Musibah tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 di perairan utara Pulau Bali, Rabu (21/4/2021), menjadi pengingat betapa sistem persenjataan Indonesia perlu pembenahan. Kapal selam buatan Jerman itu hilang kontak saat mengikuti latihan penembakan terpedo dan tenggelam ke dasar laut berkedalaman 838 meter bersama 53 awaknya. Panglima TNI menyatakan seluruh awak telah gugur.
Tragedi ini sangat memprihatinkan. Selain kehilangan puluhan awak terbaik, Indonesia pun harus kehilangan satu dari lima kapal selamnya. Meski fungsi kapal selam dalam pertahanan sebuah negara kepulauan sangat penting, Indonesia hanya memiliki lima kapal selam, dua diantaranya berusia lebih 40 tahun, salah satunya Nanggala yang tenggelam.
Dalam sejarahnya, angkatan laut Indonesia pernah mengoperasikan belasan kapal selam. KRI Nanggala-402 adalah kapal selam kedua dengan nama Nanggala, yang dibuat di Jerman tahun 1979.
Sebelumnya, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pernah mengoperasikan kapal selam dengan nama Nanggala pada zaman konfrontasi perebutan Irian Barat. Ketika itu, KRI Nanggala yang pertama adalah buatan Uni Soviet dari kelas Whiskey dengan registrai S-02 atau 402, dioperasikan sejak Agustus 1959 bersama KRI Tjakra dengan registrasi S-10 atau 401.
Dalam skripsi Jurusan Sejarah Universitas Amsterdam, Matthijs Ooms menjelaskan armada kapal selam Indonesia melawan Belanda di konfrontasi Trikora, yaitu perebutan Irian Barat. Skripsi berjudul ”Het Nieuw Guinea-conflict in Nieuw Perspectief, Hoe in 1962 actieve militaire Sovjetsteun aan Indonesie leidde tot het verlies van onze laatste kolonie in de Oost” membeberkan operasi kapal selam ALRI yang ditakuti di kawasan pada masa itu.
Semasa Perang Dunia II di Asia Tenggara, wilayah Indonesia yang masih disebut Hindia Belanda menjadi salah satu mandala operasi kapal selam yang penting. Semasa awal Perang Pasifik, sejak Desember 1941, Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Belanda mengoperasikan armada kapal selam untuk mencegat kapal-kapal Jepang, Jerman, dan Italia di perairan Hindia Belanda.
… lebih dari 50 kapal selam atau U-boat dari Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) berhasil mencapai perairan Nusantara.
Semasa itu, di Times Square, kota New York, Amerika Serikat, kiprah kapal selam Koninklijke Marine dipuji Sekutu. Di Times Square dipasang reklame memuji kiprah kapal selam dan Laksaman Helferich, panglima Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda, yang berpangkalan di Surabaya dan Batavia (Jakarta) hingga awal tahun 1942 ketika Jepang mengambil alih kekuasaan.
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, penulis asal Jerman, Henri Geerken, dalam buku Jejak Hitler di Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas, mengungkapkan, lebih dari 50 kapal selam atau U-boat dari Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) berhasil mencapai perairan Nusantara. U-boat tersebut berpangkalan di Penang, Malaya; Singapura; serta Batavia dan Surabaya di Pulau Jawa. Terdapat fasilitas rekreasi untuk awak kapal selam Jerman di Sarangan, Jawa Timur, dan Arca Domas di Gadog, Jawa Barat.
Operasi U-boat dari Jerman ke Pulau Jawa adalah operasi perang kapal selam terjauh di dunia. Bahkan, kapal selam Jerman tersebut beroperasi mengelilingi Benua Australia dari pangkalan mereka di Surabaya, Jawa Timur. Kriegsmarine juga mengoperasikan skuadron pesawat amfibi. Bahkan, terdapat pemakaman militer Kriegsmarine di Gadog, Jawa Barat, yang hingga kini masih dirawat oleh Pemerintah Republik Federasi Jerman.
Ketika Jepang semakin terdesak oleh kekuatan Sekutu, salah satu serangan militer yang melumpuhkan Jepang ialah operasi kapal selam Sekutu di perairan Asia Timur dan Asia Tenggara. Jerman yang sudah menyerah terlebih dahulu, kapal selamnya ditahan pihak Jepang di Pelabuhan Tanjung Priok dan awak kapalnya ditahan di tempat terpisah.
Peran penting kapal selam dalam peperangan itu membangkitkan kesadaran para pendiri bangsa, termasuk para perintis ALRI.
Perang kemerdekaan-perebutan Irian
Awal dari pengalaman Indonesia mengoperasikan kapal selam sudah disadari sejak awal kemerdekaan RI pada masa perang kemerdekaan. Seorang perwira ALRI, Djodoe Ginagan, kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, tahun 1918, yang pernah berdinas di Koninklijke Marine di Eropa, merintis pembuatan kapal selam.
Dalam data Dinas Sejarah TNI AL dari makalah Petrik Matanasi disebutkan, kapal selam mini panjang tujuh meter dan lebar satu meter dibekali mesin Fiat 5 PK berbobot 5 ton itu dibuat tahun 1948 oleh Ginagan dan M Soesilo. Kapal selam dipersenjatai torpedo peninggalan Jepang yang didapat dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Kapal selam itu bisa berlayar di permukaan dan menyelam. Namun, kapal itu mengalami masalah ketika melakukan uji tembak torpedo di Kali Bayem, Yogyakarta.
Menurut Kepala Dinas Sejarah TNI AL Laksamana Pertama Supardi, kapal selam pertama itu tidak sempat dilestarikan di museum karena Yogyakarta diserbu Belanda dalam Agresi Militer II Desember 1948. Kapal selam itu dirampas pihak Belanda dan dibawa ke Kota Semarang hingga kemudian tidak ketahuan rimbanya.
Pihak Belanda mengejek kapal selam buatan Indonesia itu sebagai kapal selam yang dibuat dari drum bekas. Padahal, dengan segala keterbatasan dan di tengah blokade yang diterapkan Angkatan Laut Belanda terhadap Indonesia, para perintis ALRI berhasil membangun sendiri sebuah kapal selam.
Pihak Belanda mengejek kapal selam buatan Indonesia itu sebagai kapal selam yang dibuat dari drum bekas.
Seusai perang kemerdekaan RI, keberadaan kapal selam kembali menjadi tulang punggung dalam perjuangan menegakkan keutuhan RI pada konfrontasi perebutan Irian Barat sejak tahun 1950-an. Presiden Soekarno menjajaki pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), termasuk kapal selam yang ternyata mendapat dukungan dari Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev.
Tidak tanggung-tanggung, Indonesia mendapat dukungan pembelian 12 kapal selam kelas Whiskey, satu kapal penjelajah kelas Sverdlov yang diberi nama RI Irian—kapal perang terbesar milik Indonesia hingga kini—serta bomber strategis TU-16, rudal, dan jet tempur varian Mig 15, Mig 17, Mig 19, hingga Mig 21.
Kapal selam dari Uni Soviet itu berukuran panjang 76 meter dengan kecepatan 18 knot di permukaan dan 13 knot di dalam air dengan mesin diesel elektrik. Kapal selam kelas Whiskey itu diawaki 54 orang dengan senjata enam tabung torpedo, empat tabung di haluan dan dua tabung di buritan.
Sebanyak 12 kapal selam kelas Whiskey dari Uni Soviet yang didatangkan sejak tahun 1959 hingga 1962 ialah KRI Tjakra, KRI Nanggala, KRI Candrasa, KRI Nagarangsang, KRI Nagabanda, KRI Trisula, KRI Alugoro, KRI Bramastra, KRI Hendrajaya, KRI Pasopati, KRI Cundamani, dan KRI Wijayanu. Dalam registrasi Uni Soviet, kapal selam itu memiliki registrasi S-79, S-91, S-218, S-219, S-223, S-225, S-235, S-236, S-239, S-290, S-292, dan S-391.
Awak dari Soviet
Komandan Satgas Kapal Selam Operasi Mandala Perebutan Irian Barat Laksamana Pertama (Purn) RP Poernomo (kini telah wafat), dalam satu kesempatan, mengungkapkan bahwa sebagian awak kapal satgas kapal selam itu diawaki personel militer Uni Soviet. Itu juga diungkapkan Matthijs Ooms dalam skripsinya, ”Het Nieuw Guineaconflict in nieuw perspectief”.
Keberadaan personel Uni Soviet dalam membantu Indonesia sebagai pengawak kapal selam ALRI dan pesawat Angkatan Udara RI (AURI) menjadi rahasia selama bertahun-tahun. Matthijs Ooms dengan berbekal bahan arsip intelijen mengungkapkan keberadaan personel Uni Soviet yang bertugas secara rahasia membantu Indonesia dalam merebut Irian ketika itu.
Keberadaan armada kapal selam dan kekuatan udara TNI waktu itu berhasil membuat Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan pihak Indonesia sehingga Irian pun kembali ke pangkuan RI.
Semasa konfrontasi Ganyang Malaysia tahun 1963-1966 kapal selam kembali memainkan peran penting dalam menghadapi kekuatan Persemakmuran Inggris yang mengepung Indonesia dari Australia-Singapura-Malaysia-Brunei di barat, utara, timur, dan selatan.
Dalam buku PETAK V Dalam Kenangan, yakni buku memoar Akademi Angkatan Laut Angkatan V tahun 1958, dituliskan tentang operasi KRI Nagabanda mengintai pantai barat Australia semasa konfrontasi. Mereka berlayar hingga pantai barat Kota Perth dekat Pelabuhan Fremantle, salah satu pangkalan utama Royal Australian Navy.
Setelah menyelesaikan pengintaian dan mengambil foto daerah pesisir barat Australia, KRI Nagabanda meninggalkan sampah dan barang-barang di pesisir pantai dengan merek Made In Indonesia untuk memberikan ”pesan” kepada pihak Australia.
KRI Nagabanda meninggalkan sampah dan barang-barang di pesisir pantai dengan merek Made In Indonesia untuk memberikan ”pesan” kepada pihak Australia.
Operasi pengintaian lain yang dilakukan ialah pengintaian di Laut China Selatan dan pantai timur Malaya di Trengganu. Wilayah Kelantan-Trengganu semasa Perang Dunia II merupakan salah satu titik pendaratan pasukan Jepang yang kemudian mengalahkan pasukan Inggris di Malaya dan Singapura.
KRI Nagabanda bergerak dari Natuna ke Kepulauan Bungur, kemudian masuk ke perairan Teluk Siam di sebelah timur Semenanjung Malaya. Kedalaman perairan di sana berkisar 85 meter-100 meter. Pada kedalaman 25 meter dengan ketinggian periskop, KRI Nagabanda mulai mengambil foto-foto pesisir Trengganu.
Semasa konfrontasi tersebut, pasukan Indonesia juga sudah menyusup ke banyak wilayah di Sabah-Sarawak, Brunei, hingga infiltrasi ke Johor dan Singapura berulang kali. Operasi pengintaian oleh kapal selam ALRI menjadi salah satu bagian penting dari operasi semasa konfrontasi itu.
Sayangnya, memasuki tahun 1970-an, kekuatan kapal selam Indonesia mulai menyurut seiring dengan peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada akhir tahun 1970-an, Presiden Soeharto memutuskan untuk membeli dua kapal selam tipe 209 dari Jerman yang di Indonesia disebut kelas Cakra, yakni KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402.
Pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo dilakukan pengadaan kapal selam baru kelas Jang Bogo dari Korea Selatan yang bekerja sama dengan PT PAL Indonesia. Era baru kapal selam Indonesia kembali hadir sebagai bagian kekuatan militer TNI di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu kapal yang dibeli di akhir 1970-an itu kemudian tenggelam. Musibah yang terjadi pada KRI Nanggala-402 merupakan keprihatinan bersama bangsa Indonesia. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem persenjataan Indonesia agar tragedi serupa tak terulang di masa mendatang. Sejarah kapal selam di Indonesia membuktikan pentingnya keberadaan armada kapal selam bagi sebuah negara, terlebih bagi negeri kepulauan terbesar di dunia, yakni Indonesia!