Bunga melati tak jarang dikaitkan dengan hal klenik dan mistis. Padahal, jika diperhatikan, kehadirannya turut menjadi saksi dalam perjalanan hidup manusia. Warna putihnya yang melambangkan kesucian digunakan untuk mengiringi momen, baik bahagia maupun duka.
Ada beragam jenis bunga melati di dunia, tetapi yang lebih dikenal adalah yang bernama latin Jasminum sambac. Selama 29 tahun yang lalu, tepatnya pada 9 Januari 1993, Presiden Soeharto menetapkan bunga melati (Jasminum sambac) sebagai puspa bangsa, yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Selain melati, ada dua bunga lain yang ditetapkan, yakni anggrek bulan (Palaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona dan padma raksasa (Rafflesia arnoldi) sebagai puspa langka.
Dalam keputusan tersebut ditetapkan pula tiga jenis satwa, yakni komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional, ikan siluk merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona, dan elang jawa (Spizaetus bartelsi) sebagai satwa langka.
Dalam upacara atau tradisi pernikahan di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat (adat Sunda), bunga melati diyakini sebagai bunga yang sakral dan suci.
Melati digunakan sebagai hiasan rambut sang pengantin perempuan berupa rangkaian atau roncean kuncup bunga melati yang kemudian ditata menghiasi kepala. Hiasan kuncup melati juga dikalungkan pada leher pengantin laki-laki.
Dalam ritual siraman calon pengantin, bunga melati digabungkan dengan bunga lain dalam bak air siraman. Katanya, beragam bunga tersebut bisa ”membersihkan” dan membuat tubuh calon pengantin menjadi wangi.
Harum semerbak melati dan mawar memang memikat. Dalam momen itu, sepertinya tak lagi ada yang mengaitkannya dengan hal mistis. Aromanya justru membuat rileks siapa pun yang menghirupnya.