Dunia Melawan Korona

Tingkat penyebaran virus korona tipe baru yang cepat, ditambah kemampuannya menular antarmanusia, semakin membuat dunia khawatir. Epidemi ini mengingatkan negara-negara untuk kembali serius membenahi sistem kesiapsiagaannya.

Dalam satu dekade terakhir banyak kemajuan dicapai negara-negara di dunia dalam penguatan sistem kesehatan. Meski demikian, sesungguhnya dunia belum sepenuhnya siap untuk menghadapi epidemi.

Vital Strategies, organisasi kesehatan publik global, menyebutkan, hampir lima miliar orang masih rentan terhadap ancaman kesehatan karena kemampuan negara mereka belum teruji dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi penyakit infeksi. Vital Strategies mengolah hasil evaluasi eksternal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kesiapan negara-negara di dunia menghadapi epidemi.

Selama berabad-abad, wabah penyakit, epidemi, dan pandemi telah berdampak hebat pada kehidupan manusia. Pada tahun 1918, pandemi flu menulari sepertiga populasi dunia saat itu dan diperkirakan menelan korban jiwa hingga 50 juta orang.

Dalam dua dekade terakhir ini muncul sindrom pernapasan akut parah (SARS), MERS, H1N1, ebola, dan zika. Dan yang paling anyar adalah penyakit pernapasan akut akibat virus korona tipe baru (2019-nCoV) di Wuhan, China.

 

 

Pada tahun 2002-2003, SARS butuh waktu sekitar delapan bulan untuk menginfeksi hingga 8.000 orang. Sementara virus korona tipe baru, hanya dalam jangka satu bulan sejak kasus pertama dilaporkan, telah menjangkau hampir 15.000 orang.

Hingga Selasa (3/2/2020), data WHO menyebutkan, jumlah kasus positif 2019-nCoV telah mencapai 17.391 kasus yang tersebar di 24 negara dengan jumlah korban meninggal 362 jiwa. Sebagian besar, yakni 17.238 kasus, ditemukan di China dengan 361 korban meninggal.

Tingkat penyebarannya yang cepat hingga keluar dari China ditambah kemampuan virus ini menular antarmanusia semakin membuat dunia khawatir. Apalagi perkembangan terakhir, penularan bisa terjadi dari orang positif, yang tidak menimbulkan gejala.

Isolasi yang ditempuh China pun ternyata belum sepenuhnya efektif mengendalikan penyebaran penyakit. Persoalan lain muncul terkait pasokan makanan, alat kesehatan, dan kemampuan rumah sakit dalam menangani pasien.

AFP/HECTOR RETAMAL
Foto yang diambil tanggal 30 Januari 2020 menunjukkan petugas medis berpakaian pelindung lengkap akan memeriksa tubuh seorang warga yang tewas dengan masker menutup wajahnya di tepi jalan tak jauh dari sebuah rumah sakit di Wuhan, China.

Negara yang sistem kesehatannya lemah akan mengalami guncangan hebat jika menghadapi ledakan kasus penyakit seperti di China. Itu sebabnya WHO menetapkan kasus ini sebagai darurat kesehatan global. Pesatnya moda transportasi udara, tingginya urbanisasi, perubahan iklim, dan interaksi dengan satwa liar membuat manusia rentan terpapar penyakit infeksi.

Konflik dan instabilitas di sejumlah negara juga menghambat penanganan penyakit. Di Afrika, misalnya, sering kali tenaga kesehatan yang sedang menangani pasien ebola justru menjadi sasaran kelompok yang bertikai.

Negara yang sistem kesehatannya lemah akan mengalami guncangan hebat jika menghadapi ledakan kasus penyakit seperti di China.

Satu hal yang bisa menjadi pelajaran adalah dunia kembali diingatkan betapa pentingnya surveilans. Bukan hanya surveilans di layanan kesehatan, melainkan juga surveilans yang lebih ke hulu dengan pendekatan one health.

One health adalah pendekatan penanganan wabah atau epidemi penyakit zoonosis yang tidak hanya melibatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga kesehatan hewan dan lingkungan.

kompas/p raditya mahendra yasa
Kelelawar atau paniki yang telah dibakar dan dijual untuk diolah kembali di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (10/8/2019). Penelitian menemukan, kelelawar menjadi inang alami berbagai virus yang bisa berbahaya bagi manusia.

Bagi Pemerintah Indonesia, temuan belasan virus baru, termasuk virus korona, oleh peneliti IPB University di empat provinsi di Sulawesi menarik untuk dicermati. Pemerintah harus mulai mengidentifikasi mikroorganisme apa saja yang bersirkulasi di negara yang berpotensi menjadi patogen.

Dengan mengetahui mikroorganisme apa saja yang bersirkulasi di suatu wilayah, pemerintah bisa mengantisipasi potensi wabah atau epidemi. Aspek pencegahan inilah yang sering kali dilupakan oleh banyak negara.

Perlu kembali diingat bahwa dalam menghadapi wabah, epidemi, atau pandemi, suatu negara perlu memiliki kapasitas yang baik dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons.

Selama ini, pemerintah di berbagai negara baru ”sibuk” ketika wabah sudah terjadi. Pemindai suhu tubuh di bandara baru dioperasikan ketika ada wabah, ruang isolasi di rumah sakit buru-buru disiapkan sebagai antisipasi, pejabat kesehatan ramai-ramai menyatakan siap menghadapi ancaman wabah.

kompas/kristian oka prasetyadi
Penumpang pesawat Lion Air JT 2742 yang membawa 208 orang dari Changsha, China, diperiksa suhu tubuhnya dengan alat pemindai suhu sesaat setelah tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara, Selasa (21/1/2020).

Sebenarnya, pemindai suhu tubuh tidaklah cukup untuk mendeteksi adanya orang yang terduga terinfeksi. Konfirmasi seseorang positif terinfeksi virus korona baru atau tidak, tetap butuh sampel tenggorok untuk diperiksa di laboratorium.

Laboratorium di Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk mendeteksi ada tidaknya kasus penyakit infeksi baru yang berbahaya sekalipun. Laboratorium di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, misalnya, sudah bersertifikasi laboratorium BSL-3 (biosecurity level 3) yang bisa memeriksa patogen seperti ebola sekalipun.

Lalu benarkah apa yang dikatakan pejabat kita bahwa Indonesia siap menghadapi ancaman wabah atau pandemi?

Hasil studi Vital Strategies menunjukkan bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya siap. Dalam rentang skor 0-100 persen, Indonesia memiliki skor 64 persen, yang artinya sudah ada kemajuan, tetapi belum sepenuhnya siap, masih banyak yang harus disempurnakan.

Ketika dilihat lebih rinci, ternyata skor indikator kesiapan dan respons operasional menghadapi wabah menempati posisi paling rendah (50 persen dan 55 persen).

 

Epidemi virus korona tipe baru di Wuhan mengingatkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk kembali serius membenahi sistem kesiapsiagaannya. Sebab, di dunia yang makin terkoneksi saat ini, tak ada satu negara pun yang bebas dari ancaman wabah penyakit.

Terkait virus korona, hingga 2 Februari 2020 belum ada konfirmasi virus korona jenis baru di Indonesia. Ada 31 spesimen pasien yang dikirim ke Balitbangkes untuk diteliti. Sebanyak 24 spesimen teridentifikasi negatif, sementara 7 spesimen masih diteliti.

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan menutup sementara penerbangan langsung dari dan ke daratan China mulai Rabu (5/2/2020) pukul 00.00. Pemerintah juga menghentikan sementara pemberian fasilitas bebas visa kunjungan dan visa on arrival untuk warga negara China.

Semua pendatang dari daratan China untuk sementara juga tidak diizinkan masuk dan transit di Indonesia. Hal ini diberlakukan bagi semua orang yang sudah berada minimal 14 hari di daratan China. Warga negara Indonesia (WNI) diminta sementara tidak melakukan perjalanan ke daratan China.

 

Sebanyak 238 WNI yang dievakuasi dari Wuhan, Provinsi Hubei, China, berikut lima orang tim aju (advance), Minggu (2/2/2020) pagi, tiba di Batam, Kepulauan Riau. Mereka langsung diterbangkan ke Pulau Natuna dan diobservasi selama 14 hari.

Masa observasi juga diberlakukan untuk 42 anggota tim penjemput WNI. Tiga WNI tidak lolos screening terkait kondisi kesehatan mereka. ”Total yang akan menjalani observasi 285 orang. Sampai saat ini mereka dalam kondisi sehat,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (Kompas, 3/2/2020).

Temuan terbaru menunjukkan sebagian orang yang terinfeksi virus korona baru 2019-nCoV tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi tetap bisa menularkannya kepada orang lain. Hal ini menyebabkan upaya penapisan suhu tubuh tidak efektif. Sejumlah negara kemudian menutup kunjungan orang dari China.

”Kemungkinan masuknya virus korona baru ke Indonesia tanpa kita ketahui menjadi tinggi karena penapisan suhu menjadi tidak sensitif. Hal ini bisa terjadi karena orang yang telah terinfeksi tidak menunjukkan gejala sakit,” kata Amin Soebandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, di Jakarta (Kompas, 1/2/2020).

 

 

Hal tersebut, menurut Amin, menyebabkan orang yang tertular dapat melakukan perjalanan ke mana-mana. Akibatnya, virus korona tipe baru 2019-nCoV menyebar luas melebihi SARS. ”Sebelum Wuhan tertutup, orang yang tertular sudah keluar,” ungkapnya.

Menurut Amin, sesuai panduan WHO sebelumnya, upaya penapisan dilakukan setelah ada gejala. Namun, prosedur ini sekarang harus diubah. Dengan ketiadaan gejala, berarti harus dipelajari riwayat kontak dan perjalanannya lebih teliti. Orang yang pernah kontak atau datang dari negara yang terinfeksi mesti diawasi, minimal 14 hari selama masa inkubasi.

Mulai 1 Februari 2020, Singapura tak mengizinkan masuk atau transit bagi orang yang dalam 14 hari terakhir ada di China daratan. ”Di Australia, orang dari negara terinfeksi harus mengarantina sendiri atau tinggal di rumah 14 hari,” ujar Amin.

Menurut dia, dari sisi teknologi dan kapasitas sumber daya, Indonesia bisa mendeteksi keberadaan virus korona baru. ”Eijkman sudah memiliki sistem yang bisa mendeteksi korona jenis apa pun. Kalau positif, baru disekuen untuk memastikan apakah itu virus 2019-nCoV,” ujar Amin.

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan mendeteksi suhu tubuh penumpang dari luar negeri yang baru tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2020).

Ia membantah pemberitaan tentang ketidakmampuan Indonesia mendeteksi virus baru itu. ”Namun, melihat banyaknya titik masuk ke Indonesia, sementara negara-negara tetangga sudah positif terinfeksi, kemungkinan masuknya virus korona baru ke Indonesia tak bisa diabaikan,” papar Amin.

Virus korona pemicu SARS memang lebih mematikan (tingkat kematian kasus 34 persen), tetapi virus korona galur baru dari Wuhan lebih sulit dideteksi dan mudah menular dari manusia ke manusia meksipun tingkat kematian kasusnya “hanya” 2 persen.

Di luar China, infeksi virus ini ditemukan di Thailand, Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan, Australia, Malaysia, Makau, Korea Selatan, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Uni Emirat Arab, Kanada, Italia, Vietnam, Kamboja, Finlandia, India, Nepal, Filipina, dan Sri Lanka. Virus ini dikhawatirkan juga menyebar ke negara-negara lain tanpa diketahui karena lebih sulit dideteksi.

Dari manusia ke manusia

Riset Qun Li dari Chinese Center for Disease Control and Prevention dan tim yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine pada 29 Januari 2020 menunjukkan, 2019-nCoV telah menular dari manusia ke manusia bahkan sebelum virus ini pertama kali diidentifikasi.

Peneliti mempelajari 425 pasien pertama yang terinfeksi 2019-nCoV. Rumah sakit di Wuhan mengidentifikasi empat kasus pertama infeksi pada 29 Desember 2019 dengan menggunakan mekanisme pengawasan pneumonia dengan sebab yang tidak diketahui.

Namun, sebelum identifikasi pertama, virus ini dipastikan sudah menular dari manusia ke manusia. Sebanyak 55 persen pasien yang terinfeksi sebelum 1 Januari 2020 terkait dengan Pasar Grosir Makanan Laut Huanan di Wuhan.

Data juga menunjukkan, sejak akhir Desember terjadi peningkatan eksponensial jumlah kasus infeksi di kalangan penduduk Wuhan yang tidak terpapar dengan pasar tersebut.

 

 

Periode inkubasi rata-rata virus ini 5,2 hari, dengan interval 4,1-7 hari. ”Penularan dari manusia ke manusia di antara kontak dekat terjadi sejak pertengahan Desember dan menyebar secara bertahap dalam waktu sebulan,” tulis Li.

Keterlambatan deteksi virus 2019-nCoV di Wuhan terjadi karena adanya orang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. Laporan terbaru Camilia Rothe dari University Hospital LMU Munich dan tim di The New England Journal of Medicine menyebutkan, orang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala sakit ternyata dapat menyebarkan virus ini.

Kasus ini melibatkan seorang perempuan dari Shanghai yang melakukan perjalanan bisnis ke Jerman pada 19-22 Januari 2020. Ketika tiba di Jerman, perempuan ini tak menunjukkan tanda sakit, termasuk batuk dan demam, sehingga lolos penapisan awal. Dia “baru” sakit dalam penerbangan kembali ke China dan pada 26 Januari terkonfirmasi terinfeksi virus 2019-nCoV.

Seorang pengusaha Jerman yang bertemu dengan perempuan itu kemudian diketahui positif terinfeksi virus korona baru. Setelah itu, tiga rekan kerja pengusaha Jerman juga terinfeksi virus tersebut, padahal hanya satu orang yang kontak dengan perempuan dari Shanghai itu.

”Fakta bahwa orang tanpa gejala adalah sumber potensial infeksi 2019-nCoV, harus menjadi dasar penilaian ulang dinamika transmisi wabah saat ini,” tulis Rothe.

 

Selain Jerman; Vietnam, Jepang, dan Amerika Serikat juga melaporkan adanya penularan virus itu secara domestik di dalam negeri. Semua penularan ini awalnya dibawa orang dari China, tanpa diketahui yang bersangkutan telah terinfeksi sehingga lolos pemeriksaan awal.

”Meskipun saat ini China telah melakukan larangan pergi bagi seluruh penduduknya dan di Indonesia telah dibekali thermoscanner sebagai modal penapisan di seluruh pintu masuk, hal itu tidak menjadi jaminan,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan dalam keterangan tertulisnya.

Kita berharap virus korona baru ini belum masuk Indonesia. Namun, kita juga harus menyiapkan skenario terburuk jika virus tersebut masuk ke negeri ini.