Vaksin menjadi harapan menghentikan virus korona. Namun, pengembangan vaksin ini butuh kehati-hatian. Karena, hanya ada satu hal yang lebih berbahaya daripada virus jahat seperti korona, dan itu adalah vaksin yang buruk.
Bahkan, dengan strategi lockdown yang paling ketat sekalipun, hanya akan memperlambat penyebaran penyakit Covid-19. Untuk menghentikan atau membasminya, vaksin adalah caranya karena dapat mencegah orang jatuh sakit. Vaksin dapat memberi sistem kekebalan dalam mengenali dan membangun pertahanan melawan bakteri atau virus penyebab penyakit, mencegah orang terinfeksi lebih awal.
Menghadapi pandemi Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah mengaktifkan cetak biru pengembangan vaksin. Hingga 20 Maret 2020, terdapat 44 kandidat vaksin yang diteliti untuk menanggulangi virus SARS-CoV-2 tersebut. Kecepatan ketersediaan kandidat vaksin ini sebagian berkat upaya awal China membuka kode genom SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.
Percepatan penelitian dan pengembangan penyakit Covid-19 melibatkan puluhan lembaga dan universitas di seluruh dunia, di antaranya Global Research Collaboration for Infectious Disease Preparedness, Centers for Disease Control and Prevention, Imperial College London, Johns Hopkins School of Medicine, University of Oxford, dan UNICEF.
WHO mencatat seluruh kandidat vaksin dari seluruh dunia. Dari semua kandidat, dua jenis vaksin sudah memasuki tahapan fase 1 uji klinis, sementara lainnya masih pada fase pra-klinis.
Kandidat vaksin pertama yang sudah masuk fase 1 uji klinis dikembangkan Institut Alergi dan Penyakit Infeksi Nasional Amerika Serikat (NIAID) bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi Moderna Inc di Amerika Serikat. Vaksin tersebut terbuat dari susunan genetik berupa RNA yang bertipe messenger RNA (mRNA) dan diberi nama mRNA-1273.
Kemampuan RNA dijelaskan mampu menghentikan gerak gen patologis dan mendukung tahapan pengobatan yang diberikan melalui adaptasi gen dan antibodi. Penggunaan vaksin secara klinis perlu didukung dengan sistem pengiriman gen non-virus yang tepat.
Menemukan vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah infeksi dari virus korona tipe baru adalah prioritas kesehatan masyarakat yang mendesak.
Dalam perkembangannya, NIAID mengumumkan telah melaksanakan uji kepada manusia pada 16 Maret 2020. Uji klinis dilakukan kepada 45 orang, berusia 18-55 tahun dan dalam kondisi sehat.
”Menemukan vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah infeksi dari virus korona tipe baru adalah prioritas kesehatan masyarakat yang mendesak,” kata Dr Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS, dikutip dari laman Institut Kesehatan Nasional AS. ”Studi fase 1 ini, dilakukan dengan rekor kecepatan, adalah langkah pertama yang penting untuk mencapai tujuan itu.”
Evaluasi pemberian dosis dilakukan selama enam minggu. Evaluasi uji ke manusia dilakukan dalam beberapa skenario dosis yang berbeda-beda. Hal tersebut bertujuan mendapatkan data tingkat keamanan dan kemampuan vaksin untuk mendorong respons sistem imun manusia.
Vaksin kedua dikembangkan CanSino Biological Inc. dan Beijing Institute of Biotechnology di China menggunakan bahan non-replicating viral vector dengan tipe vaksin Adenovirus Type 5 Vector.
Adenovirus Type 5 Vector memiliki salinan biokimia yang serupa dengan pengobatan ebola. Tipe adenovirus adalah salah satu vektor yang paling banyak dieksploitasi untuk pengembangan virus, salah satunya virus HIV.
Kelebihannya terletak pada kemampuan untuk berkembang dengan cepat dan stabil dalam tubuh manusia, serta memiliki pola antigen yang spesifik bagi virus. Dalam fase terapi gen untuk pengobatan atau imunisasi, adenovirus bersifat aman.
Seluruh kandidat vaksin dikembangkan melalui berbagai macam platform, mulai dari berbasiskan DNA hingga materi yang belum teridentifikasi. Platform penyusunan vaksin virus korona paling banyak menggunakan protein subunit (31,71 persen).
Pengembangan vaksin tidak dapat dilepaskan dari informasi genetik patogen yang sedang mewabah. Vaksin subunit berbasis protein berisikan protein spesifik yang diisolasi dari patogen dan tidak mengandung partikel dari virus.
Sebelum vaksin diberikan secara massal, uji laboratorium secara intensif harus dilakukan meskipun membutuhkan waktu beberapa tahun. Saat uji klinis terhadap manusia dilaksanakan, tahapan evaluasi dan pengawasan harus dilakukan secara berkala dalam waktu tak singkat.
Lisensi vaksin tidak mudah didapatkan. Efektivitas dan keamanan produk sangat menentukan keberlangsungan hidup manusia. Pada beberapa kasus, ahli virologi meyakini penelitian tentang vaksin dapat berjalan satu dekade.
Meskipun ampuh untuk mencegah penularan wabah, penemuan vaksin membutuhkan waktu selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ilmuwan harus menyelidiki wabah penyakit dari awal. Selain itu, vaksin juga harus diuji secara ekstensif pada hewan dan manusia. Untuk tahapan ini, minimal dibutuhkan waktu satu tahun hingga vaksin dapat diedarkan di masyarakat.
Pada kejadian wabah SARS tahun 2003, dibutuhkan waktu 20 bulan dari rilis kode genetik virus untuk menghasilkan vaksin yang siap diujicobakan kepada manusia. Pada epidemi virus zika, peneliti membutuhkan waktu enam bulan untuk mengeluarkan vaksin.
Tahun lalu, WHO mengumumkan prakualifikasi vaksin ebola untuk pertama kali. Keberhasilan ini merupakan puncak pengembangan vaksin selama wabah ebola Afrika Barat pada 2014-2016. Hal ini menjadi langkah awal kepastian pencegahan ebola sebab selama lima tahun dunia berjuang mencegah ebola tanpa vaksin.
Vaksin—yang ditemukan pertama kali oleh Edward Jenner pada 1796—telah berhasil mencegah berbagai penyakit, seperti tetanus, hepatitis, polio, serta wabah ebola dan flu burung. Vaksin-vaksin tertentu wajib disuntikkan ke tubuh pada saat anak balita.
Vaksin diciptakan dengan berbagai pendekatan. Dalam beberapa kasus, bakteri atau virus dibunuh atau dilemahkan menjadi bahan untuk vaksin. Bakteri dan virus tersebut tidak dapat menyebabkan penyakit. Sebaliknya, virus atau bakteri ini mengatur sistem peringatan pada sel imun jika ada penyusup asing yang tidak diinginkan. Tubuh yang telah melihat microba asing ini membuat antibodi yang berfungsi sebagai penghancur mikroba asing dan berbahaya.
Proses pembuatan vaksin ditentukan komponen bahan yang digunakan. Setidaknya ada lima komponen utama, yaitu antigen, stabilizer, ajuvant, antibiotik, dan pengawet. Antigen adalah komponen yang dihasilkan dari struktur organisme penyebab penyakit.
Adapun stabilizer menjamin stabilitas vaksin saat disimpan. Instabilitas vaksin dapat menyebabkan hilangnya antigenisitas dan menurunkan infeksitas vaksin hidup. Sementara ajuvant adalah materi kimia tambahan untuk merangsang pembentukan antibodi terhadap antigen dalam vaksin.
Antibiotik dipakai untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri saat proses pembuatan vaksin. Adapun bahan pengawet bertugas untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur pada kemasan. Tidak sembarang pengawet dapat digunakan. Pengawet yang biasa dipakai dalam pembuatan vaksin adalah thiomersal, formaldehid, atau derivat fenol.
Dalam perkembangannya, terdapat empat jenis vaksin yang telah digunakan secara global, yaitu vaksin hidup yang dilemahkan (tuberkulosis, polio, dan campak), vaksin sel utuh yang diinaktivasi (pertusis), vaksin subunit (hepatitis B dan meningitis), serta vaksin toksoid (tetanus dan difteri).
Semua vaksin yang beredar telah melalui uji klinis. Pengujian klinis sangat penting dilakukan, termasuk memenuhi semua tahapan uji kandidat vaksin. Apabila imunogenitas manusia yang rendah tetap dipaksakan tanpa pengawasan dan evaluasi, maka berpeluang menciptakan antibodi anti-obat yang mampu menghilangkan efek pengobatan.
Uji klinis kandidat vaksin dilakukan dalam tiga fase yang melibatkan banyak sukarelawan. Fase pertama membutuhkan beberapa lusin sukarelawan sehat (20-100 orang) untuk menguji keamanan vaksin dan memantau efek samping.
Fase kedua melibatkan ratusan sukarelawan sehat yang berasal dari wilayah wabah penyakit untuk melihat seberapa efektif vaksin tersebut. Sementara fase ketiga tidak jauh berbeda dengan fase kedua, kecuali jumlah sukarelawan yang bertambah hingga ribuan orang. Total berbagai tahap itu memakan waktu paling cepat sekitar 12 bulan hingga 18 bulan.
Sebagai respons kasus pneumonia yang penyebabnya belum terdeteksi pada 31 Desember 2019, WHO memberikan respons cepat dengan mengaktifkan cetak biru penelitian untuk mempercepat diagnostik, vaksin, dan pengobatan.
Dokumen cetak biru diaktifkan khusus untuk penyakit atau patogen prioritas dalam konteks darurat kesehatan masyarakat. Daftar pertama penyakit prioritas dirilis pada Desember 2015, kemudian diperbarui hingga akhir tahun 2019.
Total ada delapan penyakit yang menjadi prioritas penanganan oleh WHO, yaitu Crimean-Congo haemorrhagic fever (CCHF), ebola virus disease and Marburg virus disease, Lassa fever, MERS-CoV dan SARS, Nipah and henipaviral diseases, Rift Valley fever, zika, dan disease X.
Jenis disease X merujuk pada epidemi atau pandemi serius yang dapat muncul disebabkan patogen yang saat ini belum diketahui dan mampu menyebabkan penyakit pada manusia. WHO menilai pandemi wabah Covid-19 menjadi fokus utama saat ini sehingga cetak biru penelitian diaktifkan.
Sebagai upaya percepatan penanggulangan suatu wabah, cetak biru memiliki jadwal ketat berbasis tema penelitian. Khusus Covid-19, alur penelitian komprehensif, mulai dari vaksin hingga pengobatan, dilakukan dalam durasi satu tahun, yaitu mulai Februari 2020 hingga Februari 2021.
Bulan Februari 2020, agenda global fokus pada tahapan global TPP (target product profile) berdasarkan pengalaman dari MERS dan disease X. Seluruh instansi penelitian medis berusaha mengenali dan membangun protokol penelitian Covid-19 berbasis kasus MERS dan penyakit-penyakit baru.
Tahap berikut, Maret 2020, kriteria vaksin makin diperjelas melalui evaluasi mendalam, termasuk desain dan platform yang akan dibangun. Proses tersebut dijalankan dengan melakukan model pendekatan lanskap karakteristik hewan.
Bulan April 2020, riset vaksin sampai pada tahapan Assay development and validation required for vaccine R&D dan Vaccine Phase 2b/3 Master Protocol. Tahapan medis pengembangan Assay merujuk pada prosedur dalam biologi molekuler untuk menguji dan mengukur aktivitas bahan biokimiawi di dalam suatu organisme.
Pengembangan Assay dilakukan seiring perumusan kriteria untuk validasi vaksin. Setidaknya ada dua validasi utama, yaitu aman dan efektif, serta manfaat lebih tinggi dari risiko. Agenda lain yang dikerjakan adalah memetakan sejarah alami virus korona. Kajian tersebut akan mengungkap bagaimana transmisi virus dan diagnostiknya.
Sejarah alami virus, transmisi, dan diagnostik dilakukan secara mendalam hingga Juli 2020. Setelah dokumen selesai, penelitian akan berpindah pada perumusan kode etik dan pengujian pengobatan yang efektif hingga Februari 2021.
Pembuatan vaksin Covid-19 ini pun telah memunculkan persaingan. Bahkan, Presiden AS Donald Trump membuat geram Pemerintah Jerman setelah menawari perusahaan CureVac yang berbasis di Jerman senilai 1 miliar dollar untuk hak eksklusif atas vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan perusahaan itu. Meskipun hal itu dibantah CureVac.
Dr. Mike Ryan, direktur eksekutif program kedaruratan WHO, mengatakan uji coba perlu dilakukan. “Hanya ada satu hal yang lebih berbahaya daripada virus jahat, dan itu adalah vaksin yang buruk,” katanya. “Kita harus sangat, sangat, sangat berhati-hati dalam mengembangkan produk apa pun yang akan kita suntikkan ke sebagian besar populasi dunia.”
Hanya ada satu hal yang lebih berbahaya daripada virus jahat, dan itu adalah vaksin yang buruk.
Persoalan juga bukan hanya soal mengembangkan vaksin yang efektif buat Covid-19. Ryan mengingatkan, setelah vaksin ditemukan, rintangan logistik, keuangan, dan etika akan dihadapi para pemimpin dunia.
”Bahkan, jika kita mendapatkan vaksin yang efektif, kita harus memiliki vaksin yang tersedia untuk semua orang. Harus ada akses yang adil dan merata ke vaksin itu untuk semua orang,” kata Ryan kepada CNBC, seraya menambahkan dunia tidak akan terlindungi dari virus korona kecuali semua orang divaksinasi.
”Bagaimana kita memastikan mendapatkan cukup vaksin itu tepat waktu, bagaimana kita memastikan dapat mendistribusikan vaksin itu kepada populasi di seluruh dunia, dan bagaimana kita meyakinkan orang untuk menerima vaksin.”
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus telah menghubungi para pemimpin global tentang masalah ini, kata Ryan. ”Vaksin ini tidak boleh hanya untuk yang kaya, tapi juga harus bagi mereka yang tidak mampu membelinya,” kata Tedros.
Hingga saat ini, total ada tiga wabah yang disebabkan virus korona, yaitu SARS, MERS, dan Covid-19. Vaksin terdaftar untuk wabah SARS dan MERS belum ada. Pengembangan vaksin masih sebatas mampu menurunkan gejala infeksi dan pertumbuhan virus di dalam tubuh.
Wabah SARS-CoV memiliki 33 kandidat vaksin, 2 diantaranya sudah memasuki uji klinis. Hal serupa terjadi pada MERS-CoV yang hanya ada 3 vaksin untuk uji klinis dari total 48 vaksin. Padahal, kedua wabah tersebut terjadi setidaknya satu dekade yang lalu.
Kondisi yang cukup menggembirakan adalah progres pembuatan vaksin SARS-CoV-2. Dari 44 kandidat vaksin, ada 2 jenis yang sudah masuk di uji klinis dalam waktu kurang dari enam bulan.
Di luar upaya penemuan vaksin, upaya penanganan penyakit Covid-19 juga dilakukan melalui pengobatan. Saat ini setidaknya ada 87 jenis pengobatan yang dikembangkan, 12 di antaranya sudah diuji coba ke manusia. Kebanyakan metode pengobatan menggunakan lisensi produk dari penyakit lain, seperti influenza, HIV, hepatitis, dan malaria.
Jenis pengobatan paling banyak menggunakan produk untuk infeksi virus HIV adalah ritonavir + lopinavir, darunavir, dan emtricitabine + tenofovir. Khusus obat malaria yang dapat digunakan untuk mengatasi Covid-19 adalah klorokuin.
Masih dibutuhkan waktu lama untuk menemukan vaksin yang aman dan efektif bagi tubuh manusia. Demikian pula jenis pengobatan yang dipakai akan terus diawali dan evaluasi demi mencapai tujuan eliminasi virus Covid-19.
Namun, hal yang patut dicatat, penemuan vaksin menjadi bagian dari linimasa munculnya penyakit di dunia. Hingga saat ini, WHO mencatat 26 jenis vaksin telah berhasil dibuat berdasarkan jenis penyakit, seperti kolera, hepatitis, influenza, malaria, dan demam kuning.
Di luar upaya mencegah penularan melalui pembatasan sosial hingga karantina wilayah, penelitian vaksin dan obat menjadi dua hal yang paling dinanti seluruh umat manusia di tengah wabah Covid-19. Kerja keras seluruh elemen masyarakat, mulai dari lembaga internasional, lembaga swasta, ilmuwan, dokter, hingga rumah sakit, menjadi kolaborasi dunia untuk mewujudkannya.
Pengembangan vaksin memang tidak bisa instan. Dan seperti kata pejabat WHO, hanya ada satu hal yang lebih berbahaya daripada virus jahat seperti korona, dan itu adalah vaksin yang buruk.