Bunuh diri, melukai diri, atau berbagai pilihan fatal lainnya bukan tidak mungkin muncul di pikiran anak-anak. Ide gila itu bisa muncul untuk mengurangi tekanan akibat pola asuh bernuansa kekerasan di rumah. Setelah itu, anak akan dijauhi dan dicap sebagai anak aneh. Kondisi ini menorehkan luka batin yang akan terbawa hingga dewasa.
Ail (16), bukan nama sebenarnya, pernah mencoba bunuh diri ketika masih duduk di kelas III SMP. Ia minum cairan pembasmi serangga. Beruntung nyawanya tertolong.
”Aku hopeless banget sampai minum cairan pembasmi serangga. Pas sadar, aku sudah di rumah sakit. Aku sempat mikir, kenapa enggak mati saja saat itu supaya bisa ketemu sama mama,” ucapnya.
Kekerasan dialami Ail sejak ibunya meninggal. Ia harus menggantikan peran sang ibu, mulai dari mengurus rumah tangga hingga mengasuh adik laki-laki. Jika pekerjaan tidak beres, Ail akan dipukuli sang ayah. Saat itu, ia masih duduk di kelas IV SD.
Tidak hanya itu, ayahnya juga selalu membandingkan prestasi sekolah Ail dengan adiknya. Sejak SMP sampai SMK, Ail masuk sekolah swasta karena tidak diterima di sekolah negeri, sedangkan adiknya di sekolah negeri. Adat suku ayahnya juga lebih menyanjung anak laki-laki dibandingkan perempuan. ”Di adat ayah, anak cowok lebih dibela karena memegang marga. Jadi ayah enggak pernah gebukin adik,” tuturnya.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ail turut mencari nafkah. Sebagai sopir taksi, pendapatan ayahnya tak selalu memadai. Sejak SMP, Ail rajin berdagang dan menjadi juru potret untuk teman-temannya. Uang yang diperoleh digunakan untuk makan ia dan adiknya. Namun, bukannya ucapan terima kasih, Ail justru beroleh pukulan dari sang ayah.
”Kelas I SMP aku sudah jualan online buat bantu ayah. Dia sering minta duit sama aku, tapi juga sering gebukin aku. Dia bilang, ’Kamu mentang-mentang sudah bisa cari duit, ngelawan terus sama ayah’. Aku cuma bisa diam, enggak tahu mau cerita ke siapa. Capek banget, pengin mabok rasanya,” kata Ail mengenang pertengkaran dengan ayahnya.