Derit kereta odong-odong menyibak sunyi kawasan Benteng Van der Wijck. Kesunyian semakin pecah ketika besi-besi tua yang menyambungkan antargerbong dan lokomotif kereta odong-odong itu beradu.
Suaranya berkelontang, seolah terperangkap dalam benteng bersegi delapan yang dibangun pada 1818. Kereta berjalan mengelilingi benteng yang bernama asli Fort Cochius tersebut. Dengan tiket masuk Rp 25.000 per orang, pengunjung diantar naik kereta menuju kawasan benteng seraya mengelilingi sisi luar dan dalam benteng yang berdinding bata merah.
Pengunjung juga bisa memilih naik wahana kereta mini di atas benteng. Bisa juga berenang di kolam bermain anak yang ada di halaman depan benteng yang dulunya pos militer dan logistik ini.
Di atap benteng yang berbentuk piramida, kereta mini perlahan membawa pengunjung berkeliling. Benteng yang berlokasi di Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, ini atapnya unik karena terbuat dari bata merah dan bukan genteng. Dari sini, tampak areal persawahan dan lingkungan militer Sekolah Calon Tamtama (Secata) Gombong.
Sigit Asmodiwongso dan Salma Nusiana dalam buku Ngomong Gombong: Remah Sejarah Kota 1830-1942 (Tapak Publishing, 2020) menyebut, benteng oktagonal ini merupakan sentrum awal perkembangan wilayah Gombong. Dari area ini berdirilah sekolah-sekolah, rumah sakit, dan gereja, yang kemudian mengundang kehadiran banyak pedagang untuk memenuhi kebutuhan benteng.
Kala itu, meskipun kecil, Gombong merupakan kota garnisun karena di sini ditempatkan beberapa kesatuan militer, seperti batalyon organik, komando pendidikan, satuan zeni tempur (zipur), dan detasemen zeni bangunan (zibang).