Perjalanan kapal layar latih tiang tinggi terbaru TNI Angkatan Laut, KRI Bima Suci, ke lima negara pada rangkaian program Kartika Jala Krida 2018 adalah sebuah pelayaran bersejarah dari berbagai aspek. Pelayaran ini menandai awal sejarah panjang KRI Bima Suci sebagai kawah candradimuka bagi para calon pelaut TNI AL sekaligus menjadi duta Indonesia sebagai bangsa maritim.
Rabu, 5 September 2018, sekitar pukul 19.30 waktu setempat, KRI Bima Suci tengah berlayar di Laut Jepang di lepas pantai Semenanjung Korea, mengarah ke timur laut. Langit bersih, bintang bertaburan di langit. Namun, tiba-tiba angin yang tadinya bertiup tenang mendadak menderu lebih kencang. Gelombang laut pun kini terasa mengguncang kapal lebih keras.
Seluruh layar menggembung penuh ke depan. Laju kapal pun terasa lebih kencang. Namun, posisi kapal yang miring sejak seluruh layar dikembangkan menjadi lebih miring.
Angin yang bertiup dari arah sisi kiri buritan kapal membuat kapal miring ke kanan. Berjalan di geladak pun perlu usaha ekstra agar badan masih bisa tegak, dan menjaga jangan sampai terpeleset dan terpental ke laut lepas di sisi kanan kapal.
Sejak kapal bertolak dari Yeosu, Korea Selatan, 30 jam sebelumnya, kapal belum pernah semiring ini. Penasaran, Kompas pun mengaktifkan fitur pengukur kemiringan permukaan di ponsel dan menaruh pesawat ponsel itu mendatar di permukaan geladak. Terlihat kemiringan kapal telah melebihi 20 derajat, bahkan sempat menyentuh 23 derajat.
Saat beranjak ke anjungan utama untuk melihat indikator kecepatan dan kemiringan kapal, tiba-tiba terdengar bunyi alarm kencang disertai pengumuman melalui pengeras suara. ”Peran layar...! Peran layar...!”. Peran di sini adalah akronim dari perintah tindakan. Peran layar berarti perintah bagi seluruh awak kapal untuk naik ke geladak guna melakukan pengaturan layar-layar yang terkembang.
”Peran layar...! Peran layar...! Beaufort 6! Ulangi, Beaufort 6,” pengumuman dari perwira kapal di anjungan kembali bergema di seluruh kapal. Skala Beaufort 6 mengindikasikan kecepatan angin telah melampaui 22 knot (sekitar 39 km per jam), yang menyebabkan gejolak gelombang laut mencapai ketinggian 2-3 meter.
Walau tiupan angin menjadi kabar baik bagi sebuah kapal layar, angin yang terlalu kencang bisa memicu bahaya. Terutama bagi kapal layar tiang tinggi seperti KRI Bima Suci, angin yang terlalu cepat dalam kondisi seluruh layar terkembang bisa membuat kapal miring ke titik yang kritis.
”Batas aman kemiringan kapal untuk tipe Barque seperti ini adalah 17-25 derajat. Lebih dari 25 derajat, kapal bisa capsized (terbalik). Tadi malam itu, kemiringan kapal sempat menyentuh 25 derajat. Maka, saya ambil keputusan untuk mengurangi jumlah layar yang aktif,” papar Komandan KRI Bima Suci Letnan Kolonel Laut (P) Widiyatmoko Baruno Aji, keesokan harinya.
Hanya dalam hitungan detik, seluruh awak kapal beserta para taruna Akademi Angkatan Laut (AAL) yang tengah mengikuti pelatihan teknis lapangan Kartika Jala Krida 2018 berhamburan di geladak menempati pos masing-masing. Berbagai perintah diserukan di tengah deru angin malam dan para awak pun mulai melepas simpul-simpul tali pemegang kendali layar dan tiang-tiang layar.
Misi malam itu adalah ”mematikan” dua lapisan layar tegak paling atas guna mencegah kemiringan kapal semakin bertambah. Cara paling cepat adalah dengan menurunkan tiang melintang tempat layar-layar itu tergantung sehingga permukaan penampang layar yang terkena angin pun mengecil, tertutup lapisan layar di bawahnya.
Meski terdengar simpel, prosesnya tak secepat yang dibayangkan. Proses ini memakan waktu sekitar satu jam, dan membutuhkan upaya keras, mengingat tidak mudah menarik layar dalam kondisi terkembang sempurna.
”Dalam kondisi diam, beban untuk menarik satu layar mungkin hanya sekitar 100 kilogram. Namun, dalam kondisi layar tengah ‘makan’ angin seperti ini, bebannya bisa menjadi 4 ton,” papar Kepala Departemen Senjata dan Bahari KRI Bima Suci, Mayor Laut (P) Sugeng Hariyanto, yang bertanggung jawab pada operasional layar-layar tersebut.
Itu terlihat saat menarik tali-tali layar, beberapa taruna sempat tertarik hingga ketinggian satu meter dari atas geladak, untuk kemudian menumpukan seluruh beban tubuh kembali ke bawah guna menarik tali layar.
Begitu peran layar itu selesai, kapal terlihat kembali ke kemiringan normal, dengan kecepatan bertahan di atas 9 knots. Sugeng pun mengumpulkan para taruna di geladak tengah kapal, memberikan taklimat atas apa yang baru saja dialami.
”Tadi terjadi keadaan yang bisa berbahaya jika dibiarkan. Kecepatan angin naik jadi 24-25 knots, kapal miring 22 derajat, kemudi sudah susah dikendalikan. Cuaca memang bisa tiba-tiba berubah, juga arah dan kekuatan angin. Ini butuh tindakan segera. Ini bagian dari dinamika yang harus kalian hadapi saat berlayar,” ujar Sugeng.
Itulah sepenggal kisah pengalaman berlayar dengan KRI Bima Suci, kapal layar latih tiang tinggi terbaru milik TNI Angkatan Laut. Dengan panjang 111,2 meter dan tinggi tiang layar 51,5 meter, Bima Suci berukuran hampir dua kali lipat dibandingkan pendahulunya, KRI Dewaruci yang sudah berusia 64 tahun.
Bima Suci juga menggantikan peran Dewaruci untuk melakukan pelayaran muhibah ke mancanegara setiap tahun, menjadi duta bangsa yang lebih gagah, lebih anggun, dan lebih modern di abad milenial ini. Dalam setiap pelayaran muhibah itu, para taruna AAL tingkat tiga turut serta untuk mempraktikkan langsung ilmu yang mereka terima di kelas dalam program Kartika Jala Krida (KJK).
Pelayaran KJK 2018 memang bukan KJK pertama yang dilakukan di atas Bima Suci. Tahun lalu, para taruna tingkat tiga AAL angkatan ke-64 mengikuti KJK 2017 dalam perjalanan membawa pulang KRI Bima Suci dari galangan pembuatnya di Vigo, Spanyol, ke Tanah Air. Dalam perjalanan itu, kapal melakukan transit sekaligus muhibah di empat negara, yakni Italia, Mesir, Arab Saudi, dan Sri Lanka.
Namun, pelayaran KJK 2018 adalah pelayaran muhibah perdana yang dilakukan KRI Bima Suci dari Indonesia. Kapal ini bertolak dari pangkalan di Surabaya pada 2 Agustus 2018, kemudian menempuh perjalanan menuju Batam; Zhanjiang di China; Yeosu di Korea Selatan; Vladivostok di Rusia; Qingdao (China); Yokosuka di Jepang; Jeju (Korsel); kemudian Manila, Filipina. Kapal dijadwalkan kembali ke Surabaya pada 9 November 2018 setelah transit di Bitung, Sulawesi Utara.
Ukuran kapal yang lebih besar membuat Bima Suci kini bisa mengangkut seluruh taruna dari lima korps TNI AL, yakni pelaut, teknik, elektro, suplai, dan marinir, untuk mengikuti seluruh proses pelayaran secara penuh. KJK 2018 ini diikuti 100 taruna angkatan ke-65 AAL.
”Mereka akan mempraktikkan langsung ilmu-ilmu teori yang sudah didapat di kelas sesuai korps masing-masing,” ujar Perwira Pelaksana Latihan (Palaklat) KJK 2018 Letkol Laut (P) Joko Purwanto, yang menjadi pemimpin program pelatihan di atas Bima Suci tahun ini.
Namun, yang menjadi fokus utama adalah penggemblengan keterampilan dan mental para calon pelaut TNI AL ini. Para calon pelaut ini belajar menjadi pelaut masa depan dengan menguasai berbagai ilmu dasar seorang pelaut, dari mengendalikan kapal layar hingga melakukan navigasi astronomi dengan hanya mengandalkan posisi bintang-bintang di langit sebagai pedoman posisi kapal (kartika jala krida secara umum berarti pelatihan pelayaran bintang).
Dalam wawancara Februari 2018, Kepala Staf TNI AL waktu itu, Laksamana Ade Supandi, mengatakan, berlayar dengan kapal layar tiang tinggi itu bertujuan mempelajari dan menjalankan tradisi pelayaran yang telah berlangsung berabad-abad.
Baruno menambahkan, dengan kapal ini para taruna dan seluruh awak berlatih mengasah kepekaan yang dibutuhkan sebagai pelaut sejati. Kepekaan yang dimaksud hanya bisa diasah tuntas di atas kapal yang berinteraksi langsung dengan alam, bahkan digerakkan oleh kekuatan alam itu sendiri.
”Itu sebabnya kapal ini masih mempertahankan kemudi di luar karena hanya dengan berada di luar, kita bisa merasakan langsung tiupan angin, panasnya sinar matahari, suhu udara, dan aroma laut. Dari panasnya cuaca, saya bisa tahu akan hujan atau tidak. Dari aroma laut saya bisa mengetahui apakah kita sudah dekat daratan atau belum,” papar Baruno sambil menunjuk roda kemudi besar yang terbuat dari kayu di geladak kapal (Kompas, 24/2/2018).
Dan itulah yang dilakukan dalam pelayaran dari Yeosu menuju Vladivostok, Rusia, 4-9 September 2018. Baruno bahkan secara khusus memerintahkan sistem penyejuk udara (AC) di anjungan utama dimatikan dan pintu-pintu anjungan dibuka agar setiap prajurit yang berjaga di dalamnya bisa merasakan udara luar.
Tepat di luar pintu anjungan, para awak mengikatkan seutas pita tipis berwarna merah putih sepanjang kira-kira 50 cm ke salah satu tiang. Pita ini terlihat melambai-lambai mengikuti tiupan angin. ”Ini menjadi indikator sederhana tetapi bisa diandalkan untuk mengetahui kekuatan dan arah angin,” ungkap Kepala Departemen Navigasi dan Operasi KRI Bima Suci Mayor Laut (P) Bambang Rudi.
Baruno juga memerintahkan kendali kapal dilakukan dengan roda kemudi yang terletak di luar ruang anjungan. Roda kemudi elektronik yang berada di dalam anjungan bahkan diikat dengan tali. Di roda kemudi besar di luar ruang ini, para taruna bergantian dengan para awak menjaga arah kapal, sekaligus menahan terpaan angin dan cuaca yang semakin dingin saat kapal makin mendekat ke Rusia.
Pelayaran ke Vladivostok ini, yang menjadi puncak dari program KJK 2018, bertepatan dengan keikutsertaan Bima Suci dalam balapan kapal layar SCF Far East Tall Ships Regatta (FETSR) 2018. Balapan pertama yang diikuti Bima Suci ini juga menjadi ajang pembuktian ketangguhan dan seluruh kemampuan kapal yang dipesan di galangan kapal Freire di Vigo, Spanyol, itu.
Jangan pernah meremehkan kekuatan angin. Di era modern ketika hampir segalanya digerakkan oleh motor atau mesin, KRI Bima Suci membuktikan bagaimana kekuatan angin masih bisa diandalkan untuk perjalanan jarak jauh melintasi lautan dan samudra.
Hanya dengan mengandalkan kekuatan angin yang ditangkap 26 layarnya, kapal tiang tinggi bermuatan penuh itu bisa bergerak dengan kecepatan rata-rata 9-10 knots (sekitar 17-18 km per jam). Padahal, bobot kapal mencapai lebih dari 2.000 ton. ”Dalam kondisi penuh seperti saat ini, bobot kapal bisa mencapai sekitar 2.500 ton,” kata Perwira Pelaksana (Palaksa) KRI Bima Suci Letnan Kolonel Laut (P) M Sati Lubis.
Dalam spesifikasi teknis resminya, KRI Bima Suci yang dibuat di galangan kapal Freire di Vigo, Spanyol, itu, bisa mencapai kecepatan maksimum 15 knots dengan hanya menggunakan layar. Kecepatan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan kecepatan maksimum dengan tenaga mesin, yang hanya 12 knots.
Namun, kecepatan yang diraih dari tenaga angin itu harus diterima dengan konsekuensi. Tiupan angin pada layar-layar di tiang-tiang tingginya membuat kapal miring. Makin kencang angin, makin kencang kapal, dan makin miring. Ini hal yang wajar terjadi pada setiap kapal layar, mulai dari perahu yacht sampai kapal-kapal layar tiang tinggi macam Bima Suci.
Sebagai kapal bertipe Barque, Bima Suci memiliki batas kemiringan aman 17-25 derajat. Sementara tipe lain, seperti kapal STS Nadezhda milik Rusia yang menjadi pesaing Bima Suci dalam balapan kapal SCF Far East Tall Ships Regatta 2018, bahkan bisa miring sampai di atas 30 derajat.
Walau sekilas sudut 17-25 derajat itu tak seberapa di busur derajat, dalam dunia nyata, terutama saat berada di perut kapal sebesar Bima Suci, sudut itu terasa ekstrem. Barang-barang yang tadinya tersusun rapi di lantai bisa sontak tumpah dan berserakan. ”Di atas 17 derajat, juru masak sudah tidak bisa masak karena air pasti tumpah. Kalau sudah begitu, kami paling makan sarden,” ujar Komandan KRI Bima Suci Letkol Laut (P) Widiyatmoko Baruno Aji.
Berada dalam ruangan tertutup yang miring seperti ini menjadi tantangan tersendiri, apalagi ditingkahi goyangan naik turun akibat ombak. Kompas yang mendapat jatah berada di kamar taruna di dek bawah (lower deck, dek nomor dua terbawah di kapal), selama berhari-hari harus tidur dalam posisi miring.
Ini bukan hal sederhana mengingat lebar tempat tidur susun itu tak sampai 1 meter, dan Kompas berada di ranjang teratas di ranjang susun tiga lapis itu. Bergeser sedikit saja, bagian tubuh sudah nongol di pinggir ranjang tanpa penutup samping itu karena kondisi yang miring. Jika tidak berpegangan atau kaki menahan ujung ranjang, bisa-bisa dengan sukses terjatuh ke lantai.
Belum lagi jika harus berjalan menuju ruangan lain, misalnya ke toilet, kamar mandi, atau membuka tutup pintu-pintu kedap yang lumayan berat. Beberapa perwira yang sudah senior dan kenyang pengalaman melaut pun ada yang belum terbiasa dengan kondisi kapal miring ini.
”Kalau kapal diguncang ombak saya sudah biasa. Tetapi, kalau kapal miring, baru kali ini. Di kapal biasa, kondisi miring ini tandanya ada sesuatu yang tidak beres, tetapi di sini itu jadi kewajaran,” kata Letkol Laut (P) Joko Purwanto, Perwira Pelaksana Latihan (Palaklat) Kartika Jala Krida 2018 yang pernah menjabat Komandan KRI Kujang.
Namun, semua itu tak menjadi penghalang bagi setiap prajurit dan taruna Akademi Angkatan Laut di KRI Bima Suci untuk menegakkan semangat guna tetap melaju dalam lomba layar tersebut walau semua harus dilakukan dengan usaha ekstra.
Juru mudi yang menjaga roda kemudi besar di depan anjungan, misalnya, harus menjaga posisi tubuh tetap tegak di geladak yang miring agar tetap bisa mengendalikan arah gerak kapal. Mereka harus bertahan di pos sepanjang waktu piket jaga selama empat jam.
Demikian juga para juru masak yang harus bekerja di dapur yang miring. Air untuk masak dan minyak untuk menggoreng lauk pun dalam kondisi miring. Padahal, pasokan makanan harus tetap diberikan secara rutin kepada semua awak.
Kepala Departemen Senjata dan Bahari KRI Bima Suci Mayor Laut (P) Sugeng Hariyanto mengatakan, KRI Bima Suci baru pertama kali ini mengikuti balapan kapal layar dan mengembangkan semua layarnya untuk menangkap angin semaksimal mungkin. ”Semua harus dilakukan dengan keterbatasan karena dari 89 kru kapal asli, hanya 15 orang yang ahli layar. Jadi harus dibagi-bagi tugasnya,” katanya.
Namun, dengan segala keterbatasan itu, KRI Bima Suci berhasil menuntaskan balapan pada Sabtu (8/9/2018) pagi walau harus puas di urutan kedua, tertinggal dengan jarak sekitar 70 mil laut di belakang STS Nadezhda dari Rusia.
Bagaimanapun, memenangi balapan ini bukan misi utama yang diemban KRI Bima Suci. Selain menjadi wahana pelatihan para taruna AAL, KRI Bima Suci sejatinya adalah duta bangsa untuk memperkenalkan jati diri maritim bangsa Indonesia, sekaligus kekayaan budayanya.
Dan misi itu dijalankan dengan sukses. Decak kagum telontar di mana pun KRI Bima Suci bersandar, termasuk saat para taruna memainkan musik marching band dan berbagai atraksi kesenian. ”Kalian pasti sangat bangga memiliki duta seindah dan seanggun ini,” ucap Anna Wardley, warga Inggris yang ditemui di Vladivostok, Rusia.
Panitia SCF Far East Tall Ships Regatta 2018 pun menghadiahkan Trofi Persahabatan (Friendship Trophy) kepada KRI Bima Suci, sebagai kapal yang paling berkontribusi dalam mendorong persahabatan dan saling pemahaman antarbangsa pada acara ini.
Malam terakhir Kompas berada di KRI Bima Suci, Selasa (11/9/2018), bertepatan dengan digelarnya pesta cocktail di geladak kapal tersebut. Ini adalah acara rutin yang digelar oleh awak kapal di setiap pelabuhan yang disinggahi. Malam itu, seluruh awak kapal, taruna, dan para undangan dari panitia SCF Far East Tall Ships Regatta dan perwakilan kapal-kapal peserta diundang untuk berpesta merayakan persahabatan di lautan.
Tak peduli asal mereka, dari Rusia, Jepang, Korea Selatan, ataupun para penyelenggara berkebangsaan Inggris, berjoget bersama, bergoyang sambil berangkulan, saat vokalis di panggung mendendangkan, ”… Merah Putih teruslah kau berkibar… di ujung tiang tertinggi, di Indonesiaku ini….”
Malam itu kami tidak berada di Indonesia, tetapi di buritan KRI Bima Suci, selembar Merah Putih raksasa berkibar pelan dalam tiupan angin dingin Vladivostok. Ya, karena KRI Bima Suci adalah sepotong Indonesia yang menyebarkan kabar persahabatan ke seluruh dunia….
Penulis: Dahono Fitrianto | Fotografer: Dahono Fitrianto | Bahana Patria Gupta | Videografer: Dahono Fitrianto | Penyelaras Bahasa: Yohanes Adi Wiyanto | Videoeditor: A. Prahasta Wibowo | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata | Rafni Amanda | Infografik: Andri Reno | Produser: Haryo Damardono | Dahono Fitrianto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.