Di era industri olahraga saat ini, penjualan cendera mata alias merchandise menjadi salah satu lini pendapatan utama bagi klub-klub sepak bola. Jersei atau seragam tanding adalah produk cendera mata klub yang paling banyak diburu suporter.
Peluncuran model baru di setiap jelang dimulainya musim baru serta desain yang ikonik merupakan penyebab utama suporter setia tidak pernah ketinggalan memburu jersei tim favorit mereka. Budaya mengoleksi jersei juga kian menjamur bagi pendukung klub sepak bola di Indonesia.
Menjamurnya industri pakaian olahraga nasional sejatinya menghadirkan harapan untuk ketersediaan jersei yang ramah bagi kantong suporter sepak bola.
Itu dipicu pula dengan meningkatnya industri produsen pakaian olahraga di Indonesia. Kondisi itu menyebabkan 18 klub BRI Liga 1 musim 2022-2023 meluncurkan jersei yang 100 persen dibuat oleh perusahaan dalam negeri. Di musim ini, untuk pertama kalinya tidak ada produsen pakaian olahraga asing yang membuat seragam tim di kompetisi kasta tertinggi sepak bola nasional.
Menjamurnya industri pakaian olahraga nasional sejatinya menghadirkan harapan untuk ketersediaan jersei yang ramah bagi kantong suporter sepak bola. Apalagi, demografi pendukung sepak bola Indonesia adalah masyarakat menengah dan generasi milenial yang sulit menjangkau jersei seharga minimal Rp 1 juta yang diproduksi produsen apparel asing, misalnya Nike dan Adidas.
Menurut laporan Nielsen bertajuk ”What Fans Want: The 2022 World Football Report”, terungkap 69 persen penduduk Indonesia tertarik dengan sepak bola. Alhasil, sekitar 189 juta masyarakat di Tanah Air menjadikan sepak bola bagian dari hidup mereka.
Kemudian, apabila merujuk laporan Bank Dunia berjudul ”Aspiring Indonesia–Expanding the Middle Class (2020)”, sebanyak 44 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 114,7 juta orang berada di kategori ”menuju kelas menengah”. Pengeluaran mereka per bulan di kisaran Rp 532.000 hingga Rp 1,2 juta.
Sebanyak 21,7 persen atau berjumlah 56,7 juta masyarakat Indonesia berada di kelas menengah-atas dengan pengeluaran minimal Rp 1,2 juta per bulan. Dengan data tersebut, pembelian jersei sepak bola original bagi mayoritas pencinta sepak bola adalah sebuah kemewahan.
Tetap mahal
Produksi jersei dari apparel dalam negeri tidak serta merta menurunkan derajat jersei sebagai barang yang terjangkau. Produsen jersei dalam negeri memang lebih memahami kebutuhan suporter lokal karena menghadirkan variasi kualitas jersei, misalnya jersei ”edisi pemain” (player issue) yang harganya di atas Rp 500.000 hingga versi suporter atau replika yang bisa tersedia di bawah Rp 300.000.
Namun, jika merujuk pendapatan suporter per bulan dengan nilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) dari seluruh kontestan Liga 1 musim ini, harga jersei dengan kualitas tertinggi setara rerata 14 persen dari pendapatan pendukung per bulan.
Sebagai contoh, Persija Jakarta menjual jersei kualitas terbaik mereka yang setara yang digunakan pemain dengan banderol Rp 799.900. Angka itu setara 16,3 persen dari UMK per bulan provinsi DKI Jakarta di tahun ini sebesar Rp 4.901.798.
Persentase perbandingan itu akan semakin melambung jika memperhatikan data Badan Pusat Statistik mengenai pengeluaran non-makanan DKI Jakarta yang rerata sebesar Rp 1.572.026. Dengan angka itu, jersei ”Macan Kemayoran” di musim ini setara 50,8 persen dari angka rerata pengeluaran non-makanan penduduk ibu kota.
Alhasil, warga Jakarta harus benar-benar mengencangkan pengeluaran mereka per bulan atau perlu menabung setidaknya tiga bulan untuk membeli jersei asli Persija agar tidak memengaruhi pos pengeluaran mereka per bulan. Akan tetapi, Persija juga menyediakan jersei versi replika seharga Rp 249.900.
Mochtar Sarman, CEO Juara—produsen jersei Persija—mengatakan, penentuan harga untuk kualitas jersei terbaik menyesuaikan dengan kualitas bahan dan inovasi yang telah dilakukan. Ia mengatakan, pihaknya menyajikan sejumlah ciri khas dari apparel Juara yang dibuat eksklusif untuk Persija.
”Kami sebut bahan untuk player issue dengan teknologi fervor-knit yang tidak bisa dipalsukan karena motif dan pola di jersei terajut dalam bahan, bukan teknik printing seperti musim sebelumnya,” ucap Mochtar kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Harga jersei yang memiliki persentase perbandingan tertinggi dengan UMK dan pengeluaran non-makanan dipegang oleh PSIS Semarang. Harga jersei ”Mahesa Jenar”, julukan PSIS, dibanderol Rp 750.000—yang ditambah menempelkan seluruh sponsor klub—setara 24,5 persen dari UMK Kota Semarang 2023 sebesar Rp 3.060.348.
Harga jersei PSIS itu pun berjumlah 136,6 persen dari pengeluaran non-makanan masyarakat Jawa Tengah yang berada di angka Rp 548.986 per bulan.
Tingginya harga yang dipatok Riors untuk jersei PSIS juga tidak lepas dari inovasi nan kompleks untuk menghadirkan kualitas seragam tanding terbaik. Riors, kata Francisco Dhamma, Brand Marketing Retail Riors, ingin bekerja sama dengan PSIS tidak sekadar untuk menyediakan perlengkapan bagi tim, tetapi juga menghadirkan seragam untuk membantu pemain mengeluarkan kemampuan terbaik di lapangan.
”Selain versi terbaik, kami juga meluncurkan produk dalam berbagai variasi agar seluruh lapisan masyarakat pendukung PSIS bisa membeli produk resmi demi membantu klub,” ucapnya.
Selain PSIS, ada pula harga jersei kualitas terbaik Persebaya Surabaya dan PSM Makassar yang melampaui total pengeluaran non-makanan per bulan di provinsi asal mereka. Biaya sebesar Rp 850.000 untuk jersei kelas ”edisi pemain” Persebaya setara 136,6 persen dari pengeluaran non-makanan warga Jawa Timur.
Adapun dana Rp 699.000 untuk menebus jersei PSM, yang diproduksi mandiri oleh manajemen klub melalui jenama Rewako, sebanding dengan 121,3 persen pengeluaran non-makanan per bulan bagi masyarakat di Sulawesi Selatan.
Saat ini, harga jersei musim 2022-2023 yang termurah untuk kualitas tertinggi dipegang oleh PSS Sleman. Meski hanya dibanderol Rp 325.000, harga jersei itu masih agak sulit terjangkau karena mencapai 15 persen dari angka UMK Kabupaten Sleman, yakni Rp 2.159.519 per bulan. Harga itu pun setara 38,2 persen dari total pengeluaran non-makanan warga Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 851.530.
Sementara itu, Bhayangkara FC, Dewa United, dan Persikabo 1973 menghadirkan harga jersei yang paling ramah kantong. Mereka menghadirkan jersei dengan perbandingan UMK di bawah 10 persen. Jersei Bhayangkara dan Dewa diproduksi oleh Mills, produsen apparel yang juga menyediakan jersei tim nasional. Sementara Persikabo tetap menggandeng Adhoc yang telah berkerja sama sejak musim 2021-2022.
Hanya saja, ketiga tim itu tidak memiliki budaya suporter fanatik. Bhayangkara dan Dewa, misalnya, bukan klub yang hadir dengan keterikatan geografis seperti klub yang lahir di era Perserikatan. Persikabo memang menggunakan nama wilayah Kabupaten Bogor, tetapi tim itu tidak murni asal Bogor karena hasil penyatuan dengan PS Tira sejak 2019.
Perbandingan dengan Eropa
Sementara itu, harga jersei klub-klub di lima liga terbaik dunia, seperti Inggris, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Italia, jauh lebih ramah kantong dibandingkan jersei tim Liga 1 jika dibandingkan dengan rerata pendapatan dan biaya hidup per bulan di kota-kota asal klub.
Sebagai contoh, tiga tim Inggris, yaitu Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Chelsea, menjual jersei kualitas otentik atau edisi pemain dengan kisaran harga 130 dollar AS (Rp 1,9 juta) hingga 140 dollar AS (Rp 2,14 juta). Jumlah itu hanya berkisar kurang dari 4 persen dari rerata pendapatan warga kota London sebesar 3.662 dollar AS (Rp 56,1 juta).
Meski London dikenal sebagai salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia, banderol untuk jersei itu hanya 5 persen dari rerata biaya hidup di kota metropolitan itu.
Secara umum, harga jersei klub-klub Eropa tidak lebih dari 10 persen dengan rata-rata pendapatan per bulan masyarakat di kota-kota asal klub tersebut. Persentase lebih tinggi terlihat di Liga Spanyol dan Liga Inggris. Dua rival abadi di Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, membanderol seragam tempur mereka yang sebanding dengan 7 persen dari rerata pendapatan warga di dua kota terbesar di Spanyol.
Di Italia, Inter Milan dan Juventus menetapkan harga tertinggi untuk jersei mereka dibandingkan 18 tim Liga Italia musim ini. Harga jersei Inter seharga 148 dollar AS (Rp 2,26 juta) sebanding dengan 7,9 persen pendapatan warga kota Milan, sedangkan Juve juga mematok harga jersei serupa untuk kualitas terbaik yang setara dengan 8,9 persen dari rerata gaji per bulan masyarakat kota Turin.
Meski demikian, di Milan, harga jersei Inter itu cuma 8,9 persen dari biaya hidup. Adapun harga jersei yang dijual Juve untuk musim ini setara 13 persen dari biaya hidup kota Turin di angka 1.134 dollar AS (Rp 17,4 juta) per bulan. Alhasil, seragam tempur Juve menghadirkan perbandingan harga jersei dengan biaya hidup tertinggi di lima liga top Eropa.
Mohamad Dian Revindo, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengungkapkan, pengeluaran merchandise, terutama jersei klub, menjadi kegiatan ekonomi di ranah sepak bola dengan pengeluaran terbesar bagi suporter Liga 1 Indonesia.
Pada hasil penelitian LPEM UI pada Liga 1 musim 2019, asumsi pengeluaran fans untuk pembelian cendera mata klub sebesar Rp 300 miliar. Jumlah itu jauh di atas angka akumulasi penjualan tiket yang berkisar Rp 171 miliar.
”Dampak ketika pendukung membeli jersei, maka toko (apparel) bisa memberikan imbas kepada industri lain, seperti pabrik benang,” kata Revindo.
Ia menambahkan, ”Prospek jersei amat besar karena sekarang jersei sudah menjadi budaya masyarakat. Jersei tidak hanya dikenakan ketika datang ke stadion menonton sepak bola, tetapi dipakai juga ketika berkegiatan lain, seperti pergi ke mal.”