Pada zaman kolonial, tepung gandum atau terigu dianggap sebagai komoditas mewah yang bernilai tinggi. Hanya kaum menengah ke atas dan priayi di Hindia Belanda yang bisa menikmatinya dalam berbagai bentuk olahan. Bersamaan dengan itu, tepung lokal juga diproduksi oleh masyarakat daerah.
Kala itu, tepung gandum yang diimpor dari Eropa digunakan sebagai bahan baku untuk membuat roti dan kukis. Sementara penggunaan tepung lokal, seperti tepung beras, pati singkong (tapioka), pati ganyong, dan pati sagu, dimanfaatkan untuk membuat kudapan tradisional. Bahan utama tepung lokal diperoleh dari tumbuhan yang tersedia di sekitar tempat tinggal warga.
Katanya, kuliner bisa menunjukkan strata sosial penikmatnya. Mereka yang mengonsumsi roti dianggap keren dan berkelas, sementara makanan berbahan lokal dianggap udik dan ketinggalan zaman. Seiring waktu, berbagai olahan gandum ternyata lebih digemari, antara lain mi, pasta, dan sereal.
Mungkin, pergeseran selera merupakan salah satu penyebab pangan berbahan tepung lokal kurang diminati. Sampai sekarang, Indonesia masih menjadi pengimpor gandum dari sejumlah negara, antara lain Ukraina, Australia, dan Amerika Serikat. Indonesia tercatat sebagai importir gandum terbesar kedua dunia setelah Mesir (Kompas, 24/2/2022).
Mari berhitung sejenak, sepanjang hari ini, sudah berapa kali Anda mengonsumsi makanan berbahan tepung terigu? Di pagi hari, Anda mengonsumsi sereal, pancake, atau croissant? Lalu, siangnya, Anda menyantap mi goreng, mi ayam, atau pasta? Jelang sore, Anda memesan camilan roti bakar, mi instan, atau martabak manis/terang bulan?
Jika demikian, tanpa disadari, sebagian orang telah terikat pada tepung terigu. Mengutip artikel opini Kompas berjudul ”Badan Pangan Indonesia”, Guru Besar dan Kepala Biotech Center IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat, pada 2050 lebih dari 50 persen kebutuhan pangan pokok Indonesia sudah tergantikan gandum. Analisisnya berdasarkan data proporsi pangan berbasis gandum yang hampir nol persen tahun 1970-an, kemudian melonjak menjadi 18,3 persen pada 2010, dan 26,6 persen di 2020 (Kompas, 9/9/2021).