Bagi sebagian orang, kunci kelezatan suatu hidangan berkuah terletak pada kaldu atau kuah gurih yang menyegarkan. Pernahkah Anda merasakan sensasi gembira setelah menghabiskan semangkuk kuah sup? Ada rasa asin, manis, asam, umami, atau sensasi pedas yang berpadu di lidah. Kenikmatan ini juga menjadi penentu apakah konsumen bakal singgah lagi atau tidak ke suatu warung makan atau restoran.
Jika diperhatikan dalam beberapa film, makanan berkuah tak pernah absen menemani mereka yang badannya sedang tidak baik-baik saja, seperti demam atau rasa sakit setelah mabuk (hangover). Biasanya, para ibu akan memasak menu sup sayur atau sup daging untuk anggota keluarganya yang sakit. Makanan berkuah konon cukup ampuh untuk memulihkan stamina tubuh.
Apalagi, saat cuaca hujan atau dingin, pilihan menyantap hidangan berkuah amatlah pas untuk menghangatkan tubuh. Beberapa juga memilih sajian berkuah sebagai menu makan malam setelah pulang kerja. Katanya, sup membuat badan lebih rileks dan tidur malam menjadi lebih nyenyak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaldu diartikan sebagai air (kuah) daging yang direbus. Adapun kaldu yang terbuat dari bagian tulang-tulang disebut stock. Pemasakan kaldu (broth) biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Selama perebusan, tak sedikit kandungan asam amino dan mineral dari daging yang terlarut di dalam air rebusan.
Asam amino atau glutamat yang terlarut menghasilkan cita rasa gurih atau umami pada kaldu. Hal ini yang membuat kaldu terasa lebih gurih meski belum diberi tambahan bumbu apa pun. Untuk meningkatkan rasa umami pada suatu makanan bisa melalui penambahan sejumlah bahan, antara lain keju (aged cheese), rumput laut (kombu), dan ikan yang diawetkan (cured fish/cured anchovies).
Sebuah studi berjudul Amino Acid Content of Beef, Chicken, and Turkey Bone Broth (2019) menganalisis, jenis asam amino terkandung dalam kaldu berbahan tulang ayam, sapi, dan kalkun yang dijual di pasaran. Ada sejumlah asam amino yang terkandung di dalamnya, antara lain arginin, glutamat, hidroksilisin, hidroksiprolin, dan prolin yang mungkin berpotensi untuk kesehatan.
Budaya
Kaldu bukan larutan kuah biasa, kehadirannya telah mengakar dalam tradisi dan budaya masyarakat dunia. Teknik merebus bahan dalam suatu wadah ini diprediksi sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu melalui temuan benda dan alat masak yang berusia tua.
Teknik perebusan menggunakan wadah tembikar keramik (ceramic pottery/clay pot) hampir tersebar di sejumlah belahan dunia, seperti ditulis Michael Pollan dalam buku Cooked: A Natural History of Transformation (2013). Di daerah Asia, arkeolog menemukan beberapa tembikar keramik yang diprediksi berusia 20.000 tahun. Panci masak (cooking pots) juga ditemukan di delta Sungai Nil, Levant, dan Amerika Tengah.
Sebelum ada teknik perebusan, mereka menggunakan batu yang dipanaskan di atas bara api, lalu dicelupkan ke dalam keranjang kedap air atau kantong yang terbuat dari kulit binatang. Perendaman dalam air panas ini bertujuan untuk melunakkan bahan pertanian, seperti kacang-kacangan, bji-bijian, dan tumbuhan.
Dalam buku itu, Michael Pollan mengutip Claude Lévi-Strauss (1908-2009), antropolog asal Perancis, yakni memasak mengubah makanan dari alam menjadi budaya (cooking transforms food from nature into culture). Merebus daging melarutkan semua elemen di dalamnya sekaligus menghilangkan jejak darah.
Menurut Lévi-Strauss, makanan yang direbus diidentikkan dengan memberi kehidupan. Peralatan memasak yang telah digunakan untuk merebus akan dibersihkan dan disimpan dengan hati-hati, sementara pada alat panggang tradisional justru dihancurkan.
Makanan yang direbus juga dikaitkan dengan penguatan ikatan keluarga. Filosofi ini dihubungkan dengan bentuk panci masak atau kuali yang cekung dan melindungi isiannya agar tak terlihat, diibaratkan seperti rumah dan keluarga.
Panci masak atau kuali bukan sekadar alat untuk membuat sup, tetapi juga menjadi saksi perjalanan sebuah keluarga menikmati kebersamaan. Sup yang diracik dengan kesungguhan akan menghasilkan rasa yang lezat. Saat merebus semua bahan, aroma yang dihasilkan bisa tercium hingga seluruh rumah.
”Makan dari kuali yang sama, bagi orang Yunani kuno, seperti kiasan untuk berbagi nasib yang sama. Dengan cara yang sama seperti panci rebusan yang memadukan banyak bahan berbeda menjadi satu, menempanya menjadi satu rasa yang tak terlupakan. Ini (sup dalam kuali) yang menyatukan keluarga,” tulis Pollan.
Kuah kaldu tak terbatas pada bahan hewani, tetapi juga nabati. Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri menyesuaikan dengan sumber daya yang tersedia di sekitarnya. Dikutip dari buku Diet Cabbage Soup (2007), konsumsi sup di Mediterania telah ada sejak zaman Neolitikum. Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi, sup bertahan hingga kekaisaran Bizantium di Konstantinopel. Bangsa Eropa mengenalkan sup di wilayah Asia Tengah sekitar tahun 1454.
Di Indonesia, sup dikenal masyarakat lokal sejak zaman kolonial. Dalam buku Makanan Tradisional Indonesia Seri Dua (2017), Prof Umar Santoso dan kawan-kawan menjelaskan, di kalangan Belanda, sup atau soep disajikan sebagai hidangan pembuka yang kondisinya masih panas. Ini mengacu pada kondisi cuaca di sana yang relatif dingin sehingga makanan hangat sangat dibutuhkan.
Seiring waktu, sup diadopsi oleh selera masyarakat setempat dengan penyebutannya menjadi sop. Makanan ini tak lagi disajikan sebagai menu pembuka, tetapi sebagai makanan utama yang disantap dengan nasi. Jenis kuahnya pun beragam, ada yang kental atau encer, kekuningan atau bening, dan gurih atau pedas. Semuanya menyegarkan!
Ragam
Pada pembuatan sup, bumbu yang digunakan tidak banyak, antara lain bawang putih, merica, jahe, dan garam. Selain daging, kaldu sup dibuat dari bagian tulang atau jeroan, seperti kaki sapi, iga sapi, buntut sapi, jeroan (usus atau paru), cakar ayam, dan kepala ayam. Bahkan, tulang ikan, makanan laut, lobak, dan wortel juga bisa digunakan untuk membuat kaldu sup.
Menurut Prof Umar, bagian selain daging akan menghasilkan rasa dan aroma kaldu yang berbeda, tetapi juga kandungan gizi yang tak kalah dari daging. Tak ada pakem khusus dalam standar pembuatan dan komposisi bahannya sehingga sup dinilai sebagai menu yang praktis. Kuah kaldu yang enak dan menyegarkan menjadi primadonanya.
Kebiasaan mencicip kuah sebelum ditambahkan sambal, kecap, atau cuka bukan merupakan hal yang aneh. Sebab, jati diri suatu makanan terletak di sana. Setelah itu, biarkan lidah menilainya. Jika ragu untuk membeli makanan berkuah di lokasi yang baru, coba perhatikan di sekitarnya apakah ada konsumen yang menyeruput habis kuah dari mangkuk? Jika ada, ini bisa jadi pertanda baik bahwa kuah tersebut memang enak.
Momen menyeruput kuah dari mangkuk itu mengingatkan pada beberapa serial atau drama asal Korea Selatan. Rupanya masyarakat setempat tak pernah melewatkan sup yang disajikan di atas meja makan. Sup menjadi hidangan pembuka dan menemani mereka selama makan. Katanya, gurih dan segar dari sup mampu menambah selera makan.
Penggunaan bahan-bahan untuk membuat kaldu sup biasanya menyesuaikan dengan sumber daya yang ada di sekitar. Mereka yang tinggal dekat dengan pantai akan banyak menggunakan bahan pangan dari laut (seafood), seperti cumi, kepiting, udang, gurita, kerang, dan ikan. Sementara mereka yang tinggal dekat hutan perdesaan akan berburu babi. Pembuatannya pun memakan waktu yang lama, bisa berjam-jam atau lebih dari sehari.
Lantas, bagaimana membuat kaldu nabati untuk vegetarian? Kaldu nabati, bisa diperoleh dari merebus berbagai jenis sayuran dan rempah, antara lain lobak, jamur, bawang bombai, dan wortel. Pada pertengahan Juni 2022, Indonesia Pranic Healing dan Eco Camp mengadakan kelas memasak vegetarian bertajuk kaldu nabati. Dalam pelatihan tersebut, para peserta dikenalkan dengan resep kaldu nabati yang terbuat dari sayur dan jamur.
Rupanya, cita rasa yang dihasilkan dari kaldu nabati tak jauh berbeda dari kaldu sapi atau ayam. Testimoni tersebut disampaikan oleh Bella (26), karyawan swasta di Karawang. Saat ke Jakarta, dia mencicipi hidangan yang dimasak oleh temannya, yang mulai menjalani pola makan berbasis nabati.
Sekilas penampilan makanan itu menyerupai bakso dengan kuah berwarna kecoklatan. Padahal, semuanya terbuat dari bahan nabati. Setelah menyeruput sedikit kuah, matanya berbinar. Lalu, dia tersenyum semringah.
”Rasanya mirip kaldu daging, tapi lebih ringan. Dominan rasa gurih dan asin serta menyegarkan,” ucapnya yang baru pertama kali mencoba kaldu nabati.
Dia tidak mengira bahwa kuah masakan itu terbuat dari bahan nabati, yakni lobak putih, bawang bombai, daun bawang, dan jamur. Bahan tersebut direbus selama satu setengah jam dengan suhu rendah hingga semua bahan terekstrak.
Cita rasa dan kualitas keseluruhan makanan berkuah ditentukan dari kuahnya. Kalau kuahnya sudah enak, semua komponen terasa menyatu. Pembuatan kaldu memang tidak instan, cukup lama. Ada baiknya tidak meninggalkan sisa kuah di dalam mangkuk untuk menghargai mereka yang telah memasak dengan sepenuh hati. Yuk, seruput habis kaldunya..