Meneropong Bisnis “Car Sharing”

Isu lingkungan akibat maraknya penggunaan kendaraan pribadi bermotor membuat banyak negara mulai beralih menggunakan sistem car sharing. Sistem ini membantu pergerakan manusia dengan menggunakan mobil tanpa harus memilikinya secara pribadi.

Setelah ditemukan akhir abad ke-19 dan diproduksi besar-besaran, mobil menjadi moda transportasi yang selalu memikat. Kehadirannya membuat tidak sedikit orang bermimpi untuk memilikinya. Apalagi kala itu sejumlah negara turut mendukungnya dengan pembangunan banyak ruas jalan besar.

Untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas mobil-mobil baru itu, bahkan ikut menggerus rel kereta atau trem yang sudah eksis sebelumnya. Terlihat dari artikel “The City of Future” (Grarry G dan Peter N, 2018), yang menunjukkan penurunan drastis jumlah penumpang kereta baik di Inggris maupun di ibu kota Australia pada tahun 1940-an.

Setelah cukup lama terlena dengan nikmat mobil pribadi, berbagai persoalan mulai muncul seperti kemacetan, ketersediaan lahan parkir, hingga produksi emisi karbon. Terlebih lagi dengan adanya perluasan kota yang sangat cepat, mobilitas penduduk dari tempat tinggal menuju tempat beraktivitas sehari-hari pun semakin jauh.

Maka dari itu, sejak tahun 1990-an, sejumlah negara mentransformasi kebijakannya untuk lebih fokus pada moda transportasi umum. Seperti Amerika Serikat yang mulai membangun 28 kereta ringan sejak tahun 2000. Di periode yang sama juga terjadi di Eropa seperti di Prancis dan Spanyol. Begitu juga di Asia seperti 52 kota di China dengan bus metro dan sejumlah kereta ringan.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Semakin banyaknya kepemilkan mobil menimbulkan permasalahan kemacetan dan polusi udara. Suasana kemacetan di Jakarta, Indonesia, Kamis (11/6/2020).

Meski bermunculan pilihan lain bepergian menggunakan transportasi umum, nyatanya pikat mobil pribadi masih terus melekat. Ditandai dengan kemacetan lalu lintas yang terus meningkat secara global. Berdasarkan data Tomtom tahun 2019, sekitar 75 persen dari 403 kota yang dianalisis mengalami kenaikan tingkat kemacetan atau stabil jika dibandingkan tahun 2017 dan 2018.

Tingkat kemacetan tertinggi ada di Mumbai, India. Di kota itu rata-rata membutuhkan waktu bermobilitas ekstra hingga 65 persen karena terjebak macet. Setelah itu disusul Bogota di Kolombia (63 persen), Lima di Peru (58 persen), New Dehli di India (58 persen), dan Moskow di Rusia (56 persen). Sementara itu di tahun yang sama, Jakarta berada di peringkat ketujuh dengan tingkat kemacetan 53 persen.

Selain masalah kemacetan, maraknya penggunaan mobil pribadi juga menimbulkan masalah lingkungan. Diketahui emisi dari pembakaran BBM di setiap mesin konvensional turut menyumbang potensi perubahan iklim. Menurut “The IPCC Fifth Assessment Report”, tahun 2010 sektor transportasi menyumbang 14 persen dari emisi gas rumah kaca global.

Inovasi

Berangkat dari persoalan itu, sejumlah inovasi bisnis di sektor transportasi terus dikembangkan. Salah satunya penyewaan mobil atau car sharing yang memiliki konsep berbeda dengan moda transportasi massal seperti pada umumnya. Inovasi ini diperuntukkan bagi komuter dengan rute perjalanan yang lebih fleksibel dan tingkat privasi yang lebih terjaga.

Terdapat dua sistem car sharing. Artikel bertajuk “Impact of Car Sharing on Urban Sustainability” (Vasja Roblek dkk, 2021) menjelaskan, sistem tersebut terbagi atas ride-sharing dan ride-hailing. Keduanya memiliki tipe pelayanan yang berbeda. Pada ride-sharing, memungkinkan penyewa mengendarai mobilnya sendiri. Sementara ride-hailing dibarengi sopir yang akan mengantar kemana pun penyewa pergi.

AFP/GETTY IMAGES/SCOTT OLSON
Logo Uber dan Lyft, terpampang di kaca mobil di Chicago, AS, 10 April 2019. Keduanya adalah perusahaan car-sharing model ride-hailing.

Dua tipe pelayanan ini sebenarnya sudah cukup lama hadir di banyak negara, termasuk di Indonesia. Konsep ride-sharing banyak ditemukan di kota-kota wisata dengan kehadiran jasa-jasa persewaaan mobil “lepas kunci”. Sementara itu ride-hailing banyak ditemukan di kota-kota besar dengan kehadiran jasa taksi, baik konvensional maupun berbasis aplikasi.

Menjadi hal yang menarik untuk diteropong ketika konsep ride-sharing dilengkapi dengan inovasi berbasis aplikasi. Hanya bermodalkan ponsel pintar, penyewa dapat memesan mobil sewaan yang tersedia di sejumlah aplikasi maupun laman penyedia car sharing. Sebelum mengambil mobil, penyewa dapat mementukan jenis mobil yang dibutuhkan, lama sewa, dan estimasi biaya sewa.

Agar dapat menikmati layanan itu, calon pengguna harus melakukan registrasi terlebih dahulu. Beberapa berkas harus disiapkan untuk diverifikasi, seperti surat izin mengemudi (SIM) hingga rekam jejak pengemudi. Jika memenuhi persyaratan, pendaftar akan dikirimi notifikasi persetujuan berisikan detail informasi seperti tata cara memesan, memarkir kendaraan, hingga pembayaran.

Menurut catatan Movmi, hingga tahun 2019 sudah sebanyak 236 operator yang menjalankan bisnis car sharing itu. Operator sebanyak itu tersebar di 3.128 kota di 59 negara atau sekitar 30 persen dari total negara di dunia. Terbanyak ada di Amerika Serikat dengan 33 operator, Italia dengan 27 operator, Rusia 21 operator, Kanada 20 operator, Jerman 19 operator, dan Perancis 14 operator.

Model Bisnis

Operator-operator car sharing ini memiliki bervariasi model bisnis yang setidaknya dibagi menjadi tiga. Mulai dari station-based yang mengharusnya setelah selesai perjalanan, penyewa memarkirkan mobil di lokasi yang sama ketika berangkat. Ada juga free-floating yang memungkinkan penyewa memarkirkan mobil dimanapun lokasi parkir yang telah ditentukan.

Terakhir, yaitu sistem peer to peer. Model bisnis ini turut melibatkan pemilik mobil pribadi di luar perusahaan car sharing yang hendak menyewakan mobilnya. Di dalam operasionalnya, model bisnis ini mirip dengan station-based, namun tidak menutup kemungkinan mobil dapat dikembalikan di lokasi lain sesuai kesepakatan langsung dengan si pemilik mobil.

AFP/Tolga Akmen
Seseorang memegang ponsel dengan aplikasi ride-sharing di London, Inggris, 17 Maret 2021.

Setiap kota rata-rata memiliki satu operator car sharing dan 82,7 persen kota yang telah tersedia operator hanya menggunakan satu model bisnis. Kebanyakan merupakan model station-based seperti aplikasi Zipcar dan Flinkster yang sama-sama sudah digunakan di 384 kota. Setelah itu ada juga Greenwheels (119 kota), Enterprise Carshare (86 kota), dan Hertz 24/7 (81 kota).

Maraknya model bisnis ini bagaikan jasa penyewaan mobil yang sudah eksis sejak lama dan cukup familiar bagi sebagian besar masyarakat. Yang membedakan yaitu improvisasi dengan adanya aplikasi pemesanan baik di ponsel maupun website. Penyewa dapat menemukan stasiun penyewaan terdekat, ketersediaan mobil yang dibutuhkan, hingga estimasi total biaya, dengan mudah.

Meski demikian, model ini dianggap tidak fleksibel karena penyewa harus mengambil dan mengembalikan mobil di stasiun persewaan yang sama. Kondisi ini cukup menyulitkan jika penyewa tidak melakukan perjalanan ulang-alik atau harus beraktivitas di lokasi tujuan dalam waktu cukup lama. Kondisi ini membuat biaya sewa mobil membengkak mesti mobil tidak digunakan.

Teknologi car sharing yang kini dianggap paling fleksibel dan efektif yaitu free-floating. Mirip dengan aplikasi ojek atau taksi online, aplikasi car sharing berbasis free-floating ini menggunakan teknologi pelacakan terbaru. Melalui aplikasi ini, penyewa dapat memilih mobil yang paling dekat dengannya. Setelah selesai disewa, mobil dapat diparkir di lokasi manapun.

Teknologi car sharing yang kini dianggap paling fleksibel dan efektif yaitu free-floating.

Tahun 2016, free-floating sudah diaplikasikan di 34 kota di sembilan negara. Seperti di Amsterdam di Belanda; Berlin, Cologne, Frankfurt di Jerman; Birmingham dan London di Inggris; Copenhagen di Denmark; Florence, Milan, dan Roma di Italia; Stockholm di Swadia; Vienna di Austria; Los Angeles, Miami, dan New York City di Amerika Serikat; hingga Calgary dan Toronto di Kanada.

Sementara itu, aplikasi yang paling banyak digunakan yaitu SHARE NOW (dahulu car2go) dan Witkar. Hingga tahun 2019. masing-masing telah digunakan di 25 dan 24 kota. Setelah itu ada juga E-Car yang beroperasi di 18 kota, SHARE NOW (dahulu DriveNow) 13 kota, serta 4UsMobile dan Delimobil yang keduanya ada di 9 kota.

Sejumlah aplikasi ini menggunakan merek mobil tertentu sebagai bagian dari kesatuan teknologi yang dikembangkan. Contohnya aplikasi car2go dan DriveNow yang dibeli dua perusahaan otomotif raksasa Daimler atau Mercedes-Benz dan BMW. Sejak Februari 2018, dua aplikasi itu melebur menjadi aplikasi baru bernama SHARE NOW.

Pendemi Covid-19

Di tengah pandemi Covid-19, inovasi car sharing tetap berkembang. Hingga tahun 2019, tercatat 66 persen dari total negara dengan operator car sharing memiliki kota yang mengoperasikan baik seluruhnya mobil sewa listrik maupun campuran dengan mobil konvesional. Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Swedia, dan Denmark menjadi negara dengan jumlah kota terbanyak.

AP Photo/Steven Senne
Petunjuk lokasi penjemputan untuk pengguna aplikasi ride-sharing di Logan International Airport, Boston, AS, 9 Februari 2021.

Bahkan, sudah ada 25 persen dari total negara dengan operator car sharing memiliki kota yang mengoperasikan sepenuhnya hanya mobil listrik. Rekor terbanyak ada di Italia dengan total 55 kota pengoperasi car sharing dengan 100 persen mobil listrik. Kemudian disusul Amerika Serikat 10 kota, Inggris sembilan kota, Jepang delapan kota, dan Perancis dua kota.

Banyaknya kota pengoperasi mobil listrik di Italia ini turut didukung inovasi sejumlah perusahaan aplikasi car sharing di negara itu. Khususnya inovasi dari dua aplikasi yaitu Share’NGo dan 4UsMobile. Share’NGo cukup unik karena menawarkan mobil listrik berukuran kecil produksi perusahaan asal China Zhidou (ZD) dengan model bisnis free-floating.

Sementara 4UsMobile lebih berfokus pada kemitraaan dengan kota-kota kecil. Dalam operasionalnya, perusahaan aplikasi ini banyak menerima hibah atau pinjaman dari pemerintah untuk mendukung layanan mereka. Armada yang mereka gunakan sebagian menggunakan mobil listrik buatan Eropa seperti Renault Zoe.

Meski sejumlah inovasi terus dikembangkan, pandemi Covid-19 juga membawa pengaruh di bisnis car sharing ini. Terlihat dari hasil permodelan Deloitte berjudul Future of Mobility Impact Covid-19. Layanan mobilitas mikro seperti bike sharing menunjukkan efek positif. Namun car sharing baik station-based, free-floating, dan peer-to-peer justru terdampak negatif.

Dalam skenario terbaik ketika kasus Covid-19 berkurang di tahun 2020, maka pemulihan akan mulai terjadi di awal tahun 2021 dan melewati titik impas (BEP) tahun 2022. Kondisi inipun dapat terwujud jika perator car sharing meresponnya dengan aplikasi prokotol kesehatan dengan pemasangan cairan antiseptik atau sanitasi armada secara rutin.

Sementara di skenario terburuk, ketika peningkatan kasus Covid-19 masih berlanjut hingga tahun 2021. Maka dampak negatif pada bisnis car sharing akan berlanjut lebih lama. Pemulihan hingga menyentuh BEP baru barangkali akan terjadi di awal tahun 2023. Kondisi inipun perlu didukung promosi untuk meyakinkan calon penyewa betapa aman menggunakan layanan car sharing.

Di balik dampak negatif pandemi Covid-19, kehadiran teknologi car sharing merupakan inovasi yang sangat baik. Khususnya dalam menjawab persoalan klasik yang terjadi di banyak negara akibat maraknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Jika inovasi ini terus bertahan, sistem transportasi yang jauh lebih bagus akan terwujud kelak ketika Pandemi Covid-19 berakhir. Lantas, model car sharing mana yang paling cocok di Indonesia?