Mengenang Pak Jakob: “Kompas”, Pedoman Tanpa Menggurui

Pada 9 September 2020, peletak dasar fondasi Kompas, Jakob Oetama, berpulang di usia 88 tahun. Sosoknya menjadi inspirasi, bukan hanya bagi para karyawan Kompas, namun juga bagi bangsa, khususnya dunia pers di Tanah Air. Harian Kompas yang didirikannya bersama PK Ojong, baru merayakan ulang tahunnya yang ke-55 pada 28 Juni 2020 lalu. Tulisan ini kami terbitkan ulang untuk mengenang Pak Jakob.

Kompas lahir pada saat krisis parah tengah mendera Indonesia. Ekonomi bergejolak, kesejahteraan masyarakat terpuruk, rakyat harus antre beras, minyak, dan kebutuhan lainnya. 

Semua berlangsung di tengah pertarungan politik dalam negeri serta persaingan blok Barat dan Timur yang mengimpit Indonesia. Dalam kondisi perekonomian dan politik yang terjepit, para pendiri harian Kompas berhasil menerbitkan koran yang diharapkan dapat menjadi pedoman sesuai namanya.

Nama Kompas diberikan oleh Presiden Soekarno dan didukung oleh Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani dalam menghadang gerakan komunis.

arsip kompas
Pendiri harian Kompas, (dari kiri) Jakob Oetama pendiri, PK Ojong pendiri, serta J Adisubrata, pemimpin redaksi Majalah Intisari, Irawati saat masih di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88 Jakarta Kota, sebelum tahun 1969.

”Aku akan memberi nama yang lebih bagus… Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba,” kata Bung Karno kepada Frans Seda, salah satu pendiri Kompas ketika datang menghadap Presiden Soekarno dan mengajukan nama Bentara Rakyat.

Frans Seda, yang pernah menjadi menteri pada zaman Soekarno dan Soeharto ini, berperan penting menyiapkan 3.000 pelanggan dari Flores, Nusa Tenggara Timur, kampung halaman Seda, sebagai syarat penerbitan sebuah surat kabar baru ketika itu.

Tidak ketinggalan tokoh Partai Katolik, Ignatius Josep Kasimo, yang di masa mudanya aktif memperjuangkan petani tebu di Klaten, juga sibuk mempersiapkan kelahiran Kompas yang dipimpin duet PK Ojong-Jakob Oetama.

Kondisi Indonesia medio 1965 ketika Kompas lahir, persis seperti narasi yang ditulis oleh wartawan senior Mochtar Lubis dalam roman Senja di Jakarta. Novel yang diterjemahkan sebagai Twilight in Jakarta ini menggambarkan kesusahan hidup rakyat jelata, pertarungan kubu politik Tengah, Kanan, dan Kiri yang memanas, serta segitiga korupsi di kalangan elite politik, pemerintahan, dan pengusaha.

Para pendiri dan sesepuh Kompas, yakni Petrus Kanisius Ojong (Auwjong Peng Koen), Jakob Oetama, Frans Seda, Ignatius Josep Kasimo, Pollycarpus Swantoro, dan para aktivis Katolik semasa itu, sepakat mendirikan koran sebagai penengah dan pedoman masyarakat di antara kubu-kubu politik yang bertarung sengit.

Pada tahun 1960-an, kerasnya kelompok Kiri dihadapi dengan gigih oleh kelompok Kanan, Militer, dan juga kelompok Tengah. Dalam situasi yang serba sulit itu, Kompas, yang didirikan PK Ojong dan Jakob Oetama, kemudian merekrut tenaga-tenaga muda dengan pertimbangan mereka tidak ”bias politik” akibat pertarungan aliran politik semasa itu, sebagaimana ditulis dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia PK Ojong karya Helen Ishwara.

alif ichwan
Pemimpin Umum harian Kompas, Jakob Oetama, saat peluncuran buku PK Ojong Hidup Sederhana Berpikir Mulia yang ditulis Helen Ishwara, Kamis (13/9/2002). Di tengah adalah almarhum istri mendiang PK Ojong, Catherine Ojong. Jakob Oetama bersama PK Ojong mendirikan harian Kompas pada tahun 1965.

Buku ini menceritakan bagaimana perjuangan PK Ojong dan Jakob Oetama dalam meletakkan dasar, membidani, dan membangun koran yang kemudian menjadi imperium bisnis yang menanamkan nilai yang menjadi golden rules keluarga besar Kompas: kebersamaan.

Hingga hari ini, nilai dasar itu diterjemahkan secara nyata dalam ragam kebijakan manajerial, semisal nilai uang makan yang sama antara pimpinan dan karyawan di harian Kompas.

Dalam budaya pergaulan di Kompas pun, sapaan di antara senior dan yunior serta sebaliknya selalu menggunakan sebutan ”Mbak” dan ”Mas”.

Sebutan ”Bapak” hanya digunakan untuk menyapa Pak Ojong dan Pak Jakob Oetama. Sepeninggal PK Ojong, sebutan ”Bapak” hanya digunakan untuk menyapa Pak Jakob yang masih setia seminggu sekali datang ke Kompas meski sekarang jadwal tersebut tidak menentu karena kondisi kesehatan di usianya yang telah melampaui sepuluh windu.

Helen Ishwara menuliskan, PK Ojong terinspirasi mentornya di harian Keng Po, Khoe Woen Sioe, yang mengutamakan kesejahteraan bersama ketimbang sekadar menumpuk modal perusahaan agar semakin menggelembung. ”Khoe Woen Sioe membeli tempat istirahat–pesanggrahan–untuk karyawan di Cipanas,” tulis Helen.

Karakter Kompas terutama diwarnai duet PK Ojong dan Jakob Oetama. PK Ojong lahir dari keluarga peranakan Tionghoa di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920. Dalam almanak Tionghoa, tahun ini masuk tahun monyet logam yang dicirikan dengan watak cerdas, terbuka, dan tahan banting. 

Sementara Jakob Oetama lahir dari keluarga Jawa di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931. Tahun ini masuk tahun kambing logam dalam almanak Tionghoa yang bersifat tekun, tangan dingin, dan rendah hati.

Keduanya merupakan dwitunggal yang memberi warna pada kultur korporat Kompas dan Gramedia berikut anak-anak usaha.

Bukittinggi dan Payakumbuh di Sumatera Barat, tempat PK Ojong lahir dan ditempa semasa kecil, adalah pusat dari kegiatan Hok Tek Tong (HTT) dan Hok Bek Tong (HBT). Keduanya merupakan organisasi sosial masyarakat Tionghoa yang menjunjung tinggi persaudaraan dan hubungan baik dengan masyarakat Minang sampai kini.

Sayangnya, rapatnya persaudaraan sosial masyarakat peranakan Tionghoa di dalam organisasi dan kemasyarakatan luas di Sumatera Barat ini luput dari pengetahuan publik hingga kini.

Jakob Oetama berasal dari keluarga guru di Desa Borobudur, Magelang, yang sangat memegang nilai budaya Jawa. Karakternya semakin kuat di Kota Yogyakarta, tempatnya dibesarkan dan mendalami etika kemanusiaan dari seminari Katolik yang memberikan dasar watak kemanusiaan dan kesetaraan. Selanjutnya, Jakob Oetama menjadi guru di Cipanas, Jawa Barat, dan Jakarta sebelum kemudian meneruskan studi di bidang sejarah.

Baik PK Ojong maupun Jakob Oetama memiliki kecintaan dalam hal kemanusiaan, pendidikan, dan kesejarahan yang pada gilirannya memberikan warna yang khas dalam kultur korporat harian Kompas.

arsip kompas
Dwi tunggal pendiri harian Kompas, Jakob Oetama (depan), serta PK Ojong sebelum tahun 1969. Saat itu, Redaksi Kompas masih di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88 Jakarta Kota.

Kolom yang ditulis PK Ojong dan Jakob Oetama sarat dengan semangat menghibur yang nestapa dan mengingatkan yang mapan. Bingkai kesejarahan mengingatkan akan masa lalu sekaligus memberi proyeksi tentang masa depan. Semangat pencerahan sebagai pendidik yang menjadi latar belakang Ojong dan Jakob juga turut memberi warna khas dalam ragam tulisan Kompas.

Nilai sosialisme fabian dan humanisme transendental, yang menjadi semangat kesetaraan dan berserah diri terhadap penyelenggaraan Ilahi ini, menjadi warna kelangsungan hidup redaksi dan produk koran Kompas dari masa awal kelahiran hingga kini.

Diperjuangkan sejak 1964

Sejak tahun 1964, para tokoh Partai Katolik ingin menerbitkan koran untuk melawan pemberitaan Harian Rakyat milik kubu komunis yang semakin mendominasi narasi publik. Gerakan komunis dan kubu politik dengan ide mengubah bentuk dan dasar negara tentu membahayakan Republik Indonesia. Dalam buku Kompas, Menulis dari Dalam, dikisahkan, ketika itu upaya penerbitan surat kabar belum mendapatkan izin dari Kodam Jaya.

​Pada awal tahun 1965, Menpangad Letjen Ahmad Yani melempar gagasan kepada Menteri Perkebunan Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar demi menentang gerakan komunis.

Ketika itu sudah ada beberapa koran dari kalangan yang berafiliasi dengan kelompok agama, seperti Nahdlatul Ulama, dari kelompok nasionalis, dan lain-lain. Sebelum harian Kompas terbit, sudah ada koran sore dari kelompok Kristen Protestan, yakni Sinar Harapan.

Gayung bersambut, Frans Seda bersama tokoh Partai Katolik, Ignatius Josep Kasimo, beserta Auwjong Peng Koen dan Jakob Oetama yang berpengalaman di bidang penerbitan media cetak dengan saksama membahas rencana tersebut.

Tanggal 16 Januari 1965, mereka membentuk Yayasan Bentara Rakyat sebagai payung untuk penerbitan surat kabar yang diawali dengan modal Rp 100.000 dan disahkan di kantor Notaris FJ Mawati di Jakarta dengan Ketua Yayasan IJ Kasimo, Wakil Ketua Yayasan Frans Seda, FC Palaunsuka (Penulis I), Jakob Oetama (Penulis II), dan Auwjong Peng Koen (Bendahara).

Pada tahap akhir, 24 Juni 1965, sesudah persyaratan dipenuhi bagi usaha percetakan surat kabar, akhirnya pengurus yayasan dan redaksi sepakat menggunakan nama Kompas sesuai arahan Bung Karno dan dukungan Menpangad.

Kompas memulai edisi percobaan selama tiga hari berturut-turut. Pencetakan dilakukan di Percetakan Negara Eka Grafika di Jalan Kramat Raya. Ruang kerja redaksi dan tata usaha terpisah di tiga tempat. Pada pagi hari menempati ruang kerja majalah Intisari di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88 Jakarta Kota. Siang hari bertempat di salah satu ruang majalah Penabur di Jalan Kramat Raya dan malam hari di Percetakan Negara Eka Grafika di Jalan Kramat Raya.

Edisi perdana Kompas tanggal 28 Juni 1965 menampilkan berita utama ”Penundaan KAA II” selama empat bulan dan perundingan antara Soekarno, Gammal Abdul Nasser, dan Chou Enlai.

arsip kompas
Terbitan pertama Harian Kompas 28 Juni 1965.

Berita lainnya adalah ”Waspadalah terhadap Serangan Nekolim”, ”Kolonel Boumedienne Pemimpin Baru Aljazair”, ”Pendidikan Mental dan Kejuruan di Irian Barat”, ”Restoran Apung di Saigon Diledakkan”, berita tentang ”The Beatles”, ”Shah Iran di Moskow”, dan beberapa berita yang menggambarkan tingginya dinamika politik dunia antara blok Barat dan Timur serta keberadaan Indonesia dan Nonblok.

Dari Keng Po”, ”Star Weekly”, Intisari

Sebelum Kompas lahir, muncul tokoh-tokoh dari pers Melayu Tionghoa, seperti Khoe Woen Sioe dari pers harian Keng Po yang memperjuangkan kemanusiaan, antifasis, demokrasi, dan kebangsaan Indonesia. Tokoh-tokoh pers dari generasi Khoe Woen Sioe inilah yang menjadi inspirasi bagi PK Ojong.  

PK Ojong, yang lebih muda 16 tahun dari Khoe Woen Sioe, dalam mengembangkan usaha media massa meniru teladan seniornya di Keng Po dan majalah Star Weekly.  

arsip kompas
PK Ojong.

Salah satunya, langkah mengutamakan kesejahteraan karyawan yang diambil PK Ojong dan Jakob Oetama. Mengikuti jejak Khoe Woen Sioe, keduanya juga membeli vila atas nama perusahaan di Cipanas dan kemudian di Anyer untuk digunakan seluruh karyawan dan keluarga besar Kompas Gramedia yang ingin bertetirah di Puncak atau Pantai Anyer di tepian Selat Sunda.

Bahkan, ketika Kompas Gramedia mengembangkan usaha di bidang perhotelan. Para karyawan dari grup Kompas dan Gramedia pun mendapatkan harga khusus jika menggunakan fasilitas hotel yang dimiliki kelompok usaha. 

Kebersamaan, kesederhanaan, dan mawas diri adalah dasar dari kekeluargaan yang menjadi nilai korporat di harian Kompas. Nilai-nilai ini menjadi dasar untuk menjalankan idealisme sebagai pedoman masyarakat dari usaha surat kabar yang kini juga merambah ke platform digital.

Dalam buku Kompas, Menulis dari Dalam, P Swantoro mengingatkan pentingnya membaca dan mempelajari sejarah sebagai dasar kerja wartawan dan menulis isu kebudayaan. ”Sudah membaca History of Java?” tanya P Swantoro kepada Bre Redana di masa awal bekerja di Kompas. Bre adalah wartawan seni budaya dan gaya hidup yang kemudian menjadi editor dan wartawan senior.

Pada beberapa kesempatan, penulis sempat diberi waktu oleh P Swantoro untuk melihat langsung koleksi buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles versi cetakan perdana dan cetakan kedua yang disimpan rapi di rumahnya di Kompleks PWI, Cipinang, Jakarta Timur.

​Keterlibatan PK Ojong di dunia pers cukup panjang. Ia terlibat di Keng Po, surat kabar yang terbit tahun 1923 kemudian dilarang penguasa fasis Jepang dan terbit kembali hingga akhirnya diberedel Pemerintah Indonesia tahun 1957.

Ia juga pernah berkecimpung di majalah Star Weekly yang kemudian diberedel tahun 1961, merintis majalah Intisari bersama Jakob Oetama, hingga akhirnya membidani harian Kompas. Perjalanan ini memberi warna khas, yakni santun dan berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan halus dalam menegur.

Sejarah berulang

Memasuki usia ke-55 tahun, Kompas kembali mengalami hantaman krisis, yakni pandemi Covid-19 yang melanda tidak hanya Indonesia, tetapi juga seluruh dunia.

Meski demikian, Kompas masih mampu unjuk gigi dengan menempatkan diri pada peringkat kelima media massa yang paling dibaca di seluruh dunia. Empat peringkat teratas diduduki media massa dari Amerika Serikat dengan usia yang jauh lebih tua dari Kompas.

Krisis pertama terjadi beberapa bulan setelah kelahiran Kompas, yakni peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Kompas sempat ditekan pihak militer dari kubu G30S untuk menyatakan kesetiaan. Namun, Kompas berhasil lolos dan tidak mengindahkan tuntutan kelompok tersebut.

Tanggal 2 Oktober 1965, Kompas dan semua surat kabar dilarang terbit oleh Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya agar rakyat tidak kebingungan akibat simpang siur berita menyusul terjadinya peristiwa G30S. Pada 6 Oktober 1965, Kompas kembali terbit.

Gelombang kembali menghantam tahun 1971 dan 1978 berupa pemberedelan surat kabar. Peristiwa Malari tahun 1971 nyaris membahayakan dunia penerbitan surat kabar. Larangan terbit kedua dialami pada 21 Januari 1978 dengan terjadinya aksi mahasiswa menentang Presiden Soeharto yang mengakibatkan Kompas diberedel bersama surat kabar Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore.

Pasang surut era Reformasi dialami harian Kompas yang hingga kini bertahan dan bahkan muncul dalam multiplatform demi menjawab tantangan zaman.

Kebersamaan yang menjadi warisan PK Ojong dan Jakob Oetama sekali lagi menjadi jawaban dalam menghadapi krisis dan tantangan zaman yang mewarnai 55 tahun perjalanan Kompas. Menjadi pedoman tanpa menggurui. Rahayu…!