Mengenal Lebih Dalam Virus Korona Penyebab Covid-19

Selama beberapa bulan terakhir, kita dibombardir dengan info soal virus korona. Namun, seberapa dalam kita mengenal virus penyebab penyakit Covid-19 itu?

Virus korona atau human coronavirus setidaknya telah menyebabkan tiga wabah besar penyakit di dunia selama dua dekade terakhir, yaitu SARS, MERS, dan Covid-19. Pemahaman yang tepat diikuti usaha penelitian lanjutan terhadap karakteristik virus diperlukan untuk keberhasilan penanganan di masa mendatang.

Komite Internasional Taksonomi Virus hingga Oktober 2018 mengidentifikasi ada 39 spesies virus korona. Infeksi pertama terjadi pada 1965 oleh jenis virus korona HCoV-229E. Terbaru, muncul virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Sejak Desember 2019, terjadi peningkatan kasus pneumonia yang disebabkan virus korona jenis baru, yaitu SARS-CoV-2.  Penularan penyakit Covid-19 merupakan pandemi. Disebut pandemi salah satunya karena wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografis yang luas.

Virus korona tipe baru yang penyebarannya begitu masif di berbagai belahan bumi ternyata terus bermutasi. Sejauh ini telah ditemukan tiga varian utama mutasi virus. Deteksi tersebut dilakukan menggunakan 4.008 urutan genom lengkap dari sampel SARS-CoV-2 di 54 negara yang dikumpulkan sejak Desember 2019 hingga April 2020.

AFP PHOTO/NATIONAL INSTITUTE OF ALLERGY AND INFECTIOUS DISEASES, NIH
Gambar yang dirilis pada 29 April 2020 ini menunjukkan sel apoptosis (merah) yang terinfeksi dengan virus SARS-COV-2 (kuning), diisolasi dari sampel pasien di AS.

Hingga 17 April 2020, total kasus terkonfirmasi mencapai 2.193.554 kasus dengan mortalitas sekitar 6,7 persen (147.378 jiwa). Seluruh kontinen, termasuk Greenland, telah melaporkan kasus infeksi virus korona.

Saat ini ada 210 negara/kawasan dengan kasus virus korona. Di Indonesia, sejak dua kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020, jumlah kasus terus meningkat. Per 17 April 2020 terdapat 5.923 kasus dengan korban meninggal sebanyak 520 orang. Semua provinsi telah melaporkan kasus pasien positif.

Virus korona memiliki pola penyebaran yang luas dan berjalan dengan cepat, melebihi SARS atau MERS. Upaya pengendalian belum berjalan efektif sebab proses mengenali virus tersebut masih berjalan.

Sebagai langkah awal mengenali virus melalui taksonominya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan nama resmi virus korona tipe baru dan penyakit yang disebabkan virus tersebut. Secara resmi, nama virus korona disebut dengan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), sementara penyakit yang muncul disebut dengan Covid-19, dengan berbagai simtom, mulai dari demam, batuk, hingga sulit bernafas dan pneumonia.

Nama SARS-CoV-2 dipilih karena virus tersebut secara genetik memiliki keterkaitan dengan virus yang menyebabkan wabah SARS tahun 2003. Dalam komunikasi risiko, WHO tidak memakai istilah SARS kepada publik, tetapi virus Covid-19. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi ambiguitas di tengah masyarakat.

Nama virus dan penyakit yang disebabkannya sering kali memiliki nama berbeda, seperti virus HIV yang menyebabkan AIDS. Sebagian besar masyarakat lebih mengetahui nama penyakit dibandingkan dengan nama virus yang menyebabkannya.

Penamaan virus didasarkan pada struktur genetiknya yang bertujuan untuk memfasilitasi pengembangan tes diagnostik, vaksin, dan obat-obatan. Ahli virologi dan komunitas ilmiah yang melakukan riset wabah virus korona dinamakan Komite Internasional tentang Taksonomi Virus (ICTV).

Sedikit berbeda dengan virus, penamaan berbeda penyakit yang disebabkan virus tertentu bertujuan untuk membahas upaya pencegahan, penyebaran, penularan penyakit, keparahan infeksi, dan pengobatannya.

Karakter virus korona

Virus korona sangat lazim menyebabkan demam terhadap manusia. Pada orang dewasa, gejala infeksi muncul ditandai antara lain dengan gejala batuk, nyeri tenggorokan, dan demam. Kasus terberat dari infeksi adalah gangguan akut pada fungsi paru-paru, seperti pneumonia.

NIAID-RML via AP
Gambar dari mikroskop elektron yang diperoleh pada Februari 2020 menunjukkan gambar dari virus korona baru. Juga dikenal sebagai SARS-CoV-2, virus ini menyebabkan COVID-19. Sampel diisolasi dari seorang pasien di AS.

Potensi infeksi virus korona terhadap manusia telah dimulai sejak hampir sembilan dekade lalu. Virus korona pertama kali ditemukan pada tahun 1931, sementara infeksi pertama kepada manusia terjadi tahun 1965 oleh jenis virus HCoV-229E.

Dalam penelitian selanjutnya, hingga wabah SARS-CoV tahun 2003, baru ada satu virus korona baru yang diketahui bersifat patogen infeksius, yaitu HCoV-OC43. Namun, setelah munculnya SARS-CoV, ada dua jenis virus lagi yang terdeteksi, yaitu HCoV-NL63 dan HCoV-HKU1.

Proses perkembangan virus korona terus berlanjut dengan munculnya wabah MERS-CoV tahun 2012. Tak berselang lama, kurang dari satu dekade, virus korona kembali mewabah hingga level pandemi dengan jenis SARS-CoV-2 dan menyebabkan penyakit Covid-19.

Secara umum, penularan paling efektif virus korona antarmanusia adalah droplet atau cairan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin serta yang menempel di benda sekitar.

Secara umum, penularan paling efektif virus korona antarmanusia adalah droplet atau cairan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin serta yang menempel di benda sekitar. Penularan antarmanusia yang terjadi dengan masif membuat pembatasan jarak dan sosial harus dilakukan dengan ketat.

Oleh karena itu, upaya preventif perlu dilakukan dengan menjaga jarak berkisar 1-2 meter. Cairan yang mengandung virus korona yang keluar melalui batuk atau bersin dapat menempel di bagian mulut atau hidung seseorang, kemudian terhirup saat mengambil napas dan masuk ke paru-paru.

Berdasarkan data dari WHO, organ pernapasan menjadi sasaran utama infeksi virus korona. Sebanyak 87,9 persen pasien mengalami gejala demam, batuk kering (67,7 persen), dan kelelahan (28,1 persen). Penyakit paling umum setelah terinfeksi adalah pneumonia.

Tidak semua pasien mengalami pneumonia atau gangguan pernapasan akut. Setidaknya 81 persen pasien mengalami gejala ringan infeksi virus korona. Sekitar 14 persen mengalami gejala sedang (severe cases), seperti sulit bernapas, kekurangan oksigen dalam darah, serta penurunan fungsi paru-paru. Sementara 5 persen lainnya dalam kondisi kritis.

Banyak orang belum paham gejala infeksi virus korona yang mirip dengan penyakit flu. Kewaspadaan belum terbangun sepenuhnya di tengah masyarakat. Pola pikir yang menganggap remeh gejala infeksi menjadi ancaman makin meluasnya penyebaran virus korona.

Tak heran penyebaran virus korona mengalami percepatan hingga dua kali lipat. Satu orang positif Covid-19 mampu menularkan hingga hampir ke empat orang. Saat ini jumlah kasus global naik dua kali lipat dalam waktu 13 hari, sementara jumlah kematian membutuhkan waktu lebih cepat, 11 hari.

Potensi penyebaran makin membesar saat pola infeksi sudah mencapai tingkat komunitas. Proses penyebaran komunitas (community spread) menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan sebab seseorang bisa terinfeksi dengan tanpa sadar kapan dan di mana hal tersebut terjadi.

Segala upaya dilakukan untuk mencegah agar tingkat reproduksi virus dan penularan virus menurun, seperti kebijakan lockdown, karantina, hingga kebijakan khas Indonesia yang disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keberhasilan menghentikan penyebaran virus membutuhkan upaya keras semua pihak.

Wabah korona

Dua wabah sebelum Covid-19, yaitu SARS (2002) dan MERS (2012), telah mengeskalasi status kedaruratan global. Dibandingkan dengan Covid-19, kedua wabah tersebut memiliki beberapa persamaan dari sisi agen pembawa, pola penularan, dan gejala.

Hannah A. Bullock, Azaibi Tamin/CDC via AP
Gambar dari mikroskop elektron ini menunjukkan virus korona baru (diberi warna biru), yang diambil dari sampel kasus Covid-19 pertama di AS.

Agen pembawa kedua wabah tersebut adalah satwa liar yang kemudian menginfeksi manusia karena mengonsumsi satwa tersebut. Virus SARS-CoV bersumber dari kelelawar, kemudian berpindah ke musang. Sementara MERS-CoV menginfeksi manusia melalui unta yang ditularkan kelelawar.

Khusus SARS-CoV-2, satwa pembawa virus masih diteliti, tetapi diperkirakan berasal dari kelelawar dan trenggiling. Upaya penyelidikan jalur perpindahan virus penting karena agen terakhir pembawa virus ke manusia belum tentu menjadi sumber utama virus tersebut.

Pola penularan ketiganya pun memiliki kesamaan, yaitu melalui droplet atau cairan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin. Materi virus dapat dengan mudah masuk ke tubuh manusia tanpa disadari.

Virus-virus itu masing-masing membawa dampak serius di tingkat global. Wabah SARS menjadi ancaman global pada pertengahan Maret 2003 setelah muncul kasus pertama pada November 2020 di Provinsi Guangdong, China.

NIH/Handout via REUTERS
Gambar mikrograf elektron yang dipindai dari sel apoptosis (biru) yang terinfeksi virus SARS-COV-2 (merah). Gambar diambil di NIAID Integrated Research Facility di Fort Detrick, Maryland, AS.

Periode awal wabah, 1 Februari 2003 hingga 17 Maret 2003, WHO mencatat ada 167 kasus positif dan 4 kasus kematian di 7 negara, yaitu Jerman, Kanada, Singapura, Hong Kong, Swiss, Thailand, dan Vietnam.

Saat infeksi dinyatakan berhenti, total ada 8.098 kasus di 26 negara dengan jumlah kematian sebanyak 774 jiwa. Kondisi epidemi memaksa dunia berada dalam situasi tak menentu, seperti disrupsi sosial dan ekonomi yang besar.

Meskipun status endemi sudah berakhir, para ahli tidak berhenti untuk memetakan jalur penularan virus SARS-CoV. Salah satu fokus riset adalah menemukan satwa yang menjadi reservoir atau pembawa virus.

Menurut WHO, terdapat tiga satwa liar pembawa virus, yaitu musang kelapa bertopeng Himalaya (Paguma larvata), musang China (Melogale moschata), dan anjing rakun (Nyctereutes procyonoides). Di luar itu, dua spesies hewan peliharaan yang didapati membawa virus adalah musang (Mustela furo) dan kucing (Felis domesticus).

Berselang satu dekade, virus korona menyebabkan wabah MERS di wilayah Timur Tengah. Negara pertama yang melaporkan adalah Arab Saudi pada tahun 2012. WHO mencatat setidaknya 35 persen pasien positif meninggal.

Total kasus infeksi pada periode 2012 hingga 2019 mencapai 2.494 kasus dengan 858 kematian. Wabah ini telah menyerang 27 negara, didominasi negara-negara Timur Tengah. Binatang unta diperkirakan menjadi sumber infeksi manusia.

Sementara wabah Covid-19 telah merenggut korban jiwa sebanyak 128.892 jiwa, jauh melebihi SARS dan MERS. Hingga saat ini, pandemi belum bisa dipastikan kapan akan berakhir meskipun lokasi awal wabah dinilai berhasil menghentikan infeksi.

Tingkat kematian yang disebabkan tiga wabah tersebut cukup tinggi di seluruh dunia. Salah satu kelompok yang paling rentan terinfeksi hingga mengalami gejala berat adalah kelompok lanjut usia (lansia) dan orang dengan penyakit bawaan.

Sementara, awal mula virus korona kini menjadi kontroversi dengan saling tuding antara berbagai pihak di China dan AS. Kedua negara memicu munculnya teori konspirasi dari mana virus mematikan ini berasal. Mengutip BBC dan The New York Times, beberapa pihak di China menyebut virus berasal dari AS dibawa oleh tentara AS yang mengikuti Military World Games pada Oktober 2019. Sementara sejumlah pihak di AS menyebut virus berawal dari sebuah laboratorium di Wuhan.

Kelompok rentan

Kelompok lansia memiliki tingkat risiko tinggi saat terjadi wabah penyakit. Tingkat imunitas seseorang berperan dalam penentuan besarnya potensi infeksi seseorang. Selain kaum lansia, orang dengan penyakit bawaan juga memiliki peluang yang serupa.

Tak heran, dalam kasus infeksi virus korona di dunia, orang lansia menyumbang proporsi pasien paling besar. WHO mencatat statistik beberapa negara terkait wabah. Saat SARS muncul pada 2002, Kanada melaporkan setidaknya 83 persen pasien adalah warga berusia lebih dari 60 tahun, sementara China 81,9 persen.

Wabah MERS di Timur Tengah memiliki pola yang sama, persentase orang lansia, lebih dari 50 tahun, yang terinfeksi mencapai sedikitnya 70 persen. Kondisi tersebut serupa dengan tingkat kematian karena infeksi.

Kajian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China pada Februari 2020 melansir, dari 44.762 kasus infeksi di China, usia 50-59 tahun menjadi kelompok terbanyak terinfeksi (22,4 persen). Sementara persentase jumlah kematian mencapai 60,7 persen pada kelompok usia 60-79 tahun.

NIH/Handout via REUTERS
Gambar sel apoptosis (hijau) yang terinfeksi virus SARS-COV-2 (kuning), juga dikenal sebagai virus korona baru, diambil dari sampel pasien di AS.

Sekalipun usia lansia merupakan kelompok rentan, WHO mengingatkan risiko infeksi makin meningkat saat seseorang memasuki usia 40 tahun. Peningkatan risiko ini sejalan dengan kondisi imunitas seseorang yang cenderung menurun dibandingkan usia muda.

Fenomena tersebut, antara lain, disebabkan adanya disregulasi di dalam tubuh manusia yang terkait usia dengan penurunan sistem kekebalan tubuh. Proses penurunan yang masif disebut dengan immunosenescene. Selaras dengan sistem kekebalan yang turun, kerentanan terhadap patogen makin tinggi.

Meskipun kelompok lansia dan orang dengan penyakit bawaan rentan, kewaspadaan harus dimiliki oleh semua orang. Saat ini kita sedang berjuang menghadapi wabah penyakit paling besar selama hampir dua dekade terakhir. Terlebih, pusat pandemi telah bergeser ke Amerika dan Eropa, yang sebelumnya berada di Asia Timur, terutama China.

Semua negara harus bersiap dengan skenario terburuk kedaruratan kesehatan global, yaitu ketidakmampuan mengendalikan infeksi dan korban jiwa. Oleh sebab itu, penelitian lanjutan tentang pandemi yang terjadi saat ini, mulai dari jalur penularan, mutasi virus, hingga vaksin dan pengobatan, harus dilakukan dengan cepat.