Magisnya Candi Tebing Gunung Kawi

Candi Tebing Gunung Kawi, yang berlokasi di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-11 Masehi masa Dinasti Warmadewa berkuasa di Bali. Candi Tebing Gunung Kawi unik karena candi tidak dibangun atau disusun dari bangunan batu, tetapi dipahat langsung pada dinding tebing batu padas. Begitu pula ceruk pada tebing. Secara keseluruhan, terdapat 10 candi, yang berada di tiga gugus candi, yakni Candi V, Candi IX, dan Candi I atau dikenal juga sebagai Candi X.

Pada prasasti, yang dipasang menjelang pintu gerbang Candi Tebing Gunung Kawi, Tampaksiring, dituliskan kompleks candi tersebut adalah pedharman atau tempat pemujaan dan penghormatan bagi Raja Udayana dan kerabat kerajaan, yang pembangunannya dimulai pada masa Raja Marakata dan diselesaikan pada masa Raja Anak Wungsu. Raja Marakata dan Raja Anak Wungsu merupakan putra Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa.

Kompas/Iwan Setiyawan
Kompleks Candi tebing Gunung Kawi di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (8/10/2011), yang dibangun pada abad ke-11 mengapit Sungai Pakerisan. Candi ini dipahat pada tebing batuan vulkanik dan difungsikan sebagai tempat pemujaan dan petirtan.

Candi Tebing Gunung Kawi juga menjadi obyek wisata di Kabupaten Gianyar, Bali. Wisatawan yang ingin menyaksikan kemegahan Candi Tebing Gunung Kawi berikut kompleks pura, atau tempat suci umat Hindu, yang berada di kawasan Candi Tebing Gunung Kawi membayar retribusi Rp 30.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 50.000 bagi wisatawan mancanegara.

Untuk mencapai gerbang dalam kompleks candi, pengunjung menuruni lebih dari 250 undakan, mulai dari gerbang masuk kawasan Candi Tebing Gunung Kawi. Karena di kompleks Candi Tebing Gunung Kawi terdapat pura, yang merupakan tempat suci, setiap pengunjung yang akan memasuki obyek wisata tersebut diwajibkan memakai kain dan selendang. Meskipun tidak membawa kain dan selendang, tidak perlu khawatir karena kain dan selendang juga dipinjamkan di lokasi dengan membayar donasi.

Pemimpin upacara di pura Candi Tebing Gunung Kawi, Jero Mangku Ketut Wirawan (48), mengungkapkan, kawasan Candi Tebing Gunung Kawi berikut kompleks pura di dalamnya juga dipelihara dan dipergunakan masyarakat setempat. Pujawali atau upacara keagamaan memperingati masa berdirinya pura di Pura Gunung Kawi dilangsungkan setiap purnama ketiga dalam perhitungan kalender Bali, yakni antara Agustus dan September dalam kalender Masehi.

Krama pengarep (warga inti) pengampu pura sebanyak 66 kepala keluarga di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring. Adapun jumlah krama (warga) yang terlibat mencapai 300 orang,” kata Jero Wirawan, Senin (13/6/2022). Jero Wirawan menyebutkan, keberadaan Candi Tebing Gunung Kawi sebagai obyek wisata juga menjadi sumber pendapatan bagi banjar, yang dananya dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan upacara pujawali ataupun perayaan hari Hindu lainnya di pura tersebut. ”Kami mendapat bagi hasil dari penjualan tiket,” ujar Jero Wirawan.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
Keterangan mengenai Candi Tebing Gunung Kawi diterakan pada prasasti, yang diletakkan di sekitar loket tiket Candi Tebing Gunung Kawi, Gianyar. Candi Tebing Gunung Kawi merupakan pedharman atau tempat pemujaan dan penghormatan bagi Raja Udayana dan kerabat kerajaan, yang berasal dari masa kerajaan Bali abad ke-11 Masehi.