Joey Alexander mulai risih dengan sebutan “bocah pianis ajaib”. Tak heran, tahun ini ia akan berusia 14 tahun, memasuki masa remaja. Akan tetapi, tak ada yang menyangkal bakat alamiahnya sebagai pianis jazz.
Konser di JIExpo, Kemayoran, Jakarta pada 22 Mei lalu adalah pembuktian kepiawaian dan kedewasaan Joey, baik dalam urusan bermusik maupun bergaul. Bersetelan jas kasual dan sepatu kulit, Joey tampil selama hampir dua jam.
Ia main bareng musisi pengiring Dan Chmielinski pada bas dan Jeff “Tain” Watts pada drum. Keduanya berusia jauh lebih tua dibandingkan Joey yang saat itu belum genap 13 tahun.
Interaksi antarpemusik ini berjalan mulus dan asyik untuk dicermati. Dari balik piano gran Steinwey & Sons, Joey adalah pemimpin trio itu. Jeff (57) memukul drum berdasarkan aba-aba dari Joey, melalui pandangan mata, maupun gerakan kepala. Cara komunikasi itu berjalan amat halus (subtle ) yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang berada di panggung.
Ketika membawakan nomor standar "Giant Step", rona Joey berseri-seri. Ia sama sekali tak mengerutkan dahi memainkan nomor yang dipopulerkan John Coltrane itu. Pada paruh kedua lagu, ketika dinamika menguat, Joey sampai berdiri dari kursi keasyikan bermain.
Jeff, yang malang-melintang di kancah jazz bersama Wynton Marsalis, memuji jiwa kepemimpinan Joey. Menurut Jeff, Joey berusaha memahami keinginan band. “Ia tidak menggunakan kata-kata dalam mengarahkan tapi menunjukkan lewat permainan. Bagi anak muda, itu adalah hal yang spesial,” kata Jeff.
Jeff pernah merasakan karakter serupa pada Wynton Marsalis. Usia Wynton masih sekitar 18 atau 19 tahun ketika Jeff pertama kali bermain dengannya. Kini Jeff mendapati karakter tersebut pada Joey, yang berumur lebih muda daripada Wynton kala itu.
Dan Chmielski, pemain bas jebolan sekolah musik, juga memuji keterampilan Joey. “Sekolah mengajarkan teori. Nah, Joey bisa berinteraksi dan berkomunikasi lebih baik daripada yang belajar musik secara akademis. Ini luar biasa sekali,” ungkap Dan.
Bagaimana Joey menanggapi puja-puji sedemikian? “Buatku, teknik memang penting. Aku mengasah teknik lewat latihan. Tapi sebenarnya ketika berlatih, aku lebih banyak menggunakan rasa (feel ),” kata dia, yang suaranya mulai berubah khas remaja. Joey berlatih dua sampai tiga jam setiap hari di rumahnya.
Sebelum main di Jakarta, Joey baru mengguncang masyarakat Indonesia karena namanya menjadi nomine pada dua kategori di Grammy Awards. Albumnya, My Favorite Things tercantum di kategori album instrumental terbaik, dan improvisasi pada lagu "Giant Step" ada di daftar penampilan jazz terbaik. Itu adalah kali pertama orang Indonesia masuk daftar penganugerahan bergengsi tersebut.
Joey memang tidak membawa pulang piala. Namun lewat permainannya pada lagu "City Lights" ciptaannya sendiri, Joey membuat maestro jazz Herbie Hancock terkagum-kagum dan berdiri bertepuk tangan.
Belum usai gegap-gempita Grammy Awards itu, Joey kembali membuat kejutan. Pada 29 April, ia main di Gedung Putih ditonton Presiden AS (waktu itu) Barrack Obama pada perhelatan International Jazz Day. Joey main bareng peniup terompet legendaris Wayne Shorter, dan pemain bas jempolan Esperanza Spalding.
Prestasi itu ia tuai selama merantau di New York, AS sejak 2014. Maka, ketika ia menyempatkan “mudik” ke Indonesia melalui konser tunggal, publik menyambutnya. Namun Joey belum berhenti membuat babak baru.
Lima bulan setelah konser yang ditonton langsung Gubernur DKI Basuki Thajaja Purnama itu, Joey mengeluarkan album keduanya, Countdown. Album itu memuat sembilan lagu, tiga di antaranya ciptaan sendiri yaitu "City Lights", "Sunday Waltz", dan "Soul Dreamer".
Lagu lainnya adalah interpretasi dia terhadap karya-karya jazz sepanjang zaman. Di antaranya adalah "Countdown" gubahan John Coltrane, "Criss Cross" (Thelonious Monk), "Chelsea Bridge" (Billy Strayhorn), dan "Maiden Voyage" (Herbie Hancock).
Joey sama-sama menikmati memainkan lagu komponis terkenal, dan juga menggubah sendiri ciptaannya. Dua proses itu kadang bisa terjadi dalam waktu bersamaan.
“Kadang-kadang, ketika sedang latihan, bermunculan melodi baru dan ide ritme. Pada saat itulah, aku menyadari aku sedang menyusun sebuah lagu,” ucap Joey seperti tercantum di situs Motema, label rekaman tempatnya bernaung.
Bagi Joey, menulis lagu erat kaitannya dengan banyak mendengar karya dari pemusik yang ia suka. Theolonius Monk adalah salah satu yang berpengaruh besar baginya. Ia juga menyebut Louis Armstrong dan Duke Ellington sebagai idolanya. Di luar jazz, ia menyukai corak musik gospel dan soul, serta sedikit pop.
Majalah jazz Elmore mengganjar album itu dengan angka nyaris sempurna, yaitu 95. Sentuhan Joey pada lagu "Smile" gubahan Charlie Chaplin dianggap berhasil membangun nuansa sendu yang meneduhkan. Sedangkan atas lagu ciptaannya sendiri, City Lights, Joey dianggap piawai mempertontonkan pilihan melodi yang mengalir dalam langgam swing.
Penulis ulasan itu, Sylvania Garutch menyatakan tak lagi menyebut Joey sebagai pianis hebat berusia muda. “Ia (Joey) adalah pianis luar biasa. Titik.”
Lewat album itu pula, Joey kembali mendapat nominasi Grammy Awards 2017 pada kategori improvisasi jazz terbaik pada lagu "Countdown". Di kategori ini, Joey bersaing dengan karya John Scofield, Brad Mehldau, Fred Hersch, dan Ravi Coltrane, anak dari mendiang John Coltrane, salah satu panutan Joey.
Namun, Grammy belum berpihak kepada Joey. Ia kalah bersaing dari John Scofield yang jauh lebih senior. Meski begitu tak ada yang meragukan kualitas Joey. Ia tetap seorang pianis yang diakui kehebabatannya di kancah musik jazz dunia.
Kualitas album Countdown agaknya berbanding lurus dengan penjualannya. Majalah Billboard, yang rutin mencatat penjualan album musik, menempatkan album yang diproduseri Jason Olaine ini di urutan pertama album jazz terlaris di AS sepanjang 2016.
Jadwal latihan dan rekaman tak menghambat Joey mempertontonkan lagunya kepada khalayak. Ia sangat menikmati bermain bagi penonton.
“Aku mengakui ada sesuatu yang spesial terjadi ketika penonton menikmati penampilan di panggung. Aku berusaha kalem, tapi sangat suka dengan energi yang terjadi antara aku dan penonton. Ketika penonton menunjukkan apresiasi mereka, aku terdorong untuk meningkatkan kemampuanku, dan menciptakan bebunyian baru,” kata Joey.
Di luar urusan musik, Joey tak banyak berbeda dengan teman sebayanya; generasi milenial yang tak bisa lepas dari internet. Joey bersama ayah ibunya kadang pergi ke bioskop di akhir pekan. Kalau tidak sempat, mereka menonton film lewat layanan Netflix. Lewat internet pula, Joey “bersekolah”, belajar mata pelajaran sekolah secara daring.
“Di lingkungan rumah dia punya banyak teman dan sering kumpul-kumpul. Dia ikut klub renang, juga tenis. Kalau sedang berkumpul sama teman-temannya, Joey jarang ngobrol soal musik. Paling yang diomongin toys, superheroes ,” kata Denny Sila, ayahnya beberapa waktu lalu di Jakarta.
Kata ayahnya, Joey agak susah latihan kalau tidak ia dampingi. Peran Denny, amat besar bagi Joey. Betapa tidak, Joey mendengar lagu-lagu jazz klasik dari album koleksi Denny, dan juga melihat ayahnya main piano. Ketika berusia enam tahun, Joey tiba-tiba memainkan lagu Thelonious Monk di piano karena terbiasa mendengarnya.
Mereka memutuskan pindah ke New York pada 2014, demi mendekatkan Joey dengan atmosfer jazz. Denny menjual seluruh aset miliknya di Bali, seperti rumah dan usaha jasa perjalanannya. Joey mendapat visa O-1, izin bekerja di AS bagi orang berkemampuan luar biasa, sedangkan ayah ibunya memegang visa O-2.
Denny kini bertanggung jawab atas urusan bisnis musik anaknya. Ia mengatur jadwal latihan, jadwal manggung, serta menghubungi musisi yang akan tampil bareng Joey. Sementara ibunya, Farah Urbach, bertanggung jawab menjaga fisik dan psikologis Joey.
“Joey maunya cuma main. Saya juga inginnya begitu. Leave all the dirty works for me ,” kata Denny. Bagi dia, apa yang dicapai Joey selama tinggal di New York melampaui harapan mereka.
Jauh sebelum pindah ke New York, Denny membawa Joey ke Jakarta, mempertemukannya dengan banyak pemusik jazz, seperti Indra Lesmana dan Benny Likumahuwa. “Sama Om Benny ini Joey sering diajak jamming kalau dia (Om Benny) ada jadwal tampil,” kata Denny.
Mereka juga menyempatkan merekam permainan Joey di studio iCan Studio, di Jakarta Selatan pada 29 Desember 2013. Joey memainkan lagu "Round Midnight" karya Thelonious Monk.
“Dari awal Joey tidak diapa-apakan karena dia sudah jago. Waktu dia (Joey) main di studio, kami rekam videonya, dan unggah ke YouTube. Dari situlah perjalanannya dimulai sampai ke Grammy,” kata Lucy Willar, co-producer rekaman video itu.
Mengutip dari laporan NBC News, pemain trompet Wynton Marsalis menonton video itu. Wynton adalah direktur artistik untuk Jazz at Lincoln Center (JALC) di New York. Wynton lantas mengundang Joey untuk tampil di acara tahunan arena jazz bergengsi itu pada 2014.
Jason Olaine, yang kelak jadi produser album Joey, menyaksikan penampilan perdana Joey di kota "Big Apple" itu. Saat itu, Jason adalah direktur program JALC. Ia menceritakan reaksi penonton kala itu.
Klik pada tuts piano untuk keterangan
“Para penonton ternganga. Mereka melihat penampilan Joey dan lantas saling berpandangan, lalu tertawa, seolah tak percaya apa yang mereka saksikan,” kata Jason. Setelah pentas itu, reputasi Joey di New York terbangun dengan baik. Ia banyak tampil di festival jazz seantero AS seperti Newport Jazz Festival dan Monterey Jazz Festival. Joey tak terhentikan.
Berada di New York, pusat jazz dunia menyenangkan hati Joey. Kota itu memberi energi besar baginya. Pertemuan dengan banyak pemusik dunia ia anggap berpengaruh besar. “Mereka sering kasih pujian dan juga mendorongku untuk terus bermain (musik),” katanya.
Tentu banyak yang berharap Joey bisa membawa pulang piala Grammy kali ini. Jika memang demikian, Joey adalah pemusik jazz termuda yang berhasil menggenggam piala emas itu.
Jika urung menang, ia telah berada di jalan yang tepat. Album bagus dan testimoni pemusik jazz adalah buktinya. Dengan rendah hati pula, ia pernah berucap bahwa musik adalah jalan hidupnya. “Aku tidak tahu bakal jadi apa tanpa musik,” katanya mantap.(AP/BILLBOARD)
Penulis: Herlambang Jaluardi | Fotografer: Hendra A Setyawan, Heru Sri Kumoro | Ilustrator: Toto Sihono | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Budi Suwarna
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.