Pangkalan militer asing di sebuah negara selalu membawa berbagai dampak. Salah satu dampak negatif adalah kekerasan seksual terhadap penduduk di sekitar pangkalan militer asing.
Terlebih dengan adanya status ekstrateritorial berupa kedaulatan negara asing di negara tuan rumah sehingga personel militer asing tidak dapat dihakimi hukum setempat.
Itulah kejadian yang menimpa warga Ryukyu alias Okinawa. Kerajaan Ryukyu adalah bangsa Austronesia seperti di Nusantara yang hidup di wilayah yang kini dikenal sebagai Prefektur Okinawa, Jepang. Wilayah tersebut menjadi kerajaan merdeka hingga dikuasai Jepang sejak tahun 1879 hingga akhir Perang Dunia II.
Seusai Perang Dunia II tahun 1945, sesuai Deklarasi Postdam, Ryukyu seharusnya menjadi daerah bebas. Dalam Deklarasi Postdam yang ditetapkan terhadap pihak yang kalah dalam Perang Dunia II dinyatakan, wilayah Jepang hanya mencakup Hokaido-Honshu-Shikoku-Kyushu.
Seusai Perang Dunia II tahun 1945, sesuai Deklarasi Postdam, Ryukyu seharusnya menjadi daerah bebas
Militer Amerika Serikat yang menduduki Kepulauan Ryukyu sejak tahun 1945 justru mengembalikan Ryukyu kepada Kerajaan Jepang pada tahun 1972 dengan sebutan Prefektur Okinawa.
Semasa pendudukan militer Jepang, wanita penghibur atau dipaksa menjadi pelacur bagi militer Jepang (jugun ianfu) dari Korea, didatangkan ke Okinawa. Suzuyo Takazato dalam tulisan di Canadian Woman Studies Volume 19 Nomor 4 Tahun 2000 berjudul Report From Okinawa Long Term U.S, Military Presence, mencatat dalam kurun waktu 1943-1945 ada 130 rumah bordil militer Jepang di seantero Okinawa.
Kemudian, terjadi tragedi menjelang akhir Perang Dunia II, sekitar 25 persen penduduk Ryukyu terbunuh dan dibunuh oleh militer Jepang. Orang Ryukyu atau Okinawa bernasib sama dengan orang Formosa (Taiwan) dan Korea disebut sebagai Sangoku Jin (orang negara bawahan) serta dipandang rendah dalam arus utama masyarakat Jepang.