Menghijaukan Lahan Tailing, Mungkinkah?

Tiupan angin yang membuai dedaunan seolah menyambut siapa pun yang memasuki lahan bekas pasir sisa tambang (tailing) di Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati Maurujaya MP 21. Lahan ini termasuk area kerja PT Freeport Indonesia.

Di lokasi ini terlihat beragam jenis vegetasi berukuran besar nan tinggi yang tumbuh subur. Vegetasi ini menaungi tumbuhan kecil di bawahnya dan menjadi tempat tinggal bagi makhluk hidup lain.

Sorot mata Nurhaidah Iriany Sinaga begitu tajam mengamati vegetasi yang tersebar di lahan tailing ini, Kamis (17/3/2022). Sambil berjalan santai, secara spontan dia menyebutkan nama ilmiah dari tiap vegetasi yang ditemui. Sejenak perempuan yang akrab disapa Ida ini pun bak bernostalgia.

Tahun 2006 pertama kali dirinya menginjakkan kaki di sana untuk mendata perkembangan dan keragaman vegetasi. Dalam ingatannya, kala itu vegetasi belum sebanyak dan seberagam sekarang. Tumbuhan masih didominasi rerumputan dan paku-pakuan.

kompas/totok wijayanto
Lanskap bekas penampungan tailing dari tambang Erstberg yang telah berubah menjadi hutan sekunder di kawasan MP 21, Mapurujaya, Mimika, Papua, Kamis (17/3/2022). Latar belakang kanan adalah aliran Sungai Otomona yang sampai sekarang masih aktif digunakan sebagai area penampungan tailing.

”Dari kejauhan mungkin terlihat seperti padang rumput. Seiring waktu, banyak sekali ragam jenisnya yang tumbuh. Bisa dikatakan hampir semua tumbuhan yang ada di hutan alam bisa hidup di sini,” ujar Ida, ahli botani dan dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Papua itu.

Persepsi awal yang dimiliki Ida tak jauh berbeda dengan sebagian orang bahwa daerah tambang pasti tandus dan panas. Setelah ia melihatnya sendiri, bayangan itu sirna.

Untuk menghijaukan kembali wilayah bekas tambang, Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati Maurujaya MP 21 telah melakukan beberapa program, antara lain reklamasi penanaman bakau, suksesi alami, dan budidaya tanaman pangan.

Sebelum mengelola lahan bekas tailing, tahap penelitian yang dilakukan adalah mengidentifikasi karakteristik tanah. Ini untuk memetakan jenis-jenis tanaman yang bisa hidup dan berkembang di lahan tersebut.

Di sela-sela perbincangan, gerimis mendadak datang tanpa diundang. Cuaca tak menentu memang akrab dengan Mimika. Matahari dan hujan beradu untuk menunjukkan eksistensi masing-masing. Khas cuaca di wilayah hutan hujan tropis. Kondisi yang menciptakan kelembaban tinggi inilah yang mendukung perkembangan vegetasi.

Hingga kini, tercatat lebih dari 900 jenis vegetasi tumbuh di lahan bekas tailing. Jumlah ini meningkat dari pendataan tahun 2006, yaitu 500 jenis tanaman.

Beberapa vegetasi yang tumbuh alami, antara lain benuang (Oktomeles sumatrana), cemara (Casuarina papuana), ketimunan (Timonius timon), beringin (Ficus benjamina), kopian (Glochidion macrocarpum), lonkida (Nauclea orientalis), dan terentang (Chamnosperrma brevipetiolata).

Beberapa tanaman pangan juga bisa ditemui, seperti pisang, gembili, dan Freycinetia (Pandanaceae).

kompas/totok wijayanto
Pembukaan lahan pertanian dalam skala yang lebih luas di dalam kawasan Pusat penelitian dan pengembangan lahan tailing PT Freeport Indonesia di MP 21, Mapurujaya, Kabupaten Mimika, Papua, Kamis (17/3/2022). Di tempat tersebut, tailing dimanfaatkan sebagai media tanam untuk tanaman tomat, sawi, kacang panjang, terong, pisang, dan pepaya.

Ragam ”Freycinetia”

Dalam penelitiannya, Ida mencatat keberadaan 38 spesies Freycinetia yang ditemukan di daerah itu. Keseluruhan spesies itu dibedakan ke dalam empat kelompok taksonomi, yakni berdaun imbricate (kelompok Freycinetia angustissima), berdaun semi-imbricate (kelompok F funicularis), berdaun non-imbricate (kelompok F macrostachya), dan berdaun seperti rumput (kelompok F oblanceolate).

”Jenis ini banyak tumbuh di daerah yang lembab dan dekat dengan pohon besar. Kalau di tempat terbuka yang banyak sinar matahari, dia (Freycinetia) tidak mau. Artinya, kelembaban yang tinggi sangat menunjang pertumbuhannya,” ucap Kepala Laboratorium dan Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Papua itu.

Sebanyak tujuh jenis baru telah diidentifikasi, antara lain Freycinetia circuitaFreycinetia fusiformaFreycinetia imbristigma, dan Freycinetia magnoareola. Tiga jenis di antaranya tumbuh di daerah tailing PT Freeport Indonesia (PTFI), yakni Freycinetia frutaspiralica, Freycinetia frutonumerata, dan Freycinetia ultrapedicellata.

Freycinetia biasa tumbuh menggantung pada pohon atau merambat di batang pohon (climbing pandan). Hutan primer yang lembab dan dekat dengan sungai atau anak sungai merupakan habitat yang baik untuk spesies tersebut.

kompas/totok wijayanto
Tanaman sejenis pandan hutan yang tumbuh subur di lahan pengendapan tailing PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (18/3/2022).

Dijelaskan lebih lanjut dalam publikasi ”The Unique Characters and Habitat of Freycinetia (Pandanaceae) with Seven New Species in Timika Papua” yang dimuat dalam Reinwardtia: A Journal on Taxonomic Botany, Plant Sociology, and Ecology (2013), pandan yang ditemukan ini memiliki segmen beri (segments in a berry) dan stigma tertinggal (stigmatic remains) dengan jumlah terbanyak dibandingkan jenis lain yang pernah ditemukan di Papua. Perbedaan yang terjadi pada pembentukan karakter morfologi ini dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi setiap jenis.

Menurut Ida, hasil penelitian ini akan dilanjutkan oleh para peneliti pangan untuk mengetahui kandungan gizi tanaman. Dengan demikian, potensinya akan dapat digunakan. Selama ini, kelompok pandan dimanfaatkan sebagai produk pangan, seperti sirup, pewarna makanan, dan selai.

Selain itu, Ida meyakini, keanekaragaman kelompok tanaman ini masih banyak yang belum teridentifikasi. Seiring waktu, peralihan status lahan tailing dari padang rumput menjadi hutan sekunder dan berlanjut ke hutan primer turut memengaruhi keragaman spesies di dalamnya.

”Saya excited dan penasaran juga bagaimana kondisi lahan tailing ini sepuluh tahun lagi. Mungkin masih banyak jenis baru yang bisa dideskripsikan,” ucapnya mantap.

 

 

Shrub” atau perdu

Pada tahun 2020, spesies tumbuhan baru yang berhasil diidentifikasi adalah Diplycosia puradyatmikai Mustaqim, Utteridge and Heatubun sp nov. Nama tumbuhan tersebut diambil dari nama belakang Pratita Puradyatmika, General Superintendent of Highland Reclamation and Monitoring PTFI, yang ikut serta dalam penelitian.

Dalam penelitian itu, PTFI berkolaborasi dengan Royal Botanic Gardens Kew (Inggris), Universitas Papua, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, dan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian tersebut dipublikasi dalam jurnal Phytotaxa tahun 2020 berjudul ”A New Species of Diplycosia (Ericaceae) from Mount Jaya, Western New Guinea”. Tanaman ini tumbuh di hutan pegunungan dengan ketinggian 2.700-2.800 meter di atas permukaan laut. Karakteristik daunnya berbentuk bulat, berwarna hijau dengan warna tangkai daun kemerahan, serta diselimuti bulu-bulu halus di sepanjang daun.

Proses penelitiannya membutuhkan waktu lebih kurang 35 tahun sejak awal eksplorasi hingga ditetapkan. Kuncup bunga muda merupakan spesimen pertama tanaman itu yang dikoleksi pada tahun 1985.

Spesimen kedua yang berhasil dikumpulkan pada tahun 1998 adalah bagian buahnya saja. Selanjutnya, berhasil dikumpulkan spesimen-spesimen lain untuk identifikasi lanjutan. Proses mendapatkannya tidak mudah sebab kondisi medan eksplorasi yang berada di ekosistem hutan alpin cukup sulit.

Penelitian ini kemudian mengusulkan diberikannya status konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena spesies ini sangat terancam punah (critically endangered).

Berdasarkan lokasi pengumpulan koleksi, yakni sepanjang jalan Timika ke Tembagapura, daerah ini memiliki intensitas aktivitas manusia yang tinggi dan peluang terjadinya konversi habitat.

Adapun aktivitas rutin karena keberadaan fasilitas listrik PTFI membuat jumlah tanaman induk di daerah itu rentan berkurang akibat aktivitas rutin pembersihan vegetasi. Para peneliti menilai, jika terus berlanjut, kegiatan itu akan berdampak pada penurunan jumlah tanaman induk.

Ada beberapa hal yang dapat mengancam keanekaragaman hayati, antara lain aktivitas manusia yang merusak lingkungan, pembangunan, peralihan lahan, dan perubahan iklim.

Peneliti botani dari Universitas Papua yang turut terlibat dalam penelitian, Prof Charlie D Heatubun, mengatakan, eksplorasi dan penelitian terhadap keanekaragaman hayati merupakan salah satu upaya untuk melestarikan aneka jenis flora atau fauna. Hingga kini, masih banyak spesies tanaman atau hewan yang belum diidentifikasi.

Percepatan pendataan keanekaragaman hayati akan membantu perumusan langkah dan upaya pelestarian. Terlebih jika keberadaan flora dan fauna itu masuk dalam wilayah kerja suatu korporasi. Pendataan tersebut juga akan bermanfaat sebagai landasan korporasi dalam mengelola lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, diharapkan aktivitas manusia dan ekosistem dapat berjalan selaras.

Charlie Hetaubun mencatat, sebanyak 13.634 spesies tumbuhan berpembuluh di Papua sudah terdata. Jumlah ini sebenarnya berpotensi mencapai 15.000 spesies jika kegiatan penelitian dan eksplorasi ditingkatkan.

”Apabila keanekaragaman hayati flora dan fauna punah, identitas dan budaya yang dimiliki masyarakat pun akan hilang,” ucap Charlie, yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat.

Temuan spesies baru katak

Bersama tetumbuhan dan pepohonan, berkembang pula sejumlah makhluk hidup lain, seperti katak, kupu-kupu, dan capung. Salah satunya, temuan spesies baru Litoria lubisi, katak pohon berwarna hijau yang berukuran besar. Spesies ini ditemukan pada tahun 2021. Penamaan lubisi berasal dari nama Rusdian Lubis, Senior VP Bidang Lingkungan dan Keselamatan PTFI.

Hutan dataran rendah menjadi habitat yang baik untuk katak jenis ini. Pada tahun 2006, spesimen pertama dikumpulkan bersamaan dengan kegiatan eksplorasi di hutan rawa sagu dataran rendah Mimika.

Dari atribut morfologinya, awalnya spesies ini diduga merupakan kerabat kelompok L infrafrenata dan marga Litoria. Namun, setelah diidentifikasi lebih jauh, katak tersebut memiliki perbedaan dalam hal kombinasi warna dibandingkan Litoria lain asal Nugini.

Perbedaan ini lebih lanjut dijelaskan dalam ”A New Species of Large Green Treefrog (Litoria, Pelodryadidae) from Papua” (2021). Litoria lubisi dewasa berukuran besar, warna punggung hijau, pada kelenjar paratoid tidak terlihat pupil horizontal, dan tiga selaputnya memanjang hingga ke ujung empat jari.

Warna katak ini lebih mencolok daripada jenis katak hijau lain. Kombinasi warna kuning terdapat di bagian bawah badan dan ujung jari kaki. Sementara bagian perut dan selaput kaki berwarna coklat kemerahan.

Para peneliti mengusulkan status konservasi IUCN untuk spesies ini sebagai data deficient atau kekurangan data terkait minimnya informasi dan risiko kepunahan yang belum diketahui. Sejauh ini, spesies ini hanya diketahui dari satu spesimen. Daerah eksplorasinya merupakan dataran rendah dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah.

Kepiting penyubur bakau

Dari daerah Maurujaya MP 21, kita beralih ke daerah pesisir Muara Ajkwa yang berbatasan dengan Laut Arafura. Di lokasi yang merupakan area kerja PTFI ini, banyak terdapat hutan bakau yang tumbuh secara alami. Ditemukan beragam pohon bakau berukuran besar, antara lain Avicennia marina, Barringtonia asiatica, Camptostemon schultzii, Xylocarpus moluccensis, Ceriops tagal, dan Rhizophora apiculata.

Selain hutan bakau alami, ada pula daratan baru yang sengaja ditanami bibit bakau. Daratan baru itu terbentuk dari hasil pengendapan tailing. Dijelaskan oleh General Superintendent Reclamation Biodervisity and Education Departemen Lingkungan PTFI Roberth Sarwom, tailing adalah pasir sisa tambang yang dihasilkan dari proses pemisahan mineral yang mengandung emas dan tembaga dalam bentuk konsentrat dari batuan lain. Jumlah material berharga yang dimanfaatkan sekitar 3 persen. Sisanya adalah material tailing.

Sistem pengelolaannya disebut pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA). Tailing berupa butiran pasir dan air, dialirkan sepanjang Sungai Otomona yang dalam perjalanannya bertemu dengan Sungai Ajkwa.

Luas total ModADA mencapai 45.000 hektar (ha), yang mencakup 23.000 ha wilayah daratan dan 22.000 ha wilayah estuari. Dari jumlah itu, luas daratan baru atau delta yang terbentuk di muara lebih kurang 1.000 ha.

kompas/totok wijayanto
Area pengendapan tailing PT Freeport Indonesia yang berada di kawasan Muara Sungai Ajkwa, Mimika, Papua, yang sudah mulai hijau karena telah ditanami kembali (revegetasi), Jumat (18/3/2022). PTFI mulai melakukan revegetasi di atas area pengendapatan tailing mulai tahun 2005. Hingga saat ini PTFI telah berhasil menanam kembali diatas lahan pengendapan tailing seluas 450 hektar. Kompas/Totok Wijayanto (TOK)

Penambahan luasan daratan berkisar 0,5-1 ha per tahun. Berdasarkan data Departemen Lingkungan PTFI, sepanjang tahun 2004 hingga 2021, jumlah bibit bakau yang telah ditanam sebanyak 2,6 juta di luasan 450 ha.

Di wilayah ini juga rutin dilakukan pemantauan fauna, seperti di Muara Akjwa, Kamora, sungai-sungai sekitar, dan area lepas pantai.

Dari berbagai fauna yang ada, berhasil diidentifikasi 21 spesies baru kepiting, antara lain Clistocoeloma amamaparense pada tahun 2000, Diogenes foresti (2002), Clibanarius harisi (2003), Amarinus pristes (2004), Haberma kamora (2005), Neosarmatium papuense (2006), Macrophthalmus fusculatus (2012), Mariaplax cyrtophallus (2018), dan Elamenopsis gracilipes (2019). Beberapa spesies hanya ditemukan di Tanah Papua.

Penelitian ini melibatkan sejumlah peneliti. Salah satunya, Prof Dwi Listyo Rahayu dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menekuni ragam jenis kepiting atau Brachyura di lokasi itu sejak tahun 1999.

Spesimen yang dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan dicocokkan dengan jenis lain. Pada tahun 2020, dua jenis baru yang berhasil diidentifikasi adalah Typhlocarcinops robustus dan Typhlocarcinops raoli.

Kepiting berperan dalam menyuburkan bakau dengan mengurai daun-daun yang jatuh menjadi serasah dan menambah oksigen pada akar-akar bakau. Lubang-lubang di sekitar daratan itu mungkin saja merupakan sarang kepiting. Setiap jenis kepiting yang ditemukan memiliki keistimewaan masing-masing.

Misalnya, Neodorippe simplex yang terkadang berenang terbalik di antara tanaman yang mengapung (floating leaves). Dua dari total sembilan spesies kepiting bermarga Paracleistostoma juga hanya ditemukan di Papua, yakni Paracleistostoma laciniatum dan Paracleistostoma quadratum.

Bakau menjadi habitat yang baik untuk kepiting, kadal, kerang, burung, dan ikan. Hubungan di antara mereka tak terpisahkan dan saling membutuhkan. Oleh sebab itu, penanaman bakau di pengendapan tailing sangat penting demi keberlangsungan makhluk di sekitarnya.

Menurut Prof Dwi Listyo, tailing tidak berpengaruh terhadap keberadaan kepiting. Sebab, kelompok krustasea itu cenderung mobile dan stocky sehingga hanya bergeser ke daerah lain yang lebih sesuai.

kompas/totok wijayanto
Pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) menunjukkan kepiting yang berhasil mereka tangkap di kawasan Muara Sungai Ajkwa, Mimika, Papua, Jumat (18/3/2022). Kepiting tersebut bersarang di antara akar pohon bakau yang tumbuh di lahan pengendapan tailing.

Kadal si pengendali serangga

Selain kepiting, ditemukan juga kadal spesies baru, yaitu Carlia caesius, pada tahun 2006. Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Zootaxa berjudul ”New Carlia Fusca Complex Lizards (Reptilia: Squamata: Scincidae) from New Guinea, Papua Indonesia” (2006).

Dijelaskan lebih lanjut, spesimen awal dari angggota kompleks C fusca ini dikoleksi pertama kali pada tahun 1997. Keunikan yang menonjol adalah tubuhnya terdiri atas beberapa kombinasi warna, yakni biru turqoise yang terdapat di bagian punggung, kepala, hingga leher. Aksila dan tungkai depannya berwarna oranye kemerahan cerah. Pada sisik bagian punggung terdapat bintik-bintik terang berwarna kuning kehijauan.

Spesies itu kerap terlihat berjemur di bawah sinar matahari di dataran rendah primer atau sekunder di hutan hujan Timika. Lokasi habitatnya dipenuhi pohon-pohon besar yang menyerupai kanopi pelindung setinggi 30-35 meter, seperti Celtis (Ulmaceae), Syzygium (Myrtaceae), Octomeles (Datiscaceae), dan Pometia (Sapindaceae). Selain itu, Carlia caesius juga bisa dijumpai di luar habitatnya, seperti pinggiran desa dan pembukaan kebun.

Pemantauan reptil dilakukan secara rutin di sini. Spesimen yang dikoleksi pun dideskripsikan dan dibandingkan dengan jenis lain (identifikasi morfologi).

jurnal zootaxa
Temuan kadal spesies baru Carlia caesius seperti dimuat dalam artikel jurnal berjudul ”New Carlia Fusca Complex Lizards (Reptilia: Squamata: Scincidae) from New Guinea, Papua Indonesia” (2006).

Pemantauan terakhir dilakukan Februari 2020 oleh Amir Hamidy, peneliti herpetologi dari BRIN. Selama dua hari, dia dan timnya bermalam di muara Ajkwa untuk melakukan eksplorasi dan pengumpulan spesimen. Setiap dua jam sekali dilakukan pemantauan terhadap puluhan perangkap (glue trap) yang tersebar di sejumlah lokasi.

Amir menilai, kondisi hutan bakau di daerah ini tergolong bagus dan menjadi habitat yang sesuai untuk kadal. Dalam keseimbangan ekosistem rantai makanan, kadal merupakan pengendali populasi serangga.

Hewan ini berperan sebagai predator yang aktif berburu ragam serangga yang terdapat di lumpur, tanah, dan rumput. Keberadaannya sangat penting untuk mencegah terjadinya ledakan populasi serangga. Jika kadal menghilang, burung dan ular sebagai predator hewan ini akan kesulitan mendapatkan pakan.

Di Indonesia terdapat lebih dari 700 jenis reptil di Indonesia, seperti ular, kadal, buaya, dan kura-kura. Lima puluh persennya adalah kadal, yang mayoritas ditemukan di Indonesia bagian timur. Di luar itu, masih banyak potensi jenis baru yang belum diungkap.

jurnal zootaxa
Kadal Carlia bomberai yang ditemukan di wilayah Pulau Papua seperti termuat dalam artikel jurnal berjudul ”New Carlia Fusca Complex Lizards (Reptilia: Squamata: Scincidae) from New Guinea, Papua Indonesia” (2006).

Upaya penghijauan

Secara umum, penelitian keanekaragaman hayati oleh PTFI telah dilakukan sejak tahun 1997. Upaya ini bagian dari merawat lingkungan di sekitarnya. Koordinator Fauna Monitoring Departemen Lingkungan PTFI Kukuh Indra Kusuma mengatakan, penelitian tersebut bukan hanya untuk mengidentifikasi spesies baru, tetapi juga sebagai landasan untuk mengelola lingkungan yang lebih baik lagi.

”Potensi besar yang ada di wilayah ini kian memotivasi kami untuk merawat lingkungan sebaik mungkin. Adanya suspect baru fauna atau flora menunjukkan bahwa kegiatan manusia bisa berdampingan dengan mereka,” ucap Kukuh.

Selain itu, konservasi satwa juga dilakukan oleh PTFI di Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati Maurujaya MP 21. Satwa-satwa itu berasal dari hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua, temuan di lapangan, atau sumbangan dari masyarakat.

Sebelum dilepas ke habitat aslinya, hewan yang terluka akan dirawat sampai pulih betul. Begitu pun dengan satwa yang menunjukkan perilaku tak semestinya. Saat kondisinya siap, barulah mereka akan dilepaskan ke alam.

Saat ini, PTFI sedang merawat 29 satwa, yakni burung, kura-kura moncong babi, dan kasuari. Sejauh ini, telah lebih dari 50.000 ekor satwa dirilis ke habitat aslinya, antara lain buaya, kura-kura moncong babi, dan kanguru kecil.

Lingkungan yang dikelola dengan baik pada gilirannya akan menjadi habitat yang baik pula bagi perkembangan makhluk hidup. Untuk mewujudkan hal itu, akan banyak tantangan menanti. Akan tetapi, tak semestinya dihindari, melainkan menjadi pemacu untuk mengelola ”dunia hijau” sebaik mungkin.