Putri Dobonsolo bagaikan ibu yang melahirkan para pembatik di Papua, khususnya Jayapura. Selama 25 tahun terakhir, dari ”rahim”-nya lahir tidak kurang dari 1.000 pembatik berkat dukungan ketekunan Mama Ibo.
Mariana Ibo Pulanda (78) alias Mama Ibo adalah perintis Putri Dobonsolo, sanggar dan sekaligus tempat produksi batik yang berlokasi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Sayangnya, tidak banyak yang kemudian meneruskan jalan Mama Ibo untuk menjadi pembatik. Mahalnya bahan baku menjadi kendala.
Putri Dobonsolo menempati bangunan dua lantai. Lantai satunya yang seluas 10 x 6 meter persegi digunakan sebagai pusat pelatihan dan pembuatan batik tulis. Sementara lantai dua berfungsi sebagai galeri yang menampilkan kain-kain batik produksi kelompok Putri Dobonsolo.
Putri Dobonsolo lahir tahun 1999. Lima tahun sebelumnya, Mama Ibo belajar membatik langsung di Yogyakarta sebagai bekal memulai usaha batik di Sentani. Sebenarnya, Mama Ibo telah mengenal kain batik sejak 1962 dari sejumlah dosen Yogyakarta yang datang ke Waena, Kota Jayapura, atas fasilitasi Pemerintah Provinsi Papua. Masyarakat Papua saat itu masih awam dengan batik dan membatik.
”Pertama kali saya melihat kain batik dari Jawa ada perasaan takjub. Saya ingin Papua bisa mempunyai motif batik yang digali dari kebudayaan masyarakat sehari-hari,” ujar Mama Ibo.
Sejak saat itu, Mama Ibo hanya bisa memendam rasa penasarannya bertahun-tahun. Kesempatan untuk belajar membatik baru terwujud pada 1991. Tahun itu, Pemerintah Provinsi Papua mendatangkan sejumlah pembatik dari Yogyakarta. Mama Ibo bersama 14 perempuan lainnya dari sejumlah kabupaten mengikuti pelatihan membatik.
Sayangnya, pelatihan itu tidak berjalan optimal karena salah satu mentor tidak bersedia memberikan materi campuran bahan untuk mewarnai batik. Mama Ibo sempat kecewa. Namun, hal itu tidak mengurangi tekadnya untuk terus belajar membatik.