Mengapa Separuh Lebih Warga Indonesia Sulit Makan Bergizi?

Mengandalkan pekerjaannya sebagai peladang dengan penghasilan Rp 100.000 per bulan serta bantuan uang tunai dari pemerintah, Paulina Bebe (50), warga Kodi, Sumba Barat Daya dan suaminya hanya bisa membeli sumber protein seperti telur ayam seminggu sekali untuk makan enam anaknya.

Anak bungsunya, Aldianus (2,5) sejak lahir sakit-sakitan. Hingga Juni lalu, ia menderita tuberculosis kelenjar (TB). Kini meski sudah lepas dari TB, batuk pilek dan panas sering sekali dialami Aldianus.

Imelda Tamo Inya, ahli gizi setempat, mengatakan, keterbatasan ekonomi menjadi tantangan utama pemenuhan gizi bayi di kampungnya. “Sumber karbo mungkin memenuhi, tetapi vitamin, mineral, protein itu sangat kurang. Untuk anak berusia dua tahun yang gizi buruk itu seharusnya makan telur sehari dua kali. Walaupun sudah kita terus ingatkan, kalau orang tua tidak ada uang ya tidak bisa dibeli juga,” kata Imelda.

Ketidakmampuan memenuhi gizi harian seperti yang dialami keluarga Paulina Bebe, juga dialami banyak warga Indonesia lainnya. Lebih dari setengah penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang atau 68 persen populasi, dapat digolongkan tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Tak mengherankan karena biaya pangan sehat di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara.

Masalah itu diperburuk dengan ketimpangan harga pangan yang memperparah risiko anak tengkes di Indonesia. Analisis Kompas menunjukkan bahwa ada korelasi kuat (0,6) antara proporsi warga yang tidak mampu membeli bahan makanan gizi berimbang dengan prevalensi tengkes provinsi tersebut. Makin sedikit warga daerah tersebut yang mampu memenuhi gizi berimbang hariannya, makin tinggi risiko anak tengkes di daerah tersebut.

Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, ongkos biaya pangan berimbangnya sebesar Rp 19.173 per hari atau Rp 575.192 per bulan. Dari ongkos tersebut, ada 78 persen atau 4,37 juta penduduknya yang tingkat ekonominya tergolong tidak mampu membeli bahan pangan gizi seimbang.

Dengan persentase 78 persen ini, NTT menjadi provinsi dengan proporsi populasi yang tidak mampu membeli pangan gizi seimbang terbesar di Indonesia. NTT juga memiliki prevalensi tengkes menurut survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 tertinggi dengan angka 37,8 persen.

Namun jika, ongkos biaya pangan seimbang di NTT bisa diturunkan, maka akan lebih banyak warga yang mampu membeli pangan gizi seimbang.