Kakao, Kesabaran yang Berbuah Manis

Selain di dataran tinggi, PTFI juga memiliki program pengembangan agrikultur di dataran rendah. Salah satunya, perkebunan kakao yang dijalankan oleh Koperasi Buah Dewa. Ada ribuan batang pohon yang ditanam di area perkebunan koperasi yang terletak di Kampung Utikini Dua di Satuan Permukiman 12, Distrik Kuala Kencana, Mimika.

Ketua Koperasi Buah Dewa (KBD) Devia Mom yang ditemui Kompas, Sabtu (18/3/2022), meyakini kakao sebagai masa depan perekonomian Timika. Itulah mengapa koperasi selalu menyediakan bibit kakao yang dapat diambil secara gratis oleh masyarakat, terutama anggota koperasi, berapa pun jumlah yang diinginkan.

Akan tetapi, kebijakan itu tidak lantas menumbuhkan minat warga terhadap kakao mengingat tanaman itu baru berbuah tiga tahun setelah bibitnya ditanam. Namun, prospek budidaya kakao sebenarnya menjanjikan karena pohonnya akan berbuah sepanjang tahun tanpa sistem budidaya yang rumit. Harganya pun cenderung tinggi karena ditentukan oleh pasar internasional.

”Kadang masyarakat lebih memilih ke Kali Kabur (saluran tailing tambang PTFI) untuk mendulang emas. Hanya dari beberapa gram yang diperoleh, mereka bisa dapat jutaan rupiah dalam sehari. Tetapi kami mengerti, kalau suatu hari tambang tidak ada lagi, kakaolah yang akan menghidupi kami,” kata Devia.

Dari total 500 anggota yang terdaftar, saat ini KBD memiliki sekitar 300 anggota aktif dengan total luas lahan 228 hektar. Hampir setengahnya adalah orang asli Papua dari suku-suku minoritas di Mimika, yaitu Dani, Damal, Moni, Mee, dan Nduga. Mereka tinggal di kampung-kampung yang tersebar di Distrik Kuala Kencana dan Mimika Timur.

Sem Kabuare, Ketua Kelompok Program Perkebunan dan Peternakan Community Affairs PTFI, mengatakan, syarat menjadi anggota hanyalah memiliki lahan siap tanam. Bibit berusia tiga bulan akan diberikan cuma-cuma bersama dengan pupuk serta alat pertanian ringan seperti sekop dan parang.

Saat ini, para petani KBD mampu menghasilkan 3 ton biji kakao setiap enam bulan. Hasil panen sudah dipastikan terserap industri karena KBD telah memiliki kontrak pembelian dengan PT Cargill Indonesia di Jawa Timur dan PT Mars Symbioscience Indonesia di Sulawesi Selatan.

Devia mengatakan, KBD membeli biji kakao dengan kisaran harga Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram dari masyarakat, kemudian menjualnya ke pabrik senilai antara Rp 25.000-Rp 30.000. Keuntungan yang didapat akan dikembalikan kepada anggota dalam bentuk bahan makanan.

”Tidak dalam bentuk uang karena saya tidak ingin masyarakat terbiasa menerima uang (secara cuma-cuma), harus dari kerja keras mereka sendiri,” katanya.

Kompas/Wisnu Widiantoro
Petani kakao, Derpina Murib, memanen buah cokelat yang telah matang di kebunnya di Kampung Utikini 2, Disrik Kuala, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (18/3/2022). Setiap minggu sekitar 20 kilogram buah cokelat bisa dipanen di kebun ini. Sedangkan puncak panen dilakukan pada Juni-Juli dengan hasil sekitar 100 kilogram per minggu. Setelah dikeringkan, biji-biji cokelat dijual dengan harga Rp 22.000 per kilogram.

Sem Kabuare menilai perkembangan KBD begitu baik, tetapi bukan berarti tanpa tantangan. Sejak program kakao dimulai pada 2012 hingga kini, KBD belum mampu mengirim kakao dalam jumlah besar ke dua pabrik mitra. Penyebabnya, pertama, soal cuaca di sekitar Timika yang tak menentu sehingga banyak buah yang gugur sebelum siap panen.

Kedua, minat para petani rendah karena pohon kakao tidak cepat berbuah. Pemasukan tidak bisa instan seperti mendulang emas. Karena itu, KBD harus mengembangkan pula program tanaman pangan, seperti ubi keladi, ubi jalar, dan pisang. Akses pasar terbuka berkat kontrak dengan PT Pangansari Utama (PSU), kontraktor jasa boga PTFI.

”Koperasi beli umbi-umbian dan pisang dari masyarakat untuk dijual ke PSU sesuai purchase order. Jadi, para petani bisa memiliki pendapatan sehari-hari sambil menunggu produksi dari kakao,” ujar Sem.

Menurut Devia, program tanaman pangan ini turut meningkatkan semangat para petani sekalipun koperasi tak menyediakan bibit seperti pada program kakao.

Pada permulaan program itu, petani berbondong-bondong membawa panen ubi dan pisangnya sampai mengantre panjang. Karena itu, KBD membuatkan jadwal penjualan untuk setiap daerah agar hasil panen tidak menumpuk, yaitu tiap Senin, Rabu, dan Jumat.

Program-program KBD pun membawa perubahan dalam hidup para anggotanya. Salah satunya, Jonewas Wenda (59), orang Dani yang turun ke Timika dari daerah pegunungan Ilaga di Kabupaten Puncak. Ia bisa mendapatkan Rp 3,3 juta setiap bulan dari penjualan kakao dan tanaman pangan. ”Hasil penjualannya bisa bantu kami lebih berkecukupan dan memperbaiki ekonomi keluarga,” katanya.

KDB pun, kata Sem, menjadi salah satu unit pengembangan ekonomi masyarakat yang paling dekat dengan kemandirian tanpa terlalu banyak subsidi dari PTFI. Pembelian hasil bumi dari masyarakat setiap bulan bisa mencapai Rp 250 juta setiap bulan, sedangkan penghasilan per tahun bisa mencapai Rp 1,3 miliar.

Kendati begitu, Devia menyatakan, semangat anggota koperasi untuk menanam kakao perlu terus digenjot. Pesanan dari PT PSU suatu saat akan hilang seandainya IUPK PTFI tidak diperpanjang pada tahun 2041.

”Saat karyawan perusahaan sudah tidak ada, hasil bumi (tanaman pangan) tidak akan laku. Satu-satunya yang jadi harapan kami adalah kakao,” ujarnya.
Unduh Pola Halaman Kompas