Komodo dan Dua Sisi Wisata Alam Liar

Kontroversi pembangunan Pulau Rinca di Kabupaten Manggarai Barat menjadi gambaran konflik kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam pariwisata kehidupan alam liar (wildlife tourism). Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan dan peminat sektor pariwisata alam liar, pengelolaan harus dilakukan dengan seimbang untuk tiga kepentingan itu.

Foto komodo menghadang truk proyek di Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada 24 Oktober 2020 itu menjadi sorotan warganet. Truk proyek itu adalah bagian dari kegiatan pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, NTT. Direncanakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan menata Pulau Rinca dengan infrastruktur tambahan, seperti pusat informasi, sentra suvenir, kafe, penginapan, dan lokasi foto bagi wisatawan.

Akan tetapi, rencana ini menuai kontroversi. Pembangunan proyek dinilai akan merusak habitat komodo. Masyarakat Manggarai Barat juga menolak adanya rencana pembangunan ini. Mereka berharap semua bentuk pembangunan pariwisata diarahkan ke daratan Pulau Flores, bukan di dalam Taman Nasional Komodo.

kompas/raditya helabumi
Komodo (Varanus komodoensis) yang hidup liar di Pulau Rinca, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (10/6/2016). Populasi komodo di Pulau Rinca yang masuk Taman Nasional Komodo saat itu sekitar 2.800 ekor.

View this post on Instagram

A post shared by gregorius afioma (@gregoriusafioma)

View this post on Instagram

A post shared by gregorius afioma (@gregoriusafioma)

Terlepas dari penolakan itu, pemerintah tetap percaya terhadap rencana besar untuk mengembangkan pariwisata kawasan ini. Tak tanggung-tanggung, pemerintah memiliki target untuk mendatangkan wisatawan Taman Nasional Komodo sebanyak 500.000 pengunjung pada 2019 (Kompas, 22/11/2017).

Target ini cukup tinggi melihat pada tahun sebelumnya jumlah pengunjung Taman Nasional Komodo mencapai 176.830 wisatawan. Akan tetapi, lima tahun terakhir, jumlah wisatawan memang meningkat. Jika dibandingkan dengan jumlah wisatawan pada 2015 yang sebanyak 95.401 orang, kenaikan jumlah pengunjung pada 2018 yang mencapai 85 persen memang menjanjikan potensi besar bagi kawasan wisata ini.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan menata Pulau Rinca dengan infrastruktur tambahan, seperti pusat informasi, sentra suvenir, kafe, penginapan, dan lokasi foto bagi wisatawan. Rencana ini menuai kontroversi.

Tidak heran, pemerintah menggandeng para investor untuk mengembangkan kawasan ini. Setidaknya, upaya ini berhasil menarik usaha pariwisata dengan pembangunan hotel, jasa transportasi, tur operator wisata, dan lain-lain.