Perubahan zaman membuat tradisi dan ikatan warga Minangkabau di pinggiran kota kian rentan tergerus, termasuk di Banda Luruih. Malamang sakampuang atau membuat lemang bersama-sama satu kampung pun jadi wadah bagi warga di kawasan pinggir Kota Padang ini untuk merawat tradisi dan keakraban.
Arnita (48) memutar satu per satu tabung bambu yang berdiri dekat tungku di hadapannya. Matanya kerap memicing dan dahi mengernyit menghadapi asap dan bara api yang menyengat. Sesekali tangannya menyeka air mata dan butiran keringat di wajah.
Beberapa warga lainnya, baik perempuan maupun laki-laki, juga melakukan hal serupa. Beberapa laki-laki tampak juga menambahkan kayu dan sabut kelapa ke dalam tungku dan mengaturnya dengan galah agar api menyala maksimal dan merata.
”Lamang ini dimasak sekitar empat jam. Kira-kira akan masak sekitar pukul 14.00,” kata perempuan yang karib disapa Ita ini di sela-sela memasak lemang di Banda Luruih, Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Baca juga: ”Lamang” dan Tradisi ”Manjalang Mintuo”
Selain membuat lemang, acara malamang sakampuang tahun ini juga diisi dengan penampilan musik gambus pada siang dan sore. Kemudian, malam hari, ada penampilan salawat dulang, salah satu sastra lisan Minangkabau.
Lemang dipanggang di hadapan dua deret tungku di pinggir kebun dekat pos pemuda dan pekarangan Masjid Al Furqon. Tabung-tabung lemang disusun berjejer dua baris, tiap tungku berbahan bakar kayu dan sabut kelapa.