Ironi Negeri Bahari
Kompas/DJ Pamoedji

Sejumlah perahu layar bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa pada Januari 1975.

Kompas/Wawan H Prabowo

Puluhan kapal nelayan tertambat di tepi Pantai Tanjung Kelayang, Belitung, Senin (13/6/2016).

Kompas/Bahana Patria Gupta

Kadet berdiri di tiang layar saat KRI Dewaruci, Surabaya, Selasa (13/8/2013). Pekerjaan membangun negara maritim yang kuat jelas tidak mudah.

Ironi Negeri Bahari

Tanggal 15 Januari, lima puluh lima tahun lalu, berkecamuk pertempuran Laut Aru. Armada kapal dan pesawat milik Belanda menyerang Kapal RI Matjan Tutul (nomor lambung 650), RI Matjan Kumbang (653), dan RI Harimau (654) milik Indonesia. Dalam pertempuran itu, KRI Matjan Tutul akhirnya tenggelam bersama Komodor Yos Sudarso dan sejumlah awak kapal lainnya.

Kekalahan Yos Sudarso kiranya sudah dapat diprediksi dari awal. Persenjataan armada laut Indonesia jelas lebih lemah dibandingkan armada laut Belanda. Apalagi, tiga kapal perang Indonesia itu juga harus menghadapi serangan udara pesawat-pesawat Belanda.

Namun, ketika itu Yos Sudarso berbekal perintah untuk membebaskan Irian Barat. Tentu saja, perintah itu tidak sebatas penguasaan terhadap daratan Irian Barat, tetapi juga perairan Irian Barat. Dan, sejak dulu, sejak zaman kerajaan-kerajaan, bangsa ini tak hanya menguasai daratan, tetapi juga lautan.

Dok Kompas
Sebelum KRI Matjan Tutul Tenggelam, melalui radio telefoni Komodor Yos Sudarso sempat mengkomandokan combat message "Kobarkan semangat pertempuran!". Pada pukul 21.35 KRI Matjan Tutul tenggelam 15 Januari 1962.

Kisah Yos Sudarso, yang diperingati sebagai Hari Dharma Samudera, seharusnya menginspirasi kita bahwa bangsa ini juga bangsa maritim. Lautan yang luas merupakan bagian dari negeri kita sehingga harus dijaga, bahkan dikelola, sehingga mendatangkan manfaat bagi anak negeri.

Dengan 70 persen wilayah berupa laut dan lebih dari 17.000 pulau, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menitikberatkan perhatian pada lautan. Sudah terlalu lama bagi negeri ini fokus di urusan daratan.

Poros Maritim

Untung saja, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya keberpihakan besar terhadap maritim. Selasa (22/7/2014) silam, Jokowi dan JK bahkan menyampaikan pidato kemenangan dalam Pemilihan Presiden 2014 di atas sebuah kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.

Pidato Presiden Jokowi saat pelantikan di Gedung MPR juga mengundang perhatian dunia. Laman Sydney Morning Herald, Senin (20/10/2014), membahas pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di MPR yang akan menjadikan Indonesia kekuatan maritim.

Sebelumnya, dalam wawancara dengan Fairfax Media, perusahaan induk SMH, Jokowi mengatakan, Indonesia akan memperkuat kedaulatan maritim dan menyinggung pelanggaran perbatasan yang dilakukan kapal Angkatan Laut Australia saat mengirim kembali imigran ilegal ke perairan Indonesia.

Komitmen Presiden Jokowi terhadap dunia maritim juga disampaikan kepada komunitas internasional. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-9 East Asia Summit tanggal 13 November 2014 di Naypyidaw, Myanmar, Presiden Jokowi menegaskan konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

"Satu per satu kapal nelayan ilegal, terutama kapal nelayan asing, ditenggelamkan ke dasar samudra"

Konsep tersebut akan diwujudkan melalui lima hal, yakni membangun kembali budaya maritim Indonesia; menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut; memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim; menerapkan diplomasi maritim; serta membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Sebelum era Jokowi, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebenarnya pernah membentuk Dewan Maritim Indonesia. Pembentukan Dewan Maritim Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 161 Tahun 1999, dengan diketuai langsung oleh presiden. Sementara itu, ketua harian yang juga merangkap anggota adalah Menteri Negara Eksplorasi Laut Sarwono Kusumaatmadja.

Meski demikian, harus diakui keberpihakan pemerintahan Jokowi terhadap kelautan benar-benar dahsyat. Yang tidak kalah garang adalah tampilnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Satu per satu kapal nelayan ilegal, terutama kapal nelayan asing, ditenggelamkan ke dasar samudra.

Senin (22/2/2016) pagi, Menteri Susi secara simbolis memimpin penenggelaman 31 kapal ikan ilegal. Sebelumnya, sepanjang Oktober 2014-Desember 2015, pemerintah menenggelamkan 121 kapal ilegal yang terdiri dari 12 kapal asal Malaysia, 36 kapal asal Filipina, 1 kapal asal Tiongkok, dan 21 kapal asal Thailand. Selain itu, turut ditenggelamkan 39 kapal asal Vietnam, 2 kapal asal Papua Niugini, dan 10 kapal Indonesia.

”Komitmen pemerintah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan Poros Maritim Dunia butuh ketegasan dalam pemberantasan perikanan ilegal,” kata Menteri Susi yang mengaku diberi arahan oleh Presiden Joko Widodo untuk memberikan efek jera kepada pelaku perikanan ilegal.

Menjadi Bangsa Bahari

Bangsa ini jelas harus berpikir besar dan melangkah lebar jika ingin mewujudkan kembali dirinya menjadi bangsa maritim. ”Jangan jadi kuli,” kata-kata itu pun kerap diungkapkan oleh Menteri Susi.

”Daripada di luar negeri menjadi anak buah kapal milik asing, lulusan dari kelautan dan perikanan sebaiknya tinggal di dalam negeri. Bangun di dalam negeri, tingkatkan kehidupan nelayan. Lulusan terbaik di negeri ini kami prioritaskan untuk mengisi sumber daya manusia di Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Susi (Kompas, 27/8/2016).

Menurut Susi, ada sekitar 460.000 anak buah kapal asal Indonesia yang bekerja di luar negeri. Diperkirakan lebih banyak lagi anak buah kapal yang tak terdata karena bekerja ilegal. Para anak buah kapal tersebut kebanyakan bekerja di kapal ikan asing.

Supaya anak bangsa ini tidak menjadi kuli, tentu ada banyak hal harus dikerjakan, di antaranya memperkuat kompetensi lulusan pendidikan vokasi bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan kebijakan pemerintah serta perkembangan zaman.

Setiap tahun sebenarnya pendidikan vokasi kelautan dan perikanan menghasilkan sekitar 1.700 lulusan. Meski demikian, belum tentu lulusannya dapat memenuhi kebutuhan pasar. Lulusan sekolah perikanan juga idealnya membuka lapangan pekerjaan.

Kompas/Agus Susanto
Petambak garam tradisional di Manyar, Gresik, Jawa Timur, Minggu (24/8/2014). Garam adalah komoditas kelautan yang selayaknya menjadi unggulan negeri bahari dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi.
Kompas/Totok Wijayanto
Ribuan ton ikan impor cakalang dan baby tuna dibongkar dari kapal Xin Rui di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta, Rabu (15/6/2016). Pemerintah mengizinkan impor ikan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan yang menipis.

Negeri ini memang ironis. Panjang garis pantainya nomor dua terpanjang di dunia, tetapi masih mengimpor garam. Indonesia bahkan membuka keran impor sejumlah produk perikanan seperti udang, ikan kembung, dan ikan teri.

Impor dimudahkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, yang selanjutnya direvisi melalui Permendag No 94/2015 tentang Perubahan Permendag No 87/2015.

Benarkah negara maritim ini membutuhkan impor produk perikanan?

Bukankah masuknya impor ikan teri dan ikan kembung—apalagi impor yang ilegal—dapat mengancam pasar lokal? Tidak ditanggulanginya impor ikan ilegal jelas akan memukul pendapatan nelayan lokal.

Memanfaatkan Asas ”Cabotage”

Secara de jure, melalui asas cabotage, perairan Indonesia untungnya sudah ”dikuasai” oleh kapal berbendera Indonesia. Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional telah melandasi pemberlakuan asas cabotage secara konsekuen.

Kehadiran Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pun kembali memberikan penegasan, yakni kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Kapal asing juga dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia (Pasal 8 Ayat 2). Kapal asing yang masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama tiga tahun sejak undang-undang ini berlaku, yakni hingga 7 Mei 2011 (Pasal 341).

Jadi, sudah jelas bahwa bangsa ini menjadi tuan di perairan Nusantara. Seluruh feri, bahkan kapal ikan, yang beroperasi di perairan Indonesia jelas harus dimiliki bangsa ini sendiri. Tidak ada lagi tantangan dari kapal-kapal asing yang pernah begitu merajalela di perairan kita.

Tentu saja, lautan yang luas takkan banyak artinya ketika kita sekadar memproklamirkan keberadaan asas cabotage. Bangsa ini harus kembali hilir-mudik alias sibuk di perairan. Bukan sekadar pelesiran, tetapi membangun industri kelautan.

Kabar baik untungnya terdengar ketika Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sudah berkomitmen untuk membangun kapal. Persoalannya kini terletak pada ketersediaan pendanaan yang bergantung pada lembaga-lembaga pembiayaan.

Hitung saja berapa dana yang dibutuhkan Kadin untuk membangun 500 unit hingga 1.000 unit kapal ikan berukuran 200 gros ton. Apalagi ketika biaya investasi per kapal dihitung sekitar Rp 10 miliar per unit (Kompas, 9/10/2015).

Walau demikian, urusan laut tidak sekadar urusan pengangkutan. Ada begitu banyak hal yang harus diurus, dikelola, dioptimalkan, dan dibangun.

Laksana Lahan Tidur

Tahun 1999, ada sebuah artikel di Kompas berjudul ”Lautnya Masih seperti Lahan Tidur”. Padahal, kata Bonar P Pasaribu, pengajar pada Institut Pertanian Bogor yang menjadi salah seorang narasumber di artikel itu, setidaknya ada enam jenis industri yang dapat dikembangkan di laut.

Mereka adalah industri perikanan, pariwisata bahari, industri perkapalan, transportasi laut, industri pertambangan, dan industri permukiman laut. Tentu saja, sudah ada rintisan-rintisan untuk menggerakkan industri tersebut meski belum optimal.

Karena ketidaktahuan kita, kata Bonar, ada satu jenis ikan merah yang ditangkap dari perairan dalam dekat Pulau Misol (lebih kurang 100 mil barat-daya Sorong). Harga per kilogram ikan tersebut di Jepang mencapai Rp 250.000 (dengan kurs rupiah waktu itu) walau di Pulau Misol hanya dihargai Rp 8.000 per kilogram. Nah, jadi siapa yang menikmati laba Rp 240.000 per kilogram?

Penangkapan ikan di Pulau Misol mengajarkan kita bahwa lautan Indonesia laksana lahan tidur. Kita lemah dalam mengoptimalkan penangkapan ikan, apalagi dalam membudidayakan ikan di perairan Indonesia.

Kompas/Lasti Kurnia
Kelompok ikan kakap bergaris biru melintas di depan penyelam di perairan Pulau Mioskon, Raja Ampat, Irian Jaya Barat, Senin (5/5/2008). Kekayaan laut Indonesia sangat melimpah.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Ikan hasil tangkapan nelayan yang telah dikelompkkan dan siap dilelang di Pelabuhan Perikanan Bulu, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban, Sabtu (30/5/2015).

Lihat saja pantai-pantai kita yang tidak diberdayakan. Padahal, pantai-pantai itu sangat layak untuk menjadi lahan budidaya rumput laut. Hasil dari pengolahan rumput laut itu pun dapat diekspor ke banyak negara.

Industri maritim, atau setidaknya berkembangnya usaha nelayan, juga bergantung pada ketersediaan listrik. Dibutuhkan suplai listrik yang memadai untuk menjalankan pabrik es. Dengan demikian, rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik sebesar 35.000 megawatt harus segera diwujudkan.

Tanpa keberadaan pabrik es, yang merupakan bagian dari cold chain system, nilai ekonomis hasil laut kita takkan optimal. Ikan dari laut Indonesia segera busuk oleh cuaca panas di negeri khatulistiwa ini dan justru lebih banyak ikan yang terbuang.

Terbuangnya hasil laut jelas mengenaskan di tengah konsumsi protein yang rendah di negeri ini. Bukankah menyedihkan ketika ada ikan yang busuk dan harus terbuang ketika sebagian warga lainnya hanya dapat makan nasi putih.

Laut bahkan idealnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan energi bagi nelayan, karena potensi listrik yang dapat dihasilkan dari tenaga arus laut di Indonesia mencapai 17.000 megawatt.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah meminta Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, membuat pembangkit listrik tenaga arus laut. Pembangkit listrik tersebut akan mulai diuji coba di Nusa Penida, Bali, tahun 2017 (Kompas, 4/11/2015).

Ringkas kata, membicarakan pembangunan kemaritiman jelas mudah. Menengok ke belakang serta mengenang kebesaran armada maritim Majapahit dan Sriwijaya juga sangat menyenangkan. Namun, pekerjaan untuk membangun negara dengan sektor maritim yang kuat jelas tidak mudah.

Kerabat Kerja

Penulis: Haryo Damardono | Fotografer/Videografer: Rony Ariyanto Nugroho, Wawan H Prabowo, DJ Pamoedji, Agus Susanto, Totok Wijayanto, Lasti Kurnia, Bahana Patria Gupta | Infografik: Novan Nugrahadi, Luhur Arsiyanto Putro | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yosef Yudha Wijaya | Produser: Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.