Mencicipi Makanan Raja-raja Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno yang eksis sejak abad ke-8 hingga awal abad ke-11 Masehi meninggalkan warisan pengetahuan yang termaktub dalam relief candi dan prasasti.

Salah satunya berkait dengan mahamangsa atau makanan raja pada era Mataram Kuno. Sejumlah pakar berhasil merekonstruksi atau meracik kembali makanan para raja itu sehingga bisa dinikmati di era sekarang.

Sebelum kita mencicipi” hidangan para raja Mataram Kuno, ada baiknya kita pahami dulu asal mula kemunculan kerajaan ini.

Berdiri di wilayah Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Pada masa awal berdirinya, pusat kerajaan diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau saat ini masuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Mataram Kuno disematkan untuk membedakan dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Informasi mengenai Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Kuno disebutkan, antara lain, dalam Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi. Sejumlah pakar memperkirakan, Sanjaya mulai memerintah pada tahun 717 Masehi.

Ini karena tahun 717 Masehi merupakan awal perhitungan sebuah sistem kalender yang dikenal dengan nama tarikh Sanjaya. Perkiraan awal pemerintahan Sanjaya, antara lain, diungkapkan dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kusen, dalam tulisan ”Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya Sampai Balitung: Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III” yang dimuat dalam jurnal Berkala Arkeologi tahun 1994.

Kusen menuliskan, Sanjaya diperkirakan memerintah sebagai raja hingga sekitar tahun 746 Masehi. Pada tahun yang sama dikabarkan, seorang raja baru bernama Rakai Panangkaran memulai pemerintahannya di Kerajaan Mataram Kuno. Ia disebutkan naik menjadi raja pada 27 November 746 dalam prasasti Wanua Tengah III.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Kompleks Candi Sari di Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/11/2021). Candi yang dulunya bangunan asrama bagi para pendeta Buddha ini diperkirakan dibangun abad ke-8 pada masa pemerintahan Rakai Penangkaran. Candi ini saat ditemukan pada awal abad ke-20 dalam keadaan rusak dan kemudian dipugar pada tahun 1929.

Secara umum, para sejarawan sepakat ada tiga dinasti atau wangsa yang pernah menjadi penguasa Kerajaan Mataram Kuno, yakni Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra berkuasa saat pusat Kerajaan Mataram Kuno berlokasi di Jawa Tengah. Sementara Wangsa Isyana memerintah Kerajaan Mataram Kuno setelah pusat kerajaan tersebut dipindahkan ke Jawa Timur.

Kerajaan Mataram Kuno mewariskan banyak bangunan candi, misalnya Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Pawon, Candi Mendut, Candi Kalasan, dan Candi Plaosan. Selain itu, kerajaan tersebut juga meninggalkan banyak prasasti yang menjadi sumber informasi sangat berharga tentang kehidupan masyarakat Jawa pada masa lalu.

Salah satu yang sering diceritakan dalam berbagai prasasti tinggalan Kerajaan Mataram Kuno adalah tentang penetapan tanah perdikan atau wilayah bebas pajak yang disebut sima.

arsip kitlv
Salah satu relief di Candi Borobudur.

Dalam tulisan Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna” karya Timbul Haryono disebutkan. Sima berasal dari kata siman yang dalam bahasa Sansekerta berarti batas atau tapal batas.

Sima adalah sebidang tanah sawah atau kebun yang telah diubah statusnya menjadi wilayah perdikan atau swatantra sehingga para petugas pemungut pajak’ tidak boleh melakukan kegiatannya di wilayah tersebut,” kata Timbul dalam tulisan yang dimuat di jurnal Humaniora tahun 1999 itu.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno, penetapan sebidang tanah menjadi sima merupakan peristiwa yang sangat penting. Sebab, setelah penetapan sima akan terjadi perubahan pertanggungjawaban dari penduduk di wilayah itu.

Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja atau rakai. Setelah tanahnya ditetapkan sebagai sima, mereka bertanggung jawab kepada kepala sima,” tulis Timbul, dosen arkeologi UGM.

Menurut dia, salah satu rangkaian acara dalam upacara penetapan sima adalah pesta makan dan minum. Makanan yang disajikan tergolong sebagai mahamangsa atau makanan para raja.

Dalam konteks ini, upacara penetapan sima dianggap istimewa karena hanya dalam kesempatan itulah seorang rakyat biasa dapat menikmati kuliner yang biasanya hanya disantap para raja.

Rekonstruksi

Kekayaan kuliner para raja itulah yang coba direkonstruksi kembali oleh Indonesian Gastronomy Community (IGC) melalui program bertajuk ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara”.

Dalam program ini, IGC yang merupakan komunitas nonprofit pencinta makanan Indonesia ini menggandeng sejumlah pakar, baik di bidang arkeologi maupun gastronomi, guna meneliti dan merekonstruksi makanan para raja Mataram Kuno pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi.

Salah seorang pakar yang dilibatkan adalah Sumartoyo, pemerhati gastronomi kuliner tradisional. Sumartoyo menuturkan, untuk melakukan rekonstruksi makanan para raja itu, tim meneliti relief sejumlah candi dan prasasti tinggalan Kerajaan Mataram Kuno.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Situs petirtaan Cabean Kunti di Desa Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (21/5/2017). Tempat permandian suci ini diperkirakan dibangun abad ke-8 hingga ke-9 Masehi.

Relief yang menjadi acuan rekonstruksi itu berasal dari tiga lokasi, yakni Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah; Candi Prambanan di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; serta Petirtaan Cabean Kunti di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

”Dari relief-relief itu, kami hanya mendapatkan gambar makanan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam, kami mencari ke berbagai prasasti yang ada,” kata Sumartoyo, yang ditemui di sela jamuan makan malam ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara”, Sabtu (30/10/2021) malam, di Manohara Resto, kompleks Candi Borobudur.

Beberapa prasasti yang menjadi acuan Sumartoyo dan tim, antara lain, Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi, Prasasti Paradah (943 M), Prasasti Jru-jru (930 M), Prasasti Panggumulan (902 M), Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Watukura (902 M), Prasasti Sangguran (928 M), Prasasti Alasantan (939 M), Prasasti Lintakan (919 M), dan Prasasti Taji (910 M).

Relief Candi Borobudur yang menggambarkan petani sedang memikul padi.

Menurut Sumartoyo, prasasti-prasati tersebut menyajikan informasi yang lebih lengkap mengenai beberapa jenis makanan raja dari era Mataram Kuno. ”Di prasasti, kami menemukan informasi mengenai bagaimana cara memasak makanan-makanan itu, bahannya apa saja, dan sebagainya,” tuturnya.

Sumartoyo menyebutkan, dari relief sejumlah candi dan beberapa prasasti, tim menemukan 104 jenis hidangan, baik berupa makanan utama, kudapan, maupun minuman.

Setelah itu, Sumartoyo dan timnya mampu merekonstruksi sekitar 10 jenis makanan dan minuman. Makanan dan minuman hasil rekonstruksi itulah yang dihidangkan dalam jamuan makan malam ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara” pada 30 Oktober lalu.

Kerbau dan rusa

Salah satu makanan yang disajikan adalah Rumbah Hadangan Prana atau glinding daging kerbau. Pada masa Kerajaan Mataram Kuno, kerbau menjadi salah satu sumber protein. Sebab, pada masa itu, sapi merupakan hewan yang disakralkan sehingga tidak diolah menjadi makanan.

Rumbah Hadangan Prana disebut dalam sejumlah prasasti, yakni Prasasti Panggumulan, Prasasti Rukam, dan Prasasti Mantyasih. Sesuai namanya, hidangan tersebut terbuat dari daging kerbau yang dicacah, lalu dibentuk menjadi bulatan-bulatan berukuran sedang.

Bola-bola daging kerbau itu lantas dimasak dengan aneka jenis bumbu, seperti bawang merah, ketumbar, jinten, kencur, santan kelapa, daun salam, sereh, garam, dan belimbing sayur.

Saat disantap, glinding daging kerbau yang disajikan dengan sedikit kuah itu terasa sangat lembut. Ada jejak rasa pedas dan manis yang bercampur dengan rasa gurih dari santan.

Selain daging kerbau, makanan era Mataram Kuno juga kerap memakai daging rusa. Berbeda dengan sekarang, saat itu rusa masih banyak ditemui berkeliaran di wilayah hutan sehingga kerap diburu dan dijadikan hidangan untuk para raja.

Ada dua hidangan berbahan daging rusa yang disajikan dalam jamuan makan malam ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara”. Salah satunya diberi nama Knas Kyasan atau kicik daging rusa. Makanan ini muncul dalam relief Candi Borobudur, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Paradah.

Knas Kyasan berupa daging rusa yang dipotong kecil-kecil, lalu dimasak dengan cara seperti memasak makanan kicik daging sapi. Bumbu-bumbu yang digunakan, antara lain, bawang putih, ketumbar, gula merah, bawang merah, merica, garam, dan daun pepaya.

Hidangan daging rusa lain yang disajikan adalah Harang-harang Kidang atau rusa bakar. Sajian yang disebut dalam Prasasti Mantyasih, Prasasti Paradah, dan relief Candi Borobudur itu berupa daging rusa yang diiris-iris menjadi bentuk dadu lalu dibakar.

Bumbu masakannya tergolong sederhana, yakni bawang putih, kunyit, merica, bawang merah, ketumbar, gula merah, lengkuas, jahe, dan garam.

Ikan dan sayur

Sajian kuliner berbahan ikan juga dihidangkan untuk para raja Mataram Kuno. Salah satunya seperti yang disajikan dalam jamuan makan malam ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara”, yakni Klaka Wagalan atau ikan bumbu kuning dengan ikan beong sebagai bahan utama.

Ikan beong merupakan salah satu jenis ikan yang muncul dalam relief Candi Borobudur. Dengan demikian, sajian makanan berbahan ikan ini diperkirakan sudah ada pada masa Mataram Kuno.

Selain dari relief Candi Borobudur, hidangan ini juga direkonstruksi berdasarkan informasi di sejumlah prasasti, seperti Prasasti Watukura, Prasasti Panggumulan, Prasasti Rukam, Prasasti Mantyasih, Prasasti Sangguran, Prasasti Alasantan, dan Prasasti Paradah.

 

Dalam sajian Klaka Wagalan, ikan beong dimasak dengan santan serta sejumlah bumbu, seperti bawang putih, bawang merah, garam, laos, jahe, lada, daun salam, dan daun jeruk purut. Cara masaknya mirip dengan masakan mangut. Saat disantap, daging ikan beong terasa lembut, gurih, dan sama sekali tidak amis.

Menu olahan ikan lain yang menjadi kuliner para raja Mataram Kuno adalah Harang-harang Kyasan atau sidat bakar manis. Hidangan ini diracik berdasarkan informasi di Prasasti Watukura serta relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Dalam menu ini, ikan sidat dimasak dengan cara dipanggang dan diberi bumbu rasa manis. Ikan sidat dipilih karena mudah ditemui di sungai-sungai di sekitar Candi Borobudur.

Selain daging hewan berkaki empat dan ikan, sajian kuliner untuk para raja Mataram Kuno juga memiliki menu sayuran. Itulah kenapa, jamuan makan malam ”Gastronosia: Dari Borobudur untuk Nusantara” menyajikan sebuah menu bernama Kwelan Haryyas atau sayur batang pisang. Menu ini direkonstruksi berdasarkan informasi di Prasasti Mantyasih, Prasasti Paradah, dan relief Candi Borobudur.

Sumartoyo menuturkan, upaya merekonstruksi Kwelan Haryyas ini paling unik karena bahannya yang tidak biasa. ”Masakan ini bahannya di luar pikiran kita karena dibuat dari hati batang pisang muda,” ujarnya.

Hati batang pisang muda itu diiris tipis dan kecil, lalu dimasak dengan aneka jenis bumbu. Saat disantap, Kwelan Haryyas menyajikan sensasi rasa yang sangat unik. Ada rasa sedikit kecut yang menghadirkan nuansa kesegaran di mulut saat mencicip sayuran tersebut.

Dodol dan tuak

Selain makanan utama, jamuan makan malam juga menyajikan Dwadal Duren atau dodol durian sebagai makanan penutup. Dodol durian dipilih karena di sekitar Candi Borobudur banyak terdapat pohon durian sehingga dodol durian diperkirakan kerap disajikan pada masa tersebut. Apalagi, makanan itu juga disebut dalam Prasasti Alasantan dan Prasasti Sangguran.

Untuk minuman, disajikan tiga jenis, yakni tuak yang dibuat dari fermentasi nira kelapa, kinca yang terbuat dari fermentasi sari asam jawa, dan legen yang dibuat dari sari bunga kelapa.

Peracikan minuman-minuman tersebut mengacu pada informasi di sejumlah prasasti, yakni Prasasti Lintakan, Prasasti Taji, Prasasti Watukura, Prasasti Rukam, dan Prasasti Panggumulan.

Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community Ria Musiawan mengatakan, upaya merekonstruksi makanan para raja Mataram Kuno bertujuan mengangkat kembali makanan kuno yang pernah ada di Nusantara.

Melalui upaya tersebut, kekayaan kuliner Nusantara di masa lalu diharapkan dapat lestari.

”Kegiatan ini selaras dengan visi dan misi Indonesian Gastronomy Community untuk melestarikan makanan Indonesia beserta narasi budayanya agar dapat memajukan dan berdaya guna bagi bangsa Indonesia,” ujar Ria.

Ria menuturkan, apa yang dilakukan IGC ini dapat mendukung misi diplomasi Indonesia di luar negeri. Selain itu, aktivitas gastronomi semacam ini juga bisa ikut menggerakkan perekonomian Tanah Air.