Jongos, Kuli, Buruh Kebun dalam Pusaran Peradaban Priangan

Foto jamuan makan itu terlihat tidak seimbang. Hanya ada empat orang berkulit pucat, seorang di antaranya anak-anak, duduk di satu meja yang tidak terlalu besar. Ragam busana yang mereka gunakan bervariasi. Ada jas hingga celana pendek. Semua memasang pose terbaik saat diabadikan kamera.

Kondisinya kontras dengan 15 orang pribumi berkulit gelap. Mereka berseragam beskap putih. Di kepala terpasang penutup kepala (iket) Sunda. Masing-masing membawa dua piring makanan. Semuanya berekspresi wajah sangat kaku.

KITLV
Para pelayan melayani jamuan ala rijsttafel di sebuah restoran di Hotel Savoy Homann di Bandoeng, Jawa Barat, sekitar tahun 1933.

Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang ditulis Haryoto Kunto, foto itu diambil di Hotel Savoy Homann tahun 1930an. Momen itu berkisah tentang rijsttafel, penyajian mewah beragam jenis menu makanan yang tengah tren di era itu.

Risjattafel berasal dari kata rijs yang artinya nasi dan tafel yang artinya meja sehingga lebih kurangnya berarti sajian nasi di atas meja. Akan tetapi, tidak hanya nasi yang jadi andalannya. Beragam menu paduan Nusantara, Eropa, hingga India, dan belasan hingga puluhan pelayan laki-laki pribumi atau biasa disebut jongos.

Semakin banyak jongos dalam rijsttafel, semakin tinggi prestise penikmatnya. Di era kolonial, kebiasaan mencari kebanggaan dengan sikap merendahkan terbiasa dilakukan.

KITLV
Seorang pembantu rumah tangga (sekarang disebut asisten rumah tangga) duduk melantai, di Surabaya, Jawa Timur, sekitar tahun 1900.

Deskripsi serupa dipaparkan sejarawan Dr Onghokham dalam ceramah berjudul ”Pertemuan Timur Barat di Meja Makan: Rijsttafel, Suatu Extravaganza Orang Belanda di Koloni Asia” tahun 1995. Lewat ragam gambar, ia memaparkan kondisi yang sama.

Seperti foto yang dicuplik Kunto, jongos berjajar membawa nampan, piring, atau baki berisi makanan. Di hadapan mereka ada tuan-tuan Belanda makan di sebuah meja dinamakan rijsttafel.