Mencari Harmoni Bersama Merapi

Tidak ada yang menyangka Gunung Merapi akan mengeluarkan awan panas besar pada pertengahan Juni 2006. Ini karena sejak awal Mei, grafik aktivitas gunung ini melandai. Grafik berubah drastis setelah gempa tektonik melanda bagian selatan Yogyakarta pada 27 Mei.

Suwaji (47) masih ingat kejadian 15 tahun silam. Warga Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini sempat mengungsi di balai dusun bersama ratusan tetangganya.

Status Awas Merapi yang diberlakukan sejak 13 Mei membuat warga yang bermukim di daerah rawan terimbas awan panas Merapi mau tak mau harus mengungsi.

kompas/wawan h prabowo
Luncuran awan panas dari Puncak Gunung Merapi terjadi saat status Merapi diturunkan menjadi siaga, Rabu (14/6/2006). Luncuran mencapai Kali Gendol, di Dusun Kaliadem, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sejauh delapan kilometer.

Memasuki sepuluh hari terakhir bulan Mei, sebagian pengungsi sesekali kembali ke rumah, sekadar membersihkan rumah yang tertutup abu vulkanik. Beberapa di antaranya juga pergi ke ladang, termasuk memerah susu sapi jika situasi dipandang memungkinkan. Bagi warga lereng Merapi, pertanian dan peternakan sapi adalah hidup mereka.

Dusun tempat tinggal Suwaji yang berjarak 4,5 kilometer dari puncak Merapi tergolong rentan tersapu awan panas. Kala itu, dusunnya yang berada di sisi tenggara Merapi masih aman karena keluaran awan panas Merapi tak pernah melebihi 4 kilometer sehingga belum mencapai dusun Suwaji yang merupakan dusun tertinggi.

Awan panas besar yang terlihat meluncur pada 15 Mei 2006, jangkauannya sekitar 4 kilometer. Wilayah selatan-tenggara Merapi saat itu masih terlindungi sisa kubah lava yang dikenal dengan sebutan ”Geger Boyo”.

Saat terjadi longsoran material dari puncak, sebagian besar akan mengarah ke selatan dan menabrak Geger Boyo sehingga ”berbelok” ke barat menuju hulu Kali Krasak. Sebelum tahun 2006, inilah ”jalur tradisional” awan panas Merapi selama lebih dari 15 tahun.