Laku Sunyi Sang Penari

Lengger tidak sekadar menari untuk menghibur. Pada zaman kolonial Belanda, lengger berperan sebagai mata-mata untuk Republik. Seorang penari lengger juga tidak sekadar menari pada hari H pertunjukan. Untuk memancarkan aura keindahan lewat gerak tariannya, seorang lengger harus setia menjalani laku tertentu. Apa saja itu?

Bumantara kelabu bergelayut, saat Pico (21) mempercepat langkah kakinya. Ia tak ingin derai rintik hujan yang mulai turun membasahi tubuhnya dalam perjalanan dari rumah menuju makam keramat, Senin (7/2/2022) pagi.

Sesampainya di makam terpencil yang berlokasi di tepi Desa Kalisube, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itu, pria yang bernama lengkap Pico Prasetyo ini meletakkan tas plastik berisi bermacam sesaji. Segera ia menyapu area dalam bangunan makam.

Bangunan itu berdinding tembok berukuran 3 meter x 2,5 meter dengan atap genteng. Di dalamnya terlihat sebuah makam tua, tempat bersemayam Mbah Kaleng, leluhur yang dihormati masyarakat di kawasan sekitar.

Sambil duduk bersila, Pico yang berbalut jarit mulai membakar kemenyan. Asapnya segera memenuhi ruangan makam. Seusai merapal doa, ia meraih kepulan asap dan mendekatkannya ke wajah, dengan gerakan seperti orang membasuh muka.

Ritual ziarah ke makam leluhur serta almarhum ibunya, rutin dijalani Pico setiap malam Selasa Kliwon dan Kamis Wage dalam penanggalan Jawa. Selama hari-hari itu, pria berambut sebahu ini juga berpantang makanan yang mengandung garam dan cabai.

Laku tersebut sudah dilakoni Pico sejak berusia 15 tahun, seusai memantapkan diri memilih jalan hidup sebagai penari lengger.

Pico adalah satu di antara sedikit penari lengger pria yang masih menjalani ritual seperti diajarkan para pendahulunya. Para pelaku seni lengger di kawasan Banyumas meyakini, ritual seperti dilakoni Pico tadi dapat memperkuat pancaran aura keindahan tari yang akan dibawakan.