarga PK Ojong dan Catherine. Cerita-cerita keakraban keluarga mereka terlukis di sana. Secara rutin, Ojong menyempatkan mengajak keluarga ke Wisma Kompas di Pacet, Cipanas, minimal sebulan sekali.
Jajan di warung
Akrab dan sederhana dalam hal menikmati keseharian juga terlihat dari kebiasaan Ojong memnbawa keluarga bersantap bersama di restoran-restoran sederhana dan beragam warung bakmi di pelosok Jakarta. Ketika Kompas Gramedia mulai mapan di tahun 1970-an, makan bersama keluarga di restoran dan warung tetap menjadi kebiasaan PK Ojong hingga akhir hayat.
Warung-warung favorit Ojong dari Restoran Padang Pondok Jaya di Jalan Hayam Wuruk yang kini pindah ke kawasan Ketapang, dan Restoran Roda di Matraman, dan berbagai warung bakmi Babah Tong (Bakmi BBT) di dekat Sekolah Marsudi Rini, Bakmi Pinangsia, Bakmi Aboen atau Bakmi Gang Kelinci.
Jika pergi ke gereja di Kathedral, biasanya Ojong mengajak keluarga makan bakmi di sekitar Gang Kelinci, Pasar Baru atau pun pergi ke Bakmi Pinangsia di seberang Glodok – Pancoran.
“Kami sekeluarga selesai misa di Marsudi Rini biasa makan bakmi persis di sebelah gereja. Biasanya selesai makan bakmi, Papi beli mangga atau duku di pedagang buah di emper warung bakmi,” kata Mariani.
Restoran Padang favorit ayahnya pun masih mengenal keluarga besar Ojong. Semisal di Restoran Pondok Jaya, kini diteruskan anak dari pemilik yang dulu sering bertemu PK Ojong saat bersantap bersama keluarga menikmati hidangan Minang, kampung halamannya.
“Saya dikenalkan dengan jengkol balado oleh Papi. Kakak ipar saya yang pintar memasak diminta memasak jengkol balado. Kamu cobain deh ini enak,” kata Mariani mengenang salah satu makanan kesukaan ayahnya sambil tertawa ringan.
Mariani mengingatkan pesan dan didikan Ojong soal kejujuran pada hal-hal kecil, misalnya soal uang kembalian belanja di warung Rp 25 hingga kutipan Kitab Suci yang kerap diulang kepada dirinya, yakni “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semua akan ditambahkan kepadamu”.
Kelahiran PK Ojong seabad silam adalah kelahiran dari tokoh pers, sosial, dan juga keberadaan sebuah media massa nasional yang menjadi pedoman bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Masa muda Ojong di Sumatera Barat, di Batavia zaman kolonial, dan masa awal kemerdekaan Indonesia di Jakarta hingga awal 1970-an memberi warna Kompas yang kemudian berkembang menjadi kelompok usaha Kompas Gramedia.
Duet PK Ojong dan Jakob Oetama telah melahirkan Kompas, yang berusaha menjadi pedoman di Indonesia, dengan semangat kemanusiaan untuk mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa!