Kecerdasan Buatan yang Memanipulasi Manusia

Saat memutuskan membeli sesuatu di lokapasar (marketplace) atau menonton film di layanan streaming, kita selalu berpikir keputusan yang kita ambil adalah murni pilihan kita sendiri. Ternyata algoritma yang merupakan tulang punggung dari kecerdasan buatan (artificial intelligence) memengaruhi keputusan kita ketika memilih. Kecerdasan buatan memiliki biasnya sendiri dan bisa menjadi sangat jahat.

Pendapat itu disampaikan Kartik Hosanagar dalam bukunya, A Human’s Guide to Machine Intelligence: How Algorithms Are Shaping Our Lives and How We Can Stay in Control. Secara garis besar, Hosanagar membahas bagaimana keputusan algoritmik bisa keliru dan bagaimana kita dapat mengontrol cara teknologi memengaruhi keputusan yang dibuat untuk atau tentang kita.

Selama ini berkembang asumsi yang menyebutkan kecerdasan buatan cenderung efisien, obyektif, dan dapat diandalkan. Fenomena itu kerap disebut sebagai bias mesin (machine bias). Situasi ini telah menimbulkan beberapa peringatan tentang bagaimana algoritma dan pihak-pihak yang memanfaatkannya dapat memanipulasi keputusan seseorang dalam berbagai bidang.

Salah seorang yang juga memberikan peringatan akan bahaya kecerdasan buatan ialah Elon Musk, pendiri Spacex, Tesla, Starlink, dan Paypal. Dalam wawancaranya dengan Kara Swisher dari The New York Times, Musk menyebut bahwa artificial intelligence (AI) tidak perlu membenci manusia untuk menghancurkan umat manusia.

”Saya baru saja menunjukkan dengan analogi sarang semut bahwa AI tidak perlu membenci kita untuk menghancurkan kita. Dalam artian, jika ia memutuskan bahwa ia perlu menuju ke arah tertentu dan kita menghalanginya, tanpa perasaan sulit, mereka akan melindas kita. Saat kita membangun jalan, kita akan melindas sarang semut yang menghalangi, meski kita tidak membenci semut. Ini risiko, bukan prediksi,” kata Musk.

AFP/Brendan Smialowski
Pendiri sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Tesla dan Spacex, Elon Musk, pernah memperingatkan tentang bahaya dari sebuah kecerdasan buatan terhadap umat manusia.

Pada kenyataannya, perusahaan teknologi informasi seperti Facebook dan Google dituduh turut memengaruhi hasil akhir pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016. Memengaruhi hasil akhir pemilihan presiden yang dimaksud berkaitan dengan algoritma Facebook dalam menampilkan berita atau berbagai hal kepada penggunanya.

Sebagaimana dilaporkan Business Insider pada 2016, rata-rata warga Amerika Serikat membaca berita dari apa yang disodorkan melalui algoritma Facebook. Algoritma tersebut diduga membuat pengguna Facebook kesulitan membedakan fakta dan fiksi.

Pemilu presiden AS 2016 pada akhirnya dimenangi Donald Trump. Banyak pihak kemudian menuding kemenangan Trump itu salah satunya dipengaruhi algoritma Facebook.

Dari pengalaman pemilu AS, kini semakin banyak suara yang menyerukan peraturan yang lebih kuat tentang kecerdasan buatan untuk melindungi demokrasi. Uni Eropa, misalnya, merilis dokumen pedoman etika untuk kecerdasan buatan yang dapat dipercaya.

Pedoman etika itu bertujuan mempromosikan pengembangan kecerdasan buatan yang dapat dipercaya orang. Prinsip-prinsip yang diusung dalam pedoman etika itu antara lain transparan, bisa dilacak, dan menjamin pengawasan oleh manusia pada kecerdasan buatan dengan risiko tinggi seperti kesehatan, kebijakan politik, dan transportasi. Pedoman etika tersebut juga melarang sejumlah hal yang mencakup manipulasi perilaku, mengeksploitasi kerentanan anak-anak, atau menggunakan teknik subliminal.

Ini bisa menjadi kasus di mana mainan menggunakan sistem suara untuk memanipulasi seorang anak agar melakukan sesuatu yang berbahaya. Penggunaan seperti itu tidak diterima di Eropa dan oleh karena itu kami mengusulkan untuk melarangnya.

”Ini bisa menjadi kasus di mana mainan menggunakan sistem suara untuk memanipulasi seorang anak agar melakukan sesuatu yang berbahaya. Penggunaan seperti itu tidak diterima di Eropa dan oleh karena itu kami mengusulkan untuk melarangnya,” kata Margrethe Vestager, Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Era Digital, sebagaimana dikutip dari Associated Press, 21 April 2021.

Pool/AFP/Olivier HOSLET
Margrethe Vestager, Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Era Digital (kiri) mengadakan konferensi pers terkait kecerdasan buatan (AI) menyusul pertemuan Komisi Uni Eropa di Brussels, 21 April 2021. Uni Eropa merilis dokumen pedoman etika untuk kecerdasan buatan yang dapat dipercaya.

Sekolah musim panas

Kecerdasan buatan lahir sebagai cabang dari ilmu komputer (computer science) yang menjanjikan banyak manfaat dalam menjawab kebutuhan manusia di masa depan. Istilah kecerdasan buatan pertama kali diciptakan untuk sekolah musim panas di Universitas Dartmouth, yang diselenggarakan oleh seorang ilmuwan komputer muda, John McCarthy. Kegiatan sekolah musim panas ini dinamai artificial intelligence (AI). Pada momentum inilah pertama kali istilah kecerdasan buatan diperkenalkan.

Proyek ini melibatkan sejumlah ilmuwan yang diseleksi untuk ikut serta. Kegiatan ini menjadi tonggak awal bidang kerja dan studi kecerdasan buatan. Buah karya McCarthy berupa bahasa pemrograman LISP dipublikasikan pada 1961 dan digunakan sebagai bahasa pemrograman kecerdasan buatan hingga sekarang.

Namun, apabila merunut jauh ke belakang, perkembangan kecerdasan buatan sebenarnya sudah berlangsung sejak era Perang Dunia II. Kecerdasan buatan muncul sebagai sarana untuk membantu menyelesaikan persoalan (problem solving) yang tidak dapat ditangani oleh kapasitas fisik serta memori manusia.

THE WALL STREET JOURNAL/CHUCK PAINTER/STANFORD NEWS SERVICE
John McCarthy membantu menemukan studi tentang kecerdasan buatan dan menghabiskan beberapa dekade membuat komputer memiliki pola “pikir” yang bagi manusia adalah akal sehat.

Saat itu pihak Sekutu menghadapi kebuntuan dalam memecahkan komunikasi rahasia pihak lawannya, yaitu Nazi Jerman. Tentara Jerman menggunakan kode yang diacak oleh mesin sandi Enigma. Segala upaya Sekutu untuk memecahkan sandi selalu terlambat dan tidak dapat mencegah atau mengantisipasi pergerakan militer musuh (Kompas, 17/2/2021).

Walaupun bisa menguping pesan yang dikirim, Sekutu tidak dapat membaca dan memahami isinya. Inggris yang tergabung dalam Sekutu kemudian mendirikan lembaga pendidikan serta satuan tugas pengurai kode di Bletchley Park yang terletak di pinggiran kota London.

Salah satu ilmuwan yang terlibat dalam upaya mengurai sandi Enigma ialah Alan Turing, mahasiswa di Universitas Cambridge. Turing menciptakan sebuah mesin yang kemudian disebut Mesin Turing dengan tugas khusus mengurai kombinasi kode pesan dari mesin Enigma.

Selain memecahkan kode komunikasi rahasia Jerman, mesin ciptaan Turing dapat diprogram memecahkan kode yang dibuat dari sesama mesin Turing. Dua mesin dapat saling berhadapan dan saling memberi serta memecahkan kode yang dikirim.

Mesin Turing diakui sebagai komputer elektronik pertama di dunia sekaligus pelopor mesin dengan kemampuan kecerdasan buatan. Kontribusi lanjutan dari Alan Turing adalah membuat robot yang bisa meniru percakapan manusia pada 1943. Pembuatan robot ini bekerja sama dengan neurolog Grey Walter.

Pembuatan kecerdasan buatan kemudian makin berkembang. Momentum penanda perkembangan kecerdasan buatan dalam pengamatan Michael Wooldridge berlangsung pada periode 1956-1970.

Dalam bukunya, A Brief History of Artificial Intelligence (2021), Wooldridge menguraikan pada jendela waktu tersebut diciptakan bahasa pemrograman yang menjadi tulang punggung kecerdasan buatan hingga saat ini. Kemampuan bahasa pemrograman ini ditambah dengan demonstrasi robot yang kian membuka mata dunia terhadap teknologi komputasi baru abad ke-20.

Teknologi kecerdasan buatan dapat berjalan dengan baik dan semakin cerdas jika terpenuhinya kebutuhan data, dalam hal ini data tersebut dikenal dengan istilah big data (mahadata). Mahadata menggambarkan sekumpulan data berukuran besar dari berbagai sumber data, seperti  sensor, peranti komputer, jaringan, log files, audio atau video, dan media sosial, dengan karakteristik high volume, high velocity, dan high variety yang ada saat ini.

Jika dianalisis menggunakan big data analytics, ia akan menghasilkan informasi bernilai untuk pengambilan keputusan yang akurat dan penting bagi perusahaan dan institusi yang membutuhkan. Sebagai contoh, Amerika sudah menggunakan teknologi mahadata bernama CompStat untuk mengamati perilaku tindak kejahatan lintas negara sejak 1994 sehingga tingkat kejahatan turun drastis pada 20 tahun belakangan ini.

Chief Executive Officer (CEO) Google Sundar Pichai pernah mengatakan bahwa kecerdasan buatan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan beberapa penemuan penting lainnya dalam sejarah hidup umat manusia.

Chief Executive Officer (CEO) Google Sundar Pichai pernah mengatakan bahwa kecerdasan buatan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan beberapa penemuan penting lainnya dalam sejarah hidup umat manusia. Karena itu, selain memahami kecerdasan buatan, kita juga mesti mengantisipasi dampak kecerdasan buatan dan memanfaatkannya sedari dini.

Dampak kecerdasan buatan

Dampak kecerdasan buatan yang baru-baru ini diteliti ialah pengaruh algoritma terhadap bagaimana seseorang mengambil keputusan. Penelitian yang dilakukan Ujué Agudo dan Helena Matute pada 2021 bertujuan menguji secara empiris apakah suatu algoritma dapat memengaruhi preferensi orang, baik melalui persuasi eksplisit maupun terselubung dalam konteks yang berbeda.

AFP PHOTO / Robyn Beck
Kandidat presiden AS Donald Trump dan Hillary Clinton saat debat calon presiden di Washington University di St Louis, Missouri, AS 9 Oktober 2016. Penelitian menunjukkan betapa manusia begitu mudah dimanipulasi oleh algoritma dalam memilih salah satu kandidat dalam pemilihan umum ataupun memilih teman kencan.

Hasil penelitian menunjukkan, secara eksperimental, preferensi memilih kandidat dalam pemilihan dan pilihan kencan seseorang dapat dimanipulasi. Namun, itu tergantung pada jenis persuasi apa yang digunakan. Sebagian orang mungkin waspada terhadap upaya eksplisit yang mencoba memengaruhi penilaian mereka. Penelitian yang dipublikaskan di Jurnal PLOS (Public Library of Science) One itu memberikan alarm peringatan, seseorang dapat dipengaruhi algoritma tanpa menyadarinya.

Dalam penelitian berjudul “The influence of algorithms on political and dating decisions“, Agudo dan Matute mencontohkan cara terselubung yang biasa dipergunakan memengaruhi seseorang seperti memanipulasi urutan kandidat di mesin pencari atau meningkatkan profil mereka untuk meraih kredibilitas dan kesan akrab dengan konstituen. Cara itu disebutkan bisa mengalihkan suara seseorang ke salah satu kandidat yang tengah bersaing dalam pemilu. Kedua peneliti dari Universidad de Deusto, Bilbao, Spanyol, tersebut mengkhawatirkan strategi terselubung itu yang cenderung luput dari perhatian.

”Akibatnya orang cenderung berpikir bahwa mereka mengambil keputusan sendiri dan tidak menyadari bahwa mereka telah dipermainkan”, tulis Agudo dan Matute.

Data, terutama data pribadi, adalah komponen penting bagi algoritma untuk memberikan pengalaman pencarian daring yang lebih personal dan menarik. Akan tetapi, pengambilan keputusan algoritmik sering kurang transparan. Pengguna umumnya memperoleh informasi yang hampir tidak ada tentang algoritma, seperti data yang digunakan untuk memasukkan algoritma tersebut atau strategi menyusun peringkat yang diterapkan.

Kecerdasan buatan bisa sangat berguna bagi kehidupan umat manusia, namun penting untuk mendidik orang agar tidak memercayai dan mengikuti saran algoritma secara membabi buta.

Sebaliknya, pengguna diharapkan memercayai penyedia layanan secara membabi buta. Kurangnya transparansi menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain bagaimana pengguna dapat mengetahui jika informasi yang mereka terima benar-benar sesuai dengan minat mereka.

Penelitian dari University of Washington pada April 2015 menemukan, dalam beberapa pekerjaan, perempuan secara signifikan kurang terwakili dalam hasil pencarian gambar di Google. Hal itu dinilai dapat mengubah pandangan pencari di internet.

Salah satu contoh, penelusuran gambar Google untuk kata ”CEO” menghasilkan 11 persen perempuan. Kenyataannya, 27 persen CEO di Amerika Serikat adalah perempuan. Penelitian itu menyebutkan, mayoritas di semua profesi, rata-rata perempuan sedikit kurang terwakili.

Pada bagian akhir laporan penelitiannya, Agudo dan Matute menyimpulkan, penting untuk mendidik orang agar tidak memercayai dan mengikuti saran algoritma secara membabi buta. Dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas, apabila tak diantisipasi dini, kecerdasan buatan bisa menjadi semacam senjata makan tuan.