Meleburnya Kuliner Tionghoa di Semarang

Indonesia adalah melting pot atau tempat meleburnya berbagai budaya menjadi kekayaan budaya di Nusantara yang menjadi simpang peradaban (carrefour de civilization).

Demikian pula Kota Semarang di Jawa Tengah menjadi tempat meleburnya budaya Tionghoa dalam arus besar budaya Jawa yang menghasilkan berbagai budaya mestizo yang indah, termasuk dalam seni kuliner yang menggoda selera.

Tentang kehadiran masyarakat Tionghoa di Semarang, Amen Budiman dalam buku Semarang Riwayatmu Dulu menceritakan ketika Laksamana Cheng Ho pada awal tahun 1400-an ke Semarang, masyarakat Jawa pada masa pra–Islam mengamati kebiasaan Cheng Ho dan sebagian awak kapal yang tidak makan saat matahari terbit hingga petang hari (ternyata mereka sedang berpuasa bulan Ramadhan).

Dalam catatan di Kelenteng Sam Po Kong disebutkan, Laksamana Ma He sebutan Ma digunakan untuk nama Muhammad dalam Bahasan Mandarin. Laksamana Ma He alias Cheng Ho singgah di Semarang tahun 1406 dan 1416 Masehi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Patung Laksamana Cheng Ho berdiri megah di depan Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada peringatan 600 tahun kedatangannya di nusantara.

Namun, menurut Amen Budiman, semestinya Cheng Ho singgah ke Semarang kedua kali sesudah tahun 1416 Masehi karena titah Kaisar Yong Le dari Dinasti Ming kepada Cheng Ho untuk menjalankan muhibah berikut dikeluarkan pada bulan Desember tahun 1416.

Keberadaan armada Cheng Ho memang fenomenal. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebutkan, armada Cheng Ho melibatkan 26 kapal besar yang disebut wakang. Setiap wakang mengangkut 1.000 pelaut. Konon nama wilayah Mangkang di barat Kota Semarang diambil dari nama wakang atau wangkang tersebut.

Pada tahun 1400-an, kawasan cikal bakal Kota Semarang belum lagi berupa daratan yang kita kenal hari ini mencakup kawasan seputaran Tugu Muda dan daerah Kota Lama (Little Amsterdam).

Wilayah bukit Bergota tempat makam Kyai Saleh masih merupakan daerah pesisir Laut Jawa. Kapal-kapal Cheng Ho pun merapat dekat Simongan yang kini menjadi Banjir Kanal Barat. Daerah tersebut masih merupakan lautan.