Jauh sebelum minuman boba menyerang, cendol dawet berdaulat penuh di negeri kita. Boba hanyalah pengikut, cendol dawet adalah suhunya.
Jauh sebelum minuman boba menyerang, cendol dawet berdaulat penuh di negeri kita. Senantiasa digemari dan kehadirannya sulit diabaikan. Ia pun begitu mudah menempatkan diri di mana saja. Mulai dari pedagang kaki lima, restoran, hingga hotel bintang lima. Pikiranmu sedang ruwet? Remedinya yang mujarab cukup segelas es cendol dawet.
Sebutan “cendol” populer di daerah Jawa Barat, sementara di daerah Jawa Tengah lebih akrab dijuluki dawet. Pada pertengahan November 2021, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyuguhkan es cendol kepada Menteri Luar Negeri Inggris Elizabeth Truss. Pilihan Ridwan Kamil menjadikan es cendol sebagai bagian dari strategi diplomasi tampaknya jitu. Cendol mendekatkan hubungan kedua negara.
Entah kebetulan atau tidak. Jauh sebelumnya, es cendol Elizabeth memang sudah terkenal di Bandung, Jawa Barat. Nama Elizabeth konon bermula dari penjual es cendol yang berjualan di depan toko tas Elizabeth, sekitar Tegallega, Bandung. Usaha es cendol ini laris manis diburu pembeli!
Kepopulerannya kian menyebar. Maka, banyak pedagang keliling yang menyematkan nama Elizabeth pada gerobak dagangannya. Mungkin mereka berharap jualannya laku keras seperti yang di depan toko Elizabeth. Saat berkunjung ke Bandung, coba perhatikan tulisan yang terdapat pada gerobak akang penjual es cendol. Apakah tertulis es cendol Elizabeth?
Eksistensi cendol dalam bentuk lain kerap mengemuka juga dalam pertunjukan dangdut. Saat mendengar ”cendol dawet”, pikiran langsung melayang pada jargon lagu dangdut yang kerap kali diserukan. Salah satunya, konser yang dibawakan oleh almarhum Didi Kempot dengan lagu berjudul ”Pamer Bojo”. Begini petikan liriknya, ”Nganthi seprene suwene aku ngenteni, nangis batinku nggrantes uripku, teles kebes netes eluh ning dhodhoku”. Kemudian, di sela-selanya, diikuti sorakan penonton, ”Cendol dawet, cendol dawet seger, cendol cendol dawet dawet!”.
Jika dihayati lebih dalam, lagu tersebut masygul dan berpotensi menguras air mata. Namun, seruan ”cendol dawet” di sela-selanya menjadi pemecah kegetiran. Sebab, yang terbayang adalah segarnya campuran kuah santan dan air gula merah serta kenyalnya cendol yang terbuat dari tepung beras/tapioka. Layak sebagai penyegar di tengah panasnya emosi dan keruwetan batin. Tak heran, jika CNN sempat memasukkan cendol dalam “World 50 Best Desserts” di tahun 2018 lalu. Hanya saja, dalam artikel itu, CNN menyebutnya cendol versi Singapura. Memang, selain di Indonesia, di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, variasi minuman cendol kini mudah dijumpai.
Lantas, sebenarnya sejak kapan cendol dawet hadir di Nusantara? Menurut Fadly Rahman, pengamat sejarah kuliner Nusantara dari Universitas Padjadjaran, dalam buku Asal-usul Dawet sebagai Minuman Menyegarkan di Indonesia (2019), belum ada bukti sejarah yang pasti perihal dari mana muasal dan sejak kapan cendol ada. Kata ”dawet” ditemukan dalam manuskrip kuno Kakawin Kresnayana yang ditulis oleh Mpu Triguna dari masa Kerajaan Kediri sekitar tahun 1104 Masehi, seperti tertuang dalam hasil penelitian Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-sumber Arkeologi Tertulis (1997) karya arkeolog Timbul Haryono.