Gurih dan bikin nagih. Itulah mendoan khas Banyumas yang baru saja ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada akhir Oktober 2021. Upaya pelestarian perlu terus dilakukan agar tidak sekadar berhenti pada status, tetapi kian menjadi kebanggaan yang menghidupkan.
Mendoan adalah tempe tipis berbalut tepung berbumbu yang digoreng setengah matang (mendo). Itu sebabnya, disebut mendoan. Dengan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, diharapkan mendoan lebih dikenal luas dan dinikmati masyarakat.
Mendoan telah menjadi ikon kuliner Banyumas. Tak heran, jika makanan ini menjadi salah satu yang diburu oleh mereka yang datang atau sekadar singgah di Banyumas.
Seperti terlihat di sentra oleh-oleh khas Banyumas di kawasan Sawangan, Jalan Jenderal Sutoyo, Purwokerto. Berlokasi di simpang tiga antara Stasiun Purwokerto dan Alun-alun Purwokerto, kawasan ini tak pernah sepi pengunjung yang mencari oleh-oleh khas Banyumas, termasuk mendoan.
Mendoan biasanya menjadi menu jualan ”wajib” toko oleh-oleh. Tampak dari wajan besar yang terdapat di bagian depan toko. Udara panas menyambut pengunjung yang melintas di dekat wajan berisi minyak panas untuk menggoreng.
Suaranya berdesis saat tempe yang berbalut tepung basah masuk ke dalamnya. Hanya butuh beberapa menit, tempe sudah akan dibalik lalu dientaskan dari wajan dan ditiriskan.
Tempe-tempe ”berselimut” itu kemudian ditempatkan ke dalam besek atau kotak anyaman bambu yang beralas daun pisang. Mendoan hangat pun menanti disantap sebagai kawan dalam perjalanan.
”Khasnya Purwokerto kan mendoan. Ciri khasnya lebar-lebar atau jumbo. Cara masaknya beda dari mendoan daerah lain. Jadi kalau ke Purwokerto, pasti mampir beli mendoan buat camilan dalam perjalanan pulang,” kata Safitri Suryaning Putri (30), pengunjung asal Semarang, Rabu (3/11/2021).
Tidak hanya bisa membeli mendoan matang, di pusat oleh-oleh Sawangan ini, pembeli juga bisa membeli mendoan ”mentah” dalam kemasan daun pisang. Mendoan tersebut bisa digoreng dua hari sesudahnya, setelah kedelai berfermentasi dengan sempurna menjadi tempe.
Paket berisi 20 tempe mendoan beserta tepung dan sambal kecap dijual seharga Rp 40.000. ”Saya beli yang mentah buat dibagi-bagi ke tetangga dan saudara,” kata Wiwi (45), pengunjung dari Jakarta.
Menurut Wiwi, mendoan khas Purwokerto berbeda rasanya dari yang lain. Itu sebabnya, ia selalu menyempatkan mampir untuk membeli mendoan sebagai oleh-oleh, selain getuk dan keripik tempe. ”Pokoknya recommended banget ke Purwokerto, makanannya enak-enak,” tuturnya.
Pemilik Toko Oleh-oleh Sawangan No 1, Siti Andayani (57), mengatakan, dirinya yakin dengan prospek mendoan yang khas dan beda. Selain enak, makanan ini pun bergizi tinggi. Tidak heran jika pada 1992, ia berani membuka toko oleh-oleh dengan mendoan sebagai salah satu produk andalan.
Menurut dia, mendoan bak makanan ”kebangsaan” bagi masyarakat Banyumas yang harus ada dalam menu sehari-hari. ”Sejak zaman dulu, mendoan sangat akrab di kalangan orang Banyumas. Cara gorengnya beda, hanya setengah matang atau mendo. Di tempat lain, olahan tempe yang terkenal mungkin tempe keripik atau tempe kering,” kata perempuan yang kerap disapa Enny ini.
Enny bersyukur mendoan diakui sebagai warisan budaya tak benda agar kelak tidak ada pihak lain yang mengklaimnya. ”Sangat membanggakan karena ini kan warisan budaya leluhur yang harus kita uri-uri (lestarikan). Saya berharap suatu saat mendoan bisa go international,” kata Enny yang memiliki 20 karyawan.
Sebelum pandemi, ungkap Enny, dirinya bisa memproduksi 500-1.000 tempe per hari, baik untuk diolah sebagai mendoan maupun kripik. Saat ini, produksinya menyusut sampai 50 persen. Mendoan produksi Enny dijual Rp 3.700 per buah. Sementara, mendoan jumbo berukuran 29 cm x 21 cm, dijual dengan harga Rp 12.000 per buah.
Agar konsumen tidak bosan, Enny berinovasi dengan membuat mendoan aroma teh hijau (green tea) yang berwarna hijau serta mendoan bit (beet) yang berwarna merah. Mendoan inovasi baru ini dijual dengan harga Rp 14.000 per buah mengingat ukurannya pun jumbo.
Diakuinya, selama ini tempe mendoan masih dibuat dari bahan baku kedelai impor karena kedelai lokal dinilai kurang baik kualitasnya.
”Kenapa ya kita tidak berusaha menghasilkan kedelai dengan kualitas seperti kedelai impor? Kedelai lokal yang sering saya beli banyak yang rusak dan kopong. Kalau dicuci terapung. Jadi lama untuk membersihkan dan memilihnya,” paparnya.
Kepala Seksi Nilai Tradisi Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas Mispan menyampaikan, keberadaan tempe mendoan diperkirakan ada sejak abad ke-16, seperti termuat dalam Serat Centhini.
”Dalam serat itu dikisahkan, tuan rumah menyajikan makanan tradisional dari setiap kadipaten, di antaranya Banyumas dengan gorengan tempenya. Gorengan ini juga disajikan dalam ritual-ritual slametan seperti mitoni. Seiring waktu, terjadi inovasi di tengah masyarakat. Tempe dibuat tipis-tipis dan digoreng sebentar saja ketika minyak panas. Lalu melegendalah mendoan tempe Banyumas,” paparnya.
Dengan penetapannya sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mendoan diharapkan bisa ”naik kelas” ke tingkat internasional (go international), menjadi salah satu ikon kuliner khas Indonesia, seperti halnya tom yam yang menjadi ikon kuliner Thailand.
Dengan tersebarnya masyarakat Banyumas di berbagai wilayah Tanah Air dan banyak negara, diharapkan bisa ikut menggelorakan menu tempe mendoan siap saji.
”Di negara lain, seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, Malaysia, dan Singapura, mendoan disukai karena dianggap sebagai makanan vegetarian. Tapi mereka memasaknya agak kering sedikit. Selain itu, tempe mendoan juga sedang diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari Banyumas, Jawa Tengah,” tuturnya.
Dengan penetapannya sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mendoan diharapkan bisa ”naik kelas” ke tingkat internasional.
Secara kultural, mendoan memang berkembang di Banyumas, meskipun juga dikenal di empat kabupaten lain, seperti Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen.
Dengan populernya mendoan, membuat kebutuhan bahan baku pembuatan makanan ini cukup besar. Misalnya, di Desa Pliken, Kembaran, yang menjadi sentra pembuatan tempe. Dalam sehari, kebutuhan kedelai di desa itu mencapai 15 ton. ”Di sana ada 600 perajin. Berarti rata-rata perajin butuh 37 kilogram kedelai,” kata Mispan.
Di dunia pendidikan setempat, mendoan mulai diperkenalkan sebagai salah satu kuliner lokal, seperti yang dilakukan SMK Swagaya 2 Purwokerto. Sembari memperingati Hari Pahlawan, para siswa diajak berlomba membuat kreasi mendoan sekaligus sebagai materi ajar praktik kewirausahaan.
Saat itu, sembilan kelas berpartisipasi dalam kegiatan yang dikemas sebagai Festival Kreasi Mendoan ini. Setiap kelas mengirimkan satu tim yang terdiri dari tiga orang. Mereka harus memasak mendoan dan menghidangkannya dengan tampilan yang cantik.
”Mendoan umumnya putih karena hanya tepung dan bumbu. Kalau mendoan yang kami bikin agak kuning karena diberi kunyit agar warnanya tidak pucat,” kata Ade Saputri (17), siswi kelas XI Jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran SMK Swagaya 2, Rabu (10/11/2021).
Kebanyakan peserta menyajikan mendoan di atas tampah yang beralas daun pisang. Sebagai hiasan, diberi daun selada air, wortel, dan tomat yang dibentuk sedemikian rupa seperti bunga. Tidak lupa, sambal kecap dan cabai rawit hijau atau cabai cengis sebagai pelengkap.
”Saya jadi pengalaman membuat mendoan. Tantangannya, lengket saat mulai digoreng,” kata Reyhan (18), kelas XI Teknik Pendingin dan Tata Udara SMK Swagaya 2.
Kepala SMK Swagaya 2 Purwokerto Veronika Rahayu mengatakan, lewat kegiatan ini diharapkan dapat memacu kreasi siswa dalam membuat mendoan. ”Tidak peduli siswa laki-laki atau perempuan, semuanya antusias sekali. Yang kami nilai mulai dari kreasi, rasa, pembuatan, tampilan, dan penataan,” kata Veronika.
Secara terpisah, dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto Sugeng Priyadi menyampaikan, meski telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, mendoan masih terus membutuhkan sentuhan dan promosi agar mampu lestari.
Inovasi yang diperlukan, di antaranya, bagaimana mengemas tempe mendoan agar tahan lama sehingga bisa dijual atau dibawa ke daerah lain. ”Mendoan akan terjaga terus jika menjadi makanan favorit. Wisatawan ke Banyumas juga mencari tempe mendoan, selain yang matang juga dalam bentuk yang mondolan atau belum jadi. Perlu inovasi dalam pengemasan, juga bumbu dan tepungnya agar dikembangkan lagi,” tuturnya.
Momentum penetapan status tempe mendoan sebagai warisan budaya tak benda ini kiranya dapat menjadi semgangat dan kebanggaan bagi masyarakat Banyumas agar terus melestarikannya. Penasaran dengan tempe mendoan? Yuk, ke Banyumas untuk mencicipinya.