Karst Gombong Selatan bukan sekadar hamparan bukit kapur semata, melainkan penyeimbang ekosistem demi kelangsungan aneka makhluk hidup di sekitarnya, termasuk manusia. Namun, ancaman kehancuran karst mulai tampak. Untuk itu, pemanfaatan kawasan ini perlu dibarengi dengan kebijakan perlindungan yang berkelanjutan sehingga tetap terjaga kelestariannya.
Udara sejuk berbalut gemericik air terasa di sekitar Sendang Pelus yang berada di Desa Rogodadi, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Mata air yang berada sekitar 10 kilometer arah selatan dari Gombong ini terletak di kaki bukit karst yang tampak menjulang, setinggi sekitar 150-200 meter.
Sejumlah anak bermain air sekaligus mandi di selokan yang mengalirkan air dari sendang ini. Rimbun dedaunan jati dan beringin membuat betah untuk berlama-lama bernaung di sekitar kawasan ini. “Dulu airnya besar dan deras dibanding sekarang. Mungkin karena ada longsoran bukit itu,” tutur Minarti (43), putri dari Mbah Sukini (65), juru kunci Sendang Pelus.
Sembari memberi makan ikan pelus, ikan yang bentuknya hampir menyerupai ikan lele, tapi dengan ukuran panjang antara 30 sentimeter dan 100 sentimeter, Minarti mengisahkan bahwa sendang ini dikeramatkan dan tidak boleh ada yang mengganggu atau mengambil pelus-pelus ini. Jika hal itu dilakukan, konon sakit atau bencana akan menghampiri yang bersangkutan. “Ada sekitar 10 pelus di sini. Tidak boleh diganggu. Di malam-malam tertentu juga ada orang yang bersemedi di sini,” tuturnya.
Di antara riang tawa anak-anak yang asyik bercengkerama menikmati segarnya air sendang, terdengar suara denting linggis beradu dengan bebatuan dari kejauhan. Di antara bunyi keciprat air dari pelus yang menyambar telur goreng di permukaan, terdengar deru sepeda motor penambang batu menuruni bukit karst. Hanya sekitar 300 meter dari sendang ini, aktivitas tambang batu kapur masih ditemui. “Lima meter kubik batu buat pondasi harganya Rp 450.000,” kata Sarijan (59), penambang batu di sekitar batu lubang.
Batu lubang merupakan istilah warga setempat untuk menunjuk sebuah lubang yang berada di bawah bukit kapur. Sejumlah ceruk mulai dari ukuran 1 x 2 meter hingga belasan meter tampak di kawasan bukit batu ini. Di sekitarnya tampak tali-temali serta tangga untuk memasang dinamit guna menghancurkan batu untuk kemudian ditambang. “Dari atas pakai dinamit. Lalu diambil batu yang keras untuk pondasi, sisanya dipakai untuk menimbun supaya rata lagi,” ujar Sarijan yang sudah menambang batu sejak usia 14 tahun.
Menurut Sarijan, kawasan itu dimiliki oleh sejumlah orang dan dia bersama rekannya biasa mengumpulkan lima meter kubik batu dalam kurun waktu tiga hingga empat hari. “Ini tanah juragan saya. Biasanya bisa dapat batu untuk dijual sekitar 3-4 hari,” paparnya.
Di sisi lain dari karst Gombong Selatan ini, tepatnya di Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah atau berada di belakang Goa Petruk, terdapat pembongkaran karst untuk dibangun jalan dengan panjang hingga 2 kilometer untuk menuju objek wisata Curug Gumawang dan Curug Leses, Goa Langse, serta Tebing Kandangan. “Pembukaan jalan ini merusak karst yang bisa menyimpan air tanah serta berpotensi longsor. Karst ini ibaratnya seperti spons yang bisa menyimpan air puluhan tahun bahkan lebih,” tutur Marsinus Yosa, aktivis lingkungan dan juga warga setempat.