Kekuasaan dan kepentingan erat berkelindan dalam konflik internal di Keraton Yogyakarta. Aset kerajaan dan gelontoran triliunan rupiah dana keistimewaan akan menjadi kelolaan siapa yang berkuasa. Kebijakan para raja pendahulu yang mengabdikan takhta bagi kepentingan rakyat, bukan golongan, apalagi keluarga, seyogianya jadi pijakan.
Dilantik sebagai raja sejak 1940, Dorodjatun atau dikenal bergelar Sultan Hamengku Buwono (HB) IX resah dengan pendudukan Jepang yang dikenal kejam dan bengis sejak menjajah Nusantara pada 1942.
Alih-alih mencari keselamatan diri karena bertakhta sebagai raja, Sultan HB IX justru menggunakan posisinya untuk menyelamatkan rakyat. Diajukanlah pembangunan ”megaproyek” Selokan Mataram untuk mencegah pengiriman warga Yogyakarta dari kerja paksa atau romusha.
Dalam buku Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, yang dihimpun Mohamad Roem dkk (1982), tertulis, Sultan HB IX meyakinkan Jepang bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta bukan daerah subur yang mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk.
Alasannya, wilayah Yogyakarta sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan, sementara wilayah lainnya kering dan tak subur.
Alih-alih mencari keselamatan diri karena bertakhta sebagai raja, Sultan HB IX justru menggunakan posisinya untuk menyelamatkan rakyat.
Dengan alasan agar daerahnya mampu menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan kemudian meminta dana untuk membangun irigasi. Jepang pun memberikan dana untuk pembangunan saluran dan pintu air guna mengatur air hujan dari daerah langganan banjir, terutama di daerah Adikarto (sekarang bagian Kulon Progo), untuk dibuang ke laut selatan.
Selain itu, dibangun juga saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur. Saluran irigasi yang bermula di Bendungan Ancol, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, itu menghubungkan Kali Progo di barat dan Kali Opak di timur. Irigasi itu berakhir di wilayah Kalasan, Sleman. Menurut kepercayaan, wilayah Yogyakarta akan makmur apabila Sungai Progo disatukan dengan Sungai Opak.