Awal Desember 2020, Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengambil keputusan mengejutkan dengan memberhentikan dua adiknya dari jabatan penting di Keraton. Pemberhentian ini menguak lagi konflik internal Keraton sejak bertahun silam, konflik yang berkelindan antara suksesi raja Keraton, status keistimewaan, dan kesejahteraan rakyat.
Untuk memahami secara utuh konflik internal yang terjadi di Keraton Yogyakarta, kiranya perlu menengok kembali peristiwa 6 Maret 2015. Saat itu, Sultan HB X secara mendadak mengumumkan maklumat di Keraton. Sultan hadir mengenakan beskap warna hijau bermotif bunga-bunga, bawahan kain batik, dan belangkon warna hijau.
Untuk memahami secara utuh konflik internal yang terjadi di Keraton Yogyakarta, kiranya perlu menengok kembali peristiwa 6 Maret 2015.
Kostum Jawa yang dikenakan Sultan menjadi simbol hari itu dia tampil sebagai Raja Keraton Yogyakarta, bukan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab, selama ini, sebagai raja sekaligus gubernur, Sultan jarang tampil di depan publik memakai busana adat Jawa. Dia lebih sering memakai kemeja batik lengan panjang dan celana panjang dalam kapasitas sebagai gubernur, saat menghadiri acara pemerintah daerah atau menerima tamu di Keraton.
Sultan tiba di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta beserta istri dan empat putrinya yang juga memakai kostum Jawa. Sejumlah tamu penting, seperti Adipati Kadipaten Pakualaman, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam IX, dan sejumlah adik Sultan juga turut hadir.
Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, adik Sultan yang di kemudian hari menjadi pengkritik paling keras sang kakak, juga datang. Bahkan, saat itu, GBPH Prabukusumo bertugas membawakan map berisi pernyataan yang akan dibacakan Sultan. Sesaat setelah Sultan tiba di Bangsal Kencana, Prabukusumo menyerahkan map tersebut kepada sang kakak, lalu duduk bersama kerabat lain untuk menyimak.
Sultan membacakan sebuah pernyataan yang disebut sabda tama dan menjadi babak pembuka dari rangkaian konflik internal di Keraton Yogyakarta. Sabda tama yang memuat delapan poin itu dibacakan Sultan dalam bahasa Jawa.
Pada poin kedua, Sultan menyatakan, tidak seorang pun kecuali raja bisa memutuskan atau berbicara tentang Keraton Yogyakarta, terutama terkait takhta Keraton.
”Ora isa sapa wae mutusake utawa rembugan babagan Mataram, luwih-luwih kalenggahan tatanan Mataram. Kalebu gandheng cenenge karo tatanan pamerintahan, kang bisa mutusake Raja,” kata Sultan kala itu.