Mengagumi Denyut Jakarta yang Melambat

Langit biru, jalan lengang, udara segar. Lebih dari sepekan sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta diberlakukan, kondisi Ibu Kota menjadi lebih lengang, jauh dari kesan hiruk pikuk Jakarta sebelum pandemi Covid-19.

Jauh dari deru mesin dan asap knalpot yang menohok paru-paru hingga sesak. Tidak ada lagi untaian kendaraan yang saling serobot memacu waktu. Langit mendadak bersih dari tumpukan polusi yang selama ini menyembunyikan panorama alam yang cantik.

Presiden Joko Widodo, melalui video konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (31/3/2020) mengumumkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai jalan untuk memutus rantai penyebaran virus korona tipe baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19. Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah tidak memilih lockdown atau karantina secara nasional, sebagai pilihan yang tepat bagi Indonesia.

Gayung bersambut. Kebijakan itu direspons positif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebagai wilayah yang masuk dalam zona merah penyakit Covid-19. Gubernur Anies Baswedan, Jumat (10/04/2020), mengimplementasikan PSBB di wilayah DKI Jakarta.

Seluruh tempat wisata dan hiburan ditutup, aktivitas perkantoran diliburkan, kegiatan ekonomi dikurangi, transportasi publik dibatasi. Pengawasan wilayah-wilayah perbatasan dengan Jawa Barat dan Banten (Tangerang Raya) pun diperketat.

Di Stasiun Palmerah, Jumat (17/4/2020) pukul 07.30 WIB, tak lagi terlihat kerumunan ojek daring yang menutup ruas jalan menanti penumpang. Gerbong-gerbong KRL commuterline pun kosong melompong tak seperti sebelum pandemi ini terjadi. Tidak ada lagi desakan penumpang asal Serpong atau Rangkasbitung yang biasanya membanjiri stasiun. Kursi-kursi yang biasanya jadi bahan rebutan, kini teronggok tak bertuan.

Setali tiga uang, stasiun transit Tanah Abang pun sepi tak bergeliat, jauh dari kerumunan penumpang seperti biasanya. Alih-alih berebut tempat duduk, jika seluruh penumpang selonjoran pun gerbong masih cukup lapang. Benar-benar bukan Tanah Abang yang sebenarnya.

Di luar stasiun, beberapa tukang ojek daring dan angkutan umum masih ada yang mencoba mencari peruntungan. Mereka mencari penumpang, meski lebih banyak menghabiskan waktu untuk mangkal dan sisanya habis untuk menghayal.

Di bawah jembatan penyeberangan, sopir bajaj dan mikrolet duduk di atas trotoar beralas potongan kertas seadanya. Entah apa yang mereka bicarakan, namun dari raut wajahnya mereka tak tampak senang. Sesekali pandangannya menatap gelas kopi yang mulai kosong. Namun penumpang pun tak kunjung datang.

Bagaimana tidak, perkantoran diliburkan dan seluruh pertokoan di kawasan Tanah Abang pun tak diizinkan beroperasi. Hanya beberapa pedagang kaki lima yang tetap membuka lapaknya di sepanjang trotoar. Itu pun sepi pembeli.

Terdengar suara pedagang menawarkan barang kepada setiap pejalan kaki yang melintas. “Silahkan kak dilihat dulu celananya boleh”. Begitu terus satu sama lain saling sahut seperti mesin pelantang otomatis yang telah diprogram.

Pun di jembatan serba guna, seluruh kios pedagang yang berderet di tengah sepi tak bertuan. Bisa dibayangkan jembatan yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang dan Pasar Tanah Abang ini biasanya dipenuhi lautan manusia yang berjalan menuju ke banyak arah. Mungkin lebih rumit dari rute penerbangan yang terpantau dalam monitor Air Traffic Controller (ATC).

Kini hanya ada tiga petugas keamanan duduk di ujung jembatan memantau radio komunikasi yang teronggok di atas meja. Ada beberpa pejalan kaki, satu orang ibu dan anaknya yang entah darimana dan hendak kemana.

Bergerak 10 kilometer ke arah utara, suasana hening dijumpai pula di kawasan Kota Tua Jakarta. Di depan pintu Stasiun Jakarta Kota tak ada kerumunan mikrolet, bajaj, dan ojek yang mangkal menanti penumpang.

Sepeda-sepeda onthel tidak lagi tampak berseliweran. Sepeda hias noni-noni Belanda dengan warna-warni menohok yang biasa disewakan di Taman Fatahillah, tak lagi tampak.

Manusia patung yang berkostum aneka rupa tak lagi tampak di sudut-sudut taman. Para pencari rupiah di Taman Fatahillah menyingkir entah kemana. Hanya ada petugas kemanan berjaga yang juga tampak kesepian.

Pusat perkantoran di sepanjang Jalan Thamrin hingga Sudirman pada jam sibuk tak seperti biasanya juga sepi, terlihat sangat kontras. Mirip seperti suasanya Jakarta saat ditinggal mudik pada Idul Fitri atau tahun baru.

Deru suara kota jauh dari hingar bingar, tak terdengar pula suara klakson atau sirine mobil pengawal yang biasanya berbunyi hampir setiap saat. Moda trasportasi publik di kawasan ini pun turut menyepi.

Transportasi massal, MRT, kini bergerak kian berjarak. Rangkaian kereta berangkat setiap 20 menit sekali dari biasanya tiap 5-10 menit sekali. ­­­

Di Terminal Blok M, hanya beberapa bus yang beroperasi, seperti bus Transjakarta rute Blok M-Kota, bus Mayasari Bakti tujuan Ciledug dan bus Damri ke arah Bekasi. Tak terlihat lalu-lalang penumpang seperti biasanya.

Interval keberangkatan antar armada pun jadi lebih lama, dari 10 menit menjadi 30 menit sekali. Di luar terminal pun tak banyak metro mini atau taksi yang mangkal.

Tetap Ramai

Kondisi yang berbeda ditemukan di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Jakarta. Salah satunya di Ciputat, Tangerang Selatan. Kondisi lalu lintas di jalan raya Jakarta-Bogor ini masih terbilang ramai oleh angkutan umum, kendaraan pribadi dan sepeda motor. Seolah tak tampak pandemi ini sedang terjadi di Indonesia.

Pengguna jalan tampak biasa, bahkan sepintas masih ditemukan warga yang tak menggunakan masker, apalagi helm, yang sudah biasa mereka lupakan. Tangerang Raya sendiri baru memberlakukan PSBB, Sabtu (18/4/2020), menyusul DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Demikian halnya dengan Kota Depok, Jawa Barat, pengawasan di perbatasan wilayah diperketat sejak hari pertama diberlakukan PSBB, Rabu (15/4/2020). Petugas kepolisian, Dinas Perhubungan dan Satpol PP memeriksa setiap kendaraan yang melintas.

Salah satu titik pengawasan yaitu di Jalan Raya Sawangan-Parung di kawasan Cinangka. Wilayah ini berbatasan antara Depok dan Tangerang Selatan. Petugas kepolisian dan Dinas Perhubungan beberapa kali menyetop pengendara yang kedapatan tak mengenakan masker. Jika ingin tetap melanjutkan perjalanan, mereka diwajibkan mengenakan masker. Jika tidak, mereka diminta untuk putar balik.

Demikian pula dengan angkutan umum, penumpang yang kedapatan duduk di kursi depan, diminta untuk pindah ke belakang. Pun kendaraan pribadi yang mengangkut penumpang berlebih, diminta untuk putar balik atau penumpang diminta untuk turun sebagian.

Jakarta yang macet dan semrawut perlahan dirindukan para pejuang hidup yang mencari mimpi di tanah harapan. Entah karena alasan bosan di rumah dan tak bisa berpergian, atau rindu makan bareng dengan teman satu kantor.

Atau jangan-jangan karena selama ini tubuh kita telah terlatih untuk selalu bangun pagi dan berjubel di transportasi umum, sehingga ada sesuatu rutinitas yang hilang. Namun bagi sebagian orang, kerinduan semacam itu tak punya arti apa-apa. Karena jauh lebih penting untuk memastikan dapur tetap mengepul, dan keluarga di rumah tetap bisa menyambung hidup, hingga pandemi pergi.

Doa dan harapan semua warga bangsa, menanti pandemi segera usai. Penyakit Covid-19 yang telah begitu banyak mengubah hidup dan tatanan kehidupan manusia ini segera hengkang, agar denyut Jakarta kembali pada iramanya, dan Indonesia kembali seperti sedia kala.