Ado rimbo ado bungo, ado bungo ado dewo. Begitulah spirit Orang Rimba yang sangat dekat dengan lingkungannya. Bunga yang menghampar di “lantai” hutan tempat mereka tinggal, berperan penting. Dalam upacara perkawinan, disyaratkan 100 jenis bunga agar Dewa sudi memberi restu. Demikian pula dalam ritual memohon kesembuhan. Namun, kini bunga musnah dari rimba, berganti tanaman komoditas. Ini bukan soal bunga semata, melainkan tentang Orang Rimba yang kehilangan kehidupan di rumahnya sendiri.
Selora (45) ingat sewaktu buldoser tiba di tepi hutan, 35 tahun silam. Saat itu, dirinya masih kecil. Suara mesin terdengar bising menakuti masyarakat. Para orangtua panik menggendong anak-anaknya berlarian masuk ke hutan.
Dalam hitungan pekan saja, hutan itu telah lenyap, berganti hamparan terbuka. Di situlah kebun sawit dan permukiman baru mulai dibangun bagi transmigran.
Masuknya alat-alat berat bukan tanpa rencana. Sebuah program pemindahan penduduk besar-besaran dilangsungkan dari Pulau Jawa ke luar daerah. Salah satunya ke Jambi.
Program itu dibuka untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa, sekaligus memadatkan penduduk di daerah tujuan, termasuk untuk membangun daerah dan menyejahterakan warganya.
Dalam tulisannya berjudul ”Panca Matra Transmigrasi Terpadu”, Martono, Menteri Transmigrasi pada masa pemerintahan Soeharto menyatakan, transmigrasi dilaksanakan ke daerah yang masih sedikit atau belum ada penduduknya, dengan maksud membentuk masyarakat baru. Hal itu dilakukan untuk membantu pembangunan daerah, baik daerah yang ditinggalkan maupun daerah yang didatangi dalam rangka pembangunan nasional.
Karena kepadatan penduduknya masih sangat rendah, Jambi yang memiliki luas 5,3 juta hektar berpotensi menjadi lokasi penempatan bagi transmigran. Kala itu, sebagian besar wilayah Jambi masih berupa hutan belantara.