Pada paruh akhir 1800-an, Praja Mangkunegaran di Surakarta mencapai masa keemasan dengan berkembangnya seni budaya, militer, hingga bisnis yang ditunjang berbagai pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan perumahan sewa.
Pada paruh akhir 1800-an, Praja Mangkunegaran di Surakarta mencapai masa keemasan dengan berkembangnya seni budaya, militer, hingga bisnis yang ditunjang berbagai pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan perumahan sewa.
Kadipaten Mangkunegaran merupakan wilayah Swapraja atau pemerintahan sendiri yang disebut Vorstenlanden pada zaman penjajahan Hindia Belanda, bersama dengan wilayah Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman di Yogyakarta. Status kadipaten tersebut merupakan wilayah yang dipimpin pangeran atau kepangeranan, seperti Kadipaten Luxemburg dan Kadipaten Monaco di Eropa.
Wilayah Kadipaten Mangkunegaran mencakup area sebelah utara Kota Surakarta yang modern dan kerap disebut lor rel atau sebelah utara rel kereta di Jalan Slamet Riyadi yang membelah Kota Solo. Wilayah itu kini masuk Kecamatan Banjarsari.
Wilayah Mangkunegara lainnya adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, ditambah wilayah Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul yang sekarang masuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
W.E. Soetomo Siswokartono dalam buku Sri Mangkunegara IV sebagai Pujangga dan Penguasa mengungkapkan karya monumental pembangunan fisik pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara IV (1853–1881).
Beberapa di antaranya adalah Pabrik Gula Colomadu, Pabrik Gula Tasikmadu, Bendungan Tirta Swara, Bendungan Tambak Agung, pendopo Pura Mangkunegaran yang merupakan pendopo terbesar di Indonesia, dan berbagai gedung dan kompleks ”real estate” Mangkunegaran di Kota Semarang.
Pabrik Gula Colomadu yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar dibangun pada 8 Desember 1861. Pabrik itu kini menjadi museum dan balai pertunjukan yang dikelola Kementerian BUMN.
Pabrik Gula Tasikmadu yang berada di wilayah Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, dibangun pada 11 Juni 1871. Pada zamannya, mesin pabrik gula di sini menjadi proyek percontohan karena digerakkan dengan tenaga air.
Sebuah gerbong khusus yang diimpor dari Paris, Perancis, dibeli Mangkunegara IV dan kemudian digandengkan dengan lokomotif uap. Gerbong tersebut digunakan untuk meninjau perkebunan tebu serta wilayah Mangkunegaran dan sekitarnya. Gerbong mewah itu kini dipajang di kompleks Pabrik Gula Tasikmadu.
Pada tahun 1880 dibangun pabrik pengolahan nila (indigo). Komoditas indigo yang diekspor ke Eropa sudah dibudidayakan sejak awal pendirian Pura Mangkunegaran tahun 1757 atau zaman KGPAA Mangkunegara I.
Mangkunegara IV adalah bangsawan Jawa pertama yang mengambil inisiatif untuk ikut terjun dalam bisnis gula yang mencakup kebun tebu dan pabrik gula.