Menjaga Harum Kopi di Kala Pandemi

Segelas kopi mampu merajut beragam kisah peradaban manusia. Dari suguhan minuman tradisional hingga saksi bisu revolusi, kopi kini menjadi simbol gaya hidup masyarakat modern. Namun, di balik itu, kopi juga menyimpan kisah pahit pergumulan para petaninya dari masa ke masa, seperti yang kini tengah membayangi di kala pandemi.

Perjalanan kopi berawal dari Etiopia, Afrika, sebelum kemudian dipopulerkan pedagang Arab sekitar abad ke-15 hingga menyebar ke Eropa. Berawal dari minuman tradisional yang disuguhkan hanya di hajatan tertentu, lambat laun kopi mulai dinikmati di kedai-kedai terbuka pada masa Kekaisaran Turki Usmani (Ottoman).

Seiring berjalannya waktu, kopi mulai menjadi simbol pertukaran gagasan dan informasi. Ada masanya kopi dianggap lebih berbahaya dari bir karena mendorong seseorang untuk lebih aktif berdiskusi meski tetap sadar diri. Kopi pun menjadi saksi bisu persiapan Revolusi Perancis pada 1789 dan Revolusi Amerika pada 1775. Sebagian besar perencanaan dimatangkan di sudut-sudut kedai kopi.

buku bohemian paris of today
Ilustrasi suasana kafe Procope di Paris, Perancis, dalam buku Bohemian Paris of Today karya William Chambers Morrow dan Edouard Cucuel. Procope, kafe tertua di Perancis, sangat aktif dimanfaatkan untuk berdiskusi sambil minum kopi oleh para penggerak, menjelang pecah Revolusi Perancis.

Demikianlah, sepanjang sejarah, kopi mengambil berbagai rupa dan peran. Sebagaimana digambarkan Mark Pendergast dalam The History of Coffee and How It Transformed Our World, perjalanan kopi melintasi zaman telah ikut membentuk peradaban manusia.

Dewasa ini, kopi kembali merajut peradaban modern sebagai potret gaya hidup yang melintasi lapisan sosial. Segelas kopi bisa dihirup seorang buruh selepas bekerja membanting tulang atau dinikmati masyarakat kelas menengah dalam hiruk-pikuk kedai kopi hingga menemani sosialita dan elite pejabat sekadar bercengkerama menghabiskan hari.

Ngopi dengan cepat menjadi gaya hidup yang digandrungi, efektif untuk mencairkan interaksi dan diskusi di tengah sesapan segelas kopi. Kedai kopi menjamur, mulai dari kelas warkop hingga kafe kelas atas yang menjual kopi luwak dengan harga melambung.

Kopi juga merasuk ke sudut kehidupan lain, termasuk budaya populer lewat novel, film, dan tren gaya hidup. Bagi Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, kopi menjadi pijakan refleksinya terhadap manusia dan beragam aspek hidupnya. Dee Lestari dalam bukunya, Filosofi Kopi, juga menyelipkan pesan-pesan kehidupan lewat segelas kopi.