Mengapa Restorasi Gambut Belum Mampu Cegah Kebakaran Hutan?

Triliunan rupiah digelontorkan demi memulihkan gambut. Tahun depan, program restorasi terhadap 2,6 juta hektar gambut rusak di Sumatera, Kalimantan, dan Papua akan tuntas. Namun, menjelang berakhirnya program, tragedi kebakaran dan kabut asap malah berulang kembali.

Kebakaran tahun ini bahkan terindikasi berdampak lebih parah ketimbang 2015. Sebab, kebakaran di atas gambut meluas signifikan, bahkan melahap sebagian wilayah intervensi restorasi.

Luasnya api dan pekatnya abu sampai menimbulkan fenomena langit gelap berwarna kemerahan, Sabtu (21/9/2019), di wilayah Muaro Jambi. Jerebu (abu kebakaran) yang memenuhi udara melampaui level berbahaya, bisa menimbulkan kematian tiba-tiba!

kompas/ irma tambunan
Kebakaran telah menghanguskan ratusan hektar hamparan gambut di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayunglencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Minggu (18/8/2019). Asap pekat yang ditimbulkan darinya bahkan telah mengakibatkan kabut asap di wilayah tetangga, yakni Jambi. Upaya terpadu mendesak dilakukan untuk menanggulangi kebakaran.

Program restorasi gambut yang digadang-gadang mampu mencegah berulangnya kebakaran, malah terbenam oleh fakta lain. Sepanjang Januari hingga pertengahan September 2019, kebakaran justru telah meluas hingga 328.724 hektar. Sebagian terjadi pada areal gambut.

Tragedi itu menimbulkan kerugian lingkungan Rp 130 triliun. Belum termasuk ongkos kesehatan yang harus ditanggung para korban asap, penundaan penerbangan, dan kerugian ekonomi lainnya.

Kebakaran bahkan turut melenyapkan berbagai infrastruktur dalam program restorasi. Lebih dari 30 unit sekat kanal habis dimakan api di wilayah ekosistem gambut Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Belum lagi, proyek revegetasi di Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang yang turut hangus.

Sekat kanal yang secara teori membasahi gambut ternyata belum mampu membendung api. Di Kalimantan Tengah, sekat-sekat yang dibangun dari kayu  justru menjadi jalan api menyeberang dan menjalari sekitarnya. Itu terjadi di Desa Henda dan Tanjung Taruna, Kalimantan Tengah, yang sekat kanal dan sumur bornya terbakar.

Di Muara Medak, Sumatera Selatan, meski telah dibangun 169 sekat kanal untuk membasahi areal gambut dalam, kebakaran tetap meluas. Tragedi tahun 2015 akhirnya kembali berulang. Kebakaran di wilayah itu menjadi salah satu penyumbang asap terparah tahun ini.

Berdasarkan rekapitulasi data BPBD Kalimantan Selatan sampai 21 September, tercatat 1.527 kali kebakaran yang melanda 4.706 hektar (ha) hutan dan lahan. Sekitar 2.000 ha di antaranya terjadi di areal gambut.

kompas/ irma tambunan
Kebakaran merambat di lokasi restorasi gambut di pinggir Hutan Lindung Gambut Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (5/9/2019).

Lahan gambut yang terbakar di sekitar Bandara Syamsudin Noor di Banjarbaru seluas 200 ha kerap menyelimuti bandara dengan kabut asap.

Saat ini, satuan tugas darat dan udara fokus membasahi gambut di sekitar bandara. ”Lebih dari 600 personel gabungan dikerahkan ke sana,” ujar Wahyuddin, Kepala BPBD Kalsel.

Lebih dahsyat

Peneliti gambut dari Universitas Jambi Asmadi Saad mengatakan, kebakaran gambut tahun ini bisa lebih dasyat dampaknya dibandingkan 2015. Sebab, kebakaran banyak terjadi pada kubah-kubah gambut alias lapisan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter.

kompas/ jumarto yulianus
Sebuah pesawat bersiap lepas landas saat kabut asap masih menyelimuti Bandar Udara Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (11/9/2019) pagi.

Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan material organik dari sisa-sisa tanaman serta jasad hewan yang membusuk. Penumpukan selama ribuan tahun membentuk proses endapan yang tebal.

Indonesia memiliki 15,4 juta hektar gambut. Hamparannya banyak tersebar pada rawa, cekungan antara dua sungai, pesisir, ataupun dataran tinggi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Gambut memiliki kestimewaan, yakni mampu menyerap karbon dua kali lipat dari tanah mineral. Jika kondisinya terjaga, gambut adalah kekuatan besar yang menjaga bumi dari ancaman perubahan iklim.

Sebaliknya, gambut yang terbakar berdampak pada lepasnya karbon dalam jumlah besar pula. Kebakaran di atas gambut berarti memperparah dampak pemanasan global.

Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 telah menghancurkan 2,7 juta hektar lahan dengan lebih dari 800.000 hektar di antaranya merupakan gambut dalam. Hancurnya lingkungan ini mengakibatkan kerugian lebih dari Rp 225 triliun.

Berkaca dari tragedi itulah, pemerintah mengambil langkah restorasi gambut. Lewat pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG), upaya restorasi ditargetkan dapat mencapai 2,6 juta ha pada 2020. Usaha ini mencakup wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Sejak 2016, restorasi telah menjangkau 679.901 ha. Tahun ini, dana Rp 300 miliar kembali dialokasikan untuk membangun 1.160 sekat kanal, 2.935 sumur bor, serta revegetasi gambut pada 7 provinsi di atas.

Turun drastis

Namun, pada kemarau tahun ini, tinggi muka air (TMA) gambut justru surut merata pada hampir seluruh areal restorasi di Sumatera dan Kalimantan. Sistem pemantauan muka air gambut Sipalaga telah merekam kondisi itu sejak awal Juli hingga awal Agustus lalu setinggi 0,97 sentimeter per hari.

Pada sebagian besar lokasi restorasi, TMA surut melewati batas ideal 40 sentimeter, bahkan anjlok pada sebagian kanal yang telah disekat. Melihat situasi dan prediksi kemarau yang masih akan berlangsung panjang tahun ini, para pihak diingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan.

Namun, apa yang terjadi kemudian?

Sejak akhir Agustus, kebakaran gambut nyaris tak terkendali lagi. Api menyambar dengan cepat. Bunga-bunga api melompat ke berbagai penjuru.

Manajer Gambut WWF Sumatera Zainuddin menceritakan, saat berlangsung pemadaman kebakaran di wilayah penyangga HLG Londerang, kecepatan angin begitu tinggi. ”Dalam beberapa jam saja, areal yang terbakar sudah meluas 2,5 ha,” katanya.

Keesokan harinya, api ternyata menyambar masuk ke dalam areal restorasi gambut HLG tanpa terdeteksi alat pemantau (EWS). Di sana, hamparan revegetasi dan sejumlah sekat kanal hangus terbakar.

kompas/ irma tambunan
Kebakaran merambat di lokasi restorasi gambut di pinggir Hutan Lindung Gambut Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (5/9/2019). Sekat kanal dan sekeliling alat pemantau kebakaran (EWF) yang dibangun WWF ikut hangus dilalap api.

Kalangan pelaksana restorasi gambut menyadari masih adanya celah alias kelemahan dalam pelaksanaan program itu. Sebagai contoh di Kalteng, meski sudah dibangun sekat kanal dengan tujuan agar air tetap terjaga, kenyataannya tetap terjadi penurunan drastis TMA gambut.

Pada dua lokasi yang menjadi fokus kegiatan restorasi, yakni di Desa Tanjung Taruna dan Tumbang Nusa, terjadi penurunan TMA hingga di bawah 80 cm. Mengeringnya gambut itulah yang kemudian memicu tumbuhnya api.

Selama mengikuti patroli kebakaran, Kompas mendapati sumur-sumur bor tidak pernah dimanfaatkan sebagai upaya pencegahan awal. Padahal, di wilayah itu telah dibangun 12.100 sumur bor yang semestinya dapat optimal membasahi lahan untuk mencegah terjadinya kebakaran. Sayangnya, sumur bor hanya digunakan setelah kebakaran telanjur berkobar.

Warga Henda, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menemukan sumur bor yang dibuat asal-asalan di hutan dekat kanal bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995, Rabu (4/9/2019). Sumur bor itu hanya merupakan tiang pipa besi yang panjangnya tak lebih dari 2 meter.

Deputi II Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan BRG Alue Dohong menjelaskan, pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan infrastruktur pembasahan gambut lebih optimal. ”Untuk pemeliharaan dan operasi sudah diserahkan ke masyarakat sehingga masyarakat harus mengoperasikannya,” ungkap Alue.

Areal gambut Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin juga terbakar hingga 400 hektar. Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel Genman Suhefti Hasibuan, kebakaran tidak terlepas dari berbagai aktivitas liar. ”Kami kekurangan petugas untuk mengawasinya,” katanya.

Timbunan kanal dirusak warga untuk jalur transportasi. Akibatnya, air gambut terbawa keluar kawasan. Pada musim kemarau, lapisan itu menjadi kering.

Kepala Subkelompok Kerja BRG Sumsel Onesimus Patiung menyebut, luas kebakaran itu turun dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 60.000 hektar. Namun, ada soal lain terkait restorasi.

Penyerapan dana restorasi minim. Pada 2017, dana yang dialokasikan bahkan tidak terserap sama sekali. Adapun pada 2018 hanya terserap 72 persen dari alokasi Rp 44 miliar.

Sejumlah areal masih saja terbakar walaupun sudah dibangun program pembasahan. Di kawasan Muara Medak, ada lima sekat kanal rusak oleh aktivitas pembalakan liar. Empat sekat lainnya tak berfungsi baik.

kompas/ lucky pransiska
Pembangunan sekat kanal dan embung oleh 325 anggota TNI diantara lahan yang habis terbakar di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Jumat (30/10/2015). Di lokasi tersebut beberapa titik api berlum berhasil dipadamkan. Akibatnya kabut asap tipis masih menyelimuti sebagian besar wilayah Palangkaraya.

Ia meyakini, pembangunan sekat kanal sebenarnya efektif membasahi gambut. Pembasahan di SM Padang Sugihan bahkan dianggap menunjukkan keberhasilan meminimalisir titik api pada total areal 88.000 hektar.

Guru Besar Fakultas Pertanian Magister Ilmu Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak Gusti Anshari mengatakan, tidak mudah memulihkan gambut. Secara teknis, kondisi gambut yang telah dikeringkan dan terbakar mengalami kerusakan. Akibatnya, membangun sekat kanal tidak serta merta memulihkannya.

Sifat gambut berubah seiring terjadinya gangguan, termasuk jika dibangun jalan, dibukakan kanal, atau dilakukan beragam aktivitas di atasnya. ”Akhirnya gambut disekat seperti apa pun tetap kering karena sudah banyak pembukaan lahan dan saluran pembuangan,” ujarnya.

kompas/ heru sri kumoro
Lahan gambut yang sebagian ditanami sawit di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, terbakar, Kamis (19/9/2019). Kebakaran di lahan gambut tersebut susah dipadamkan. Asap dari kebakaran ini menyebar ke sejumlah daerah seperti ke Pekanbaru dan daerah di sekitarnya.

Dalam kondisi gambut kering, bara api akan menyebar lebih cepat. Kebakaran menjadi tak terkendali. Hanya hujan deras yang mampu mengendalikan.

Apalagi, kemarau baru akan berakhir pada pertengahan Oktober, seperti disebutkan Ketua Tim Pembekalan Karhutla BNPB Edison Simanjuntak. Jika tanpa intervensi pemadaman khusus dan terpadu, hasilnya tidak akan optimal di lapangan.

Ancaman kebakaran sebenarnya sejak awal disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Namun, masih ada saja daerah yang lambat mengantisipasi. Pencegahan dini terbilang minim, bahkan ada daerah yang abai. Mereka enggan mengalokasikan dana pencegahan kebakaran.

”Apa harus menunggu daerahnya dikerubungi asap baru dana daerah keluar? Mestinya kalau sudah keadaan begini, harus cepat tindakannya,” katanya.

Pakar Karhutla dan Guru Besar IPB University Bambang Hero Saharjo menyebut implementasi restorasi di lapangan belum terpadu. Hasilnya pun menjadi tak optimal. Selain minimnya pengamanan pasca-pembangunan, ada pula masalah transparansi.

Hingga kini, pemerintah enggan membuka data soal pelaksanaan restorasi pada areal konsesi. ”Harusnya jangan ditutup-tutupi. Publik perlu mengetahui hasilnya,” katanya.

kompas/ syahnan rangkuti
Kabut asap tebal melanda Kota Siak di Kabupaten Siak, Sabtu (21/9/2019). Jarak pandang diperkirakan hanya mencapai 500 meter. Asap menyebabkan Jembatan Sultanah Latifah di latar belakang terlihat samar-samar.. Akibat asap yang sangat pekat, panitia lomba balap sepeda Tour de Siak, menghentikan pertandingan yang sudah berlangsung ditengah jalan. Kesehatan atlet lebih berharga daripada lomba.

Dari tragedi 2015, Tim Gabungan Audit Kepatuhan Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan melihat kuatnya dugaan kelalaian dan kesengajaan perusahaan serta pemerintah daerah. Hasil audit pada enam perusahaan perkebunan dan kehutanan serta enam pemda di Riau memperlihatkan tidak ada satu pun yang patuh.

Bambang Hero yang saat itu merupakan anggota tim mengungkapkan adanya manajemen perusahaan yang baru membeli alat pemadam dan membangun menara pantau setelah didatangi tim audit. Pemda tampaknya tidak melakukan fungsi pengawasan dengan serius.

Senada dengan Bambang, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, mendapati kebakaran gambut paling luas tahun ini terjadi pada areal konsesi hutan tanaman industri. Lokasi kebakarannya pun berulang dari tahun 2015.

Itu menunjukkan, pemegang izin tak mampu menjaga tinggi muka air gambut pada kondisi basah yang ideal. Aturan menyebutkan, kewajiban mempertahankan muka air gambut minimal 40 cm dari permukaan. ”Namun, itu tidak dipatuhi para pemegang konsesi,” katanya.

Soal kepatuhan menyiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya penanggulangan kebakara merupakan aturan mutlak. Itu pun tidak dipatuhi.

Kepala BRG Nazir Foead menilai program restorasi tidak gagal, tetapi ada celah yang harus dievaluasi dan dibenahi. Ia mengakui, dari target 2,7 juta hektar areal restorasi, pihaknya hanya berwenang penuh menjalankan program pada areal nonkonsesi seluas 1 juta hektar.

kompas/ zulkarnaini
Siswa dan warga di Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau menggunakan masker untuk menghindari paparan asap dampak dari kebakaran lahan, Senin (25/2/2019). Kabut asap kian parah sehingga sekolah terpaksa diliburkan. Kebakaran lahan gambut di Rupat kian parah. Luas lahan yang terbakar bertambah. Api dengan cepat merambat ke kebun-kebun sawit dan karet warga. Sejak Januari hingga 25 Februari 2019 luas lahan yang terbakar mencapai 996 hektar.

Seluas 1,7 juta hektar lainnya berada dalam areal konsesi perkebunan dan kehutanan yang dilaksanakan dalam koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ”Kami hanya melakukan supervisi pada areal konsesi,” katanya.

Kondisi ini tentu saja tidak mampu menjamin keberhasilan restorasi secara keseluruhan. Restorasi pada wilayah konsesi dapat menjadi celah. ”Kami bangun sekat kanal sisi yang satu dari kawasan hidrologis gambut, tetapi bisa jadi terjadi kebocoran pada sisi yang lain,” ujarnya.

Menurut dia, restorasi ke depan hendaknya jangan lagi parsial, tetapi menyeluruh dalam bentang alam sebagai kesatuan hidrologis gambut. Dengan demikian, restorasi akan lebih terukur. Jangan sampai dana telah keluar begitu banyak, tetapi api masih berkobar. Masyarakat pasti tidak mau selalu menjadi korban.