“...Dan kamu daripada Korps Komando Angkatan Laut, telah menyabungkan jiwa ragamu dan beberapa kawan daripadamu, telah gugur di medan pertempuran, tak lain tak bukan, pada hakekatnya ialah untuk membela dan menegakkan sesuatu ide.” — Pidato Bung Karno pada 15 November 1959 saat menyerahkan Panji Unggul Jaya kepada KKO ALRI, kini Korps Marinir TNI Angkatan Laut.
K orps Marinir adalah satu-satunya satuan TNI di bawah organisasi matra yang memiliki panji setara dengan matra TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), panji berarti ‘bendera (terutama yang berbentuk segitiga memanjang); tanda kebesaran; dan naungan (dilindungi oleh)’. Korps Marinir adalah satuan tempur TNI di bawah matra yang lahir menyusul Revolusi Kemerdekaan RI, yakni 15 November 1945.
Komandan Korps Marinir TNI AL Mayjen TNI Marinir Bambang Suswantono menegaskan, hanya Korps Marinir-lah satuan dengan keistimewaan yang memiliki panji tersendiri. Selain itu, panji hanya dimiliki matra TNI, yakni Darat, Laut, dan Udara. ‘Panji disimpan di Mako Kwitang dan setiap menjelang HUT Marinir ada upacara khusus untuk Panji Marinir di Pantai Ngliyep, Jawa Timur,” kata Bambang.
Korps Marinir aktif sejak awal Revolusi Kemerdekaan 1945-1950. Kesatuan ini juga menghadapi sejumlah pemberontakan di dalam negeri tahun 1950 dan 1960-an oleh kelompok kiri PKI dan PGRS Paraku hingga kelompok kanan, seperti DI-TII dan kelompok separatis PRRI-Permesta. Marinir juga bertempur dalam Operasi Seroja di Timor-Timur tahun 1975.
Salah satu prestasi puncaknya adalah meredam emosi massa pengunjuk rasa di sejumlah kota pada zaman Reformasi 1998 hingga awal 2000. Dalam situasi kritis tak menentu, Korps Marinir selalu tampil mendukung keutuhan negara.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menjelaskan keistimewaan Korps Marinir di era Orde Lama dan Orde Baru sehingga mempunyai citra positif di masyarakat saat ini. Ia mengatakan, pada masa Orde Lama, ada berbagai kubu politik, termasuk elemen militer, terutama faksi Angkatan Darat, yang berpolitik. Sebagai penyeimbang, Bung Karno pun merangkul kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta perwira menengah Angkatan Darat.
”Pasukan terbesar yang dianggap netral adalah KKO ALRI (Korps Komando Angkatan Laut Republik Indonesia, nama lama TNI AL). Semasa itu, masing-masing matra TNI memiliki menteri sendiri-sendiri sebagai penyeimbang,” ujar Al Araf.
Keberhasilan menunaikan berbagai operasi di masa kritis menghadapi pemberontakan dan pergulatan politik itu, menurut Al Araf, membuat Korps Marinir dianugerahi Panji Unggul Jaya. Selanjutnya, pada zaman Orde Baru pun, Marinir tetap memiliki citra positif karena dukungan utama militer di era Soeharto masih dipusatkan pada Angkatan Darat meski juga merangkul dukungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Citra netral dan tidak terlibat dalam pertarungan kekuasaan itulah, lanjut Al Araf, yang menjadi modal sosial bagi Marinir sehingga secara umum menjadi sosok yang dekat dengan rakyat dan tidak bermain-main kekuasaan. Secara global pun, Korps Marinir di sejumlah negara di dunia memiliki citra positif dan ada semangat “Marine Brotherhood”, sesama Marinir adalah saudara di masa damai di seluruh dunia.
Memasuki peringatan HUT ke-72 Korps Marinir, 15 November 2017, di sejumlah acara besar yang digelar di Jakarta dan Surabaya, Korps Marinir juga mendatangi para sesepuh. Salah satunya, Serda Marinir (Purn) Sulawi, mantan anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian mengabdi sebagai KKO di masa perang kemerdekaan hingga Operasi Seroja tahun 1975. Rumah Sulawi yang hampir roboh di Desa Kedungturi, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, diperbaiki tim Korps Marinir pada 11 November 2017.
Sulawi pernah memimpin 30 prajurit Marinir dalam pendaratan di Dili, Timor-Timur, tahun 1975. Perbaikan rumah tersebut merupakan perhatian dan tanda kasih bagi para pendahulu dan pejuang Korps Marinir.
Semasa Operasi Seroja, tercatat berbagai drama yang dialami Marinir, misalnya dalam persiapan pendaratan pasukan di muara Sungai Komoro, sebelah barat Dili, pada 6 Desember 1975 pukul 19.00 WIT. Tim intai dan penyiapan petak pendaratan beranggotakan enam personel Marinir berangkat dengan perahu karet.
Selanjutnya, empat Marinir, yakni Pelda Mar (Anm) Slamet Priyono, Serma Mar (Anm) Soetardi, Kopda Mar Soeyono, dan Serda Mar Nurkamid, diturunkan di laut dengan bekal pelampung, pisau, sepasang granat tangan, arloji dan kompas bawah air,fin atau kaki katak, masker, serta baterai isyarat.
Pukul 01.30 pada 7 Desember 1975, mereka mendarat di pantai dekat muara Komoro. Mereka urung memasang patok pendaratan karena aktifnya patroli musuh. Namun, pantai sepanjang 5 kilometer itu dinilai layak untuk didarati kendaraan amfibi danbeaching (mendarat langsung di pantai) kapal-kapal LST (landing ship tank) TNI AL. Tim intai tersebut pun kembali ke laut menuju titik penjemputan pukul 03.30 WIT. Setelah itu, mulailah kapal-kapal perang TNI AL membombardir pantai pendaratan.
Pasukan pendarat pun bergerak masuk ke pantai di Komoro dan armada pesawat Hercules C-130 TNI AU menerjunkan pasukan Para di Kota Dili. Tim intai bermaksud berenang ke arah Dili, tempat kapal-kapal TNI AL lego jangkar, berjarak sekitar 3,5 kilometer. Arus laut memang semula bergerak dari barat, Komoro, ke timur, Dili. Ternyata, menjelang pagi arus berbalik dan mereka hanyut ke arah Liquica atau 25 kilometer barat Dili. Daerah tersebut masih dikuasai musuh sehingga mereka menghindari merapat ke pantai.
Menjelang pukul 11.00 WIT, dalam kondisi lelah, tim intai mengambil keputusan berenang ke arah Pulau Atauro (Pulau Kambing) yang terletak di utara Dili. Mereka berada 10 kilometer terapung-apung di perairan antara Dili dan Atauro, dan di sebelah barat mereka terdapat Pulau Alor wilayah Indonesia.
Anggota tim intai sempat gembira melihat pesawat Dakota DC-3 TNI AU terbang di atas mereka yang diperkirakan sebagai tim SAR. Ternyata, pesawat tersebut tidak melihat mereka dan terus melintas.
Menjelang pukul 15.00 WIT, tim intai masih terapung-apung di tengah laut antara Atauro dan Alor. Melihat Atauro masih dikuasai pihak Portugis, diputuskan untuk berenang ke arah Pulau Alor. Mereka sudah lebih dari 15 jam berada di air, kelelahan, terbakar matahari, dan mulai kedinginan. Cara beristirahat di tengah lautan adalah dengan memikul kaki dan saling bergandengan serta telentang dengan ditopang pelampung. Dalam kondisi fisik yang sudah menurun, paling lama mereka beristirahat 10 menit, lalu terbangun.
Posisi mereka sekitar timur laut Pulau Alor dan mulai berenang ke arah barat daya dengan pertimbangan kalau terbawa arus di timur Alor, mereka akan hanyut ke sisi ujung timur laut pulau. Menjelang pukul 16.00 WIT pada 8 Desember 1975, terlihat bayang-bayang Pulau Alor, Slamet Priyono dan Soetardi memutuskan berenang lebih dulu karena dianggap memiliki fisik lebih kuat, meninggalkan Nurkamid dan Soeyono untuk mencari bantuan.
Mereka pun berpisah. Soeyono dan Nurkamid mulai mengalami halusinasi dan melalui tengah malam, masuk hari ketiga, 9 Desember 1975 pagi masih di laut. Mereka merasa melihat lampu-lampu memberi sinyal yang dikira berasal dari penduduk di timur Pulau Alor. Pukul 08.00 WIT, mereka mulai melihat pucuk kelapa di Pulau Alor. Dengan sisa tenaga, mereka berenang ke sana dan terdampar di pantai Peitoko di Pulau Alor pukul 12.15 WIT.
Mereka berjalan kaki 4 kilometer ke kampung terdekat meski mereka justru nyaris dibunuh karena dikira Fretilin. Akhirnya, mereka diselamatkan setelah lebih dari 36 jam di laut dan kembali ke induk pasukan. Akan tetapi, mereka justru kehilangan dua rekan, yakni Pelda Slamet Priyono dan Serma Soetardi, yang terlebih dahulu berenang menuju daratan.
KKO pada 1963-1966 juga aktif terlibat konfrontasi Ganyang Malaysia melawan kekuatan militer Persemakmuran Inggris, seperti SAS dan Gurkha.
Sejarawan Hendi Jo mengisahkan, di beberapa wilayah, pasukan KKO menempati lokasi berseberangan dengan pasukan Inggris dan hampir tiap hari terlibat baku ejek, tetapi tidak sampai terlibat kontak senjata langsung.
Meski tidak pernah terjadi pertempuran dahsyat melibatkan satuan-satuan besar dalam jangka waktu lama, terjadi berbagai pertempuran di sejumlah tempat di Sumatera dan Kalimantan. Pertempuran itu melibatkan KKO, bahkan pasukan KKO kerap menyusup ke daerah lawan.
Salah satu peninggalan era tersebut adalah monumen dengan nama-nama prajurit KKO yang gugur dalam kurun waktu 1963-1966 di dekat Alun-alun Nunukan, Kalimantan Utara.
Buku Ensiklopedia Marinir Periode 1961 – 1970 mencatat penempatan Brigade Pendarat (Brigrat) I di Tarakan, Nunukan, Sebatik, serta di hulu Sungai Siglayan dan Pembeliangan. Kedatangan satgas diawali dengan pendaratan 530 anggota pasukan pada 2 Oktober 1963 di Tarakan, kemudian disebar ke pos-pos kecil pada 14 Oktober 1963.
Tim KKO yang dikirim pada Desember 1963 berhasil menyusup ke Sabah dengan sasaran Lahad Datu di pantai timur Sabah. Lokasinya di utara kota Tawau yang memiliki banyak penduduk keturunan Indonesia.
Karena kehabisan logistik, tim mengalihkan perjalanan ke Kalabakan di sebelah barat kota Tawau. Pada 30 Desember 1963, mereka menyerang pos Inggris di kota itu. Delapan orang lawan meninggal dan 38 orang luka-luka. Dari pihak KKO, Prajurit Gabriel gugur dalam pertempuran.
Selanjutnya, dalam Operasi Jaya Cakti, KKO menyusup ke Sabah di Sungai Apas dan Sungai Gading pada 26 November 1965. KKO juga menangkap penyusupan lawan di perairan Pulau Bunyu.
Sebelumnya, sebagian pasukan dikirim ke Kepulauan Riau. KKO dari Sub-Basis X berada di Pulau Sambu dan Pulau Rengat dengan sasaran Singapura. KKO Sub-Basis T berpangkalan di Pulau Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, dan Selangor. Adapun Sub-Basis Y di Tanjung Balai, Karimun, dengan sasaran Johor, dan terakhir Sub-Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
KKO kemudian terlibat kontak senjata melawan kapal patroli Malaysia, Sri Selangor, pada 24 Juli 1964. Dan, pada peringatan HUT RI 17 Agustus 1964, KKO menggelar Operasi Pontian dengan menyerang Johor menggunakan tiga tim, dengan sasaran Ayer Boley, Pontian Besar, Kukup, dan Gunung Pulai.
Meski sejumlah prajurit KKO gugur dalam Operasi Pontian, Inggris dikejutkan oleh keberhasilan serangan ini yang dilakukan dengan menyeberangi Selat Malaka.
Prajurit KKO, Sersan Dua Djanatin alias Usman bin Haji Muhammad Ali, Kopral Satu Tohir alias Harun bin Said, dan Gani bin Aroep, pada 9 Maret 1965 juga melakukan serangan bom di MacDonald House di Orchard Road di jantung Singapura. Singapura heboh karena merasa telah memiliki penjagaan keamanan ketat.
Berbagai kisah prajurit KKO dalam Operasi Dwikora juga layak dikenang. Serma Mar (Purn) Djoni Liem (83) asal Surabaya, misalnya, pernah bertahan tiga bulan dalam hutan di Malaysia setelah lolos dari kejaran musuh. Akhirnya, Djoni tertangkap dan ditahan selama tiga tahun di Malaysia.
Djoni juga terkenal dengan julukan “Semburan Mulut Berbisa”. Sebab, dengan kekuatan napas dari mulutnya, dia dapat menembakan jarum dan mata pancing hingga lebih dari 10 meter untuk melumpuhkan sasaran.
Dia bersama para pensiunan Marinir masih aktif berkumpul, danKompas pernah berjumpa beberapa kali dengannya di Bumi Marinir Cilandak, Jakarta.
Komandan Korps Marinir Mayjen Bambang Suswantono menjelaskan, dalam era demokrasi dan supremasi hukum saat ini, Marinir memperkuat profesionalitasnya. Marinir juga menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Ketika ada usulan pengembangan Pasukan Marinir (Pasmar) 3, ujar Bambang, pihaknya siap untuk mengisi posisi Pasmar 3 yang direncanakan ada di Sorong, Papua Barat. “Tentu kami siap mengikuti kebijakan di atas dari Mabes TNI. Marinir selalu siap,” kata Bambang.
Bagan Organisasi Marinir
Selain itu, Marinir siap mendukung pertahanan Indonesia menghadapi ancaman dan dinamika geopolitik, seperti persoalan di Laut China Selatan dan Laut Sulu.
Dalam beberapa tahun terakhir, satuan-satuan Korps Marinir juga aktif dalam menjaga kelestarian terumbu karang dan pesisir pantai yang menjadi sumber pangan dan perikanan yang bernilai strategis bagi kepentingan nasional.
“Intinya, profesional dan tetap dicintai rakyat Indonesia serta memberikan yang terbaik. Kita akan tumbuh dengan proyeksi mencapai 35.000 prajurit dalam 10 tahun ke depan,” lanjutnya.
Jumlah Personel
Untuk unjuk kekuatan, pada akhir Desember nanti, Marinir akan menggelar renang lintas Selat Sunda berjarak 39 kilometer. Renang lintas Selat Sunda itu sangat menantang.
“Jarak Batam-Singapura saja hanya 15 kilometer,” kata Bambang. Dengan mampu berenang hingga 39 kilometer, artinya Marinir pun dapat berenang dari Batam sampai Johor di Malaysia.
Pasukan yang berenang menyusup itu jelas sulit dideteksi dengan radar. Itulah salah satu kelebihan Marinir TNI AL yang memiliki semboyan Jalesu Bhumyamca Jayamahe – Di Laut dan Darat Selalu Jaya. Dirgahayu Korps Marinir...!
Perlengkapan Marinir
Penulis: Iwan Santosa | Penyelaras Bahasa: Priskilia Bintang Sitompul | Fotografer: Bahana Patria Gupta, Iwan Setiyawan, Wisnu Widiantoro, Eddy Hasby, Heru Sri Kumoro, Agus Sutanto, Pat Hendranto, Purnama Kusumaningrat, Adrian Fajriansyah, ”Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL periode 1971-1980” | Infografik: Adinda Pradista Cyntia, Maria Karina Putri | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Rafni Amanda | Produser: Dahono Fitrianto, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.