Pada 2016 lalu, sekelompok tokoh dunia seperti Stephen Hawkins, Bill Gates, dan Elon Musk mendapat gelar Luddite Award dari sebuah lembaga think tank teknologi karena memperingatkan bahaya kecerdasan buatan. Mereka dianggap pantas mendapatkan “penghargaan” dari lembaga bernama Information Technology and Innovation Foundation (ITIF) itu karena dinilai menjadi kelompok “alarmist” .
Tokoh-tokoh terkenal yang berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan dan industri teknologi itu dianggap menimbulkan ketakutan dan histeria, dengan membunyikan alarm bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat menyebabkan malapetaka bagi umat manusia. ITIF berargumen bahwa kecemasan semacam itu mengalihkan perhatian dari manfaat besar yang dapat ditawarkan AI kepada masyarakat—dan, lebih buruk lagi, kepanikan yang tidak perlu dapat mencegah kemajuan AI dengan mengecilkan investasi publik dan swasta yang lebih besar.
Istilah “Luddite” sendiri muncul di Inggris awal 1800-an. Pada saat itu ada industri tekstil yang berkembang pesat bergantung pada alat rajutan manual dan tenaga kerja terampil untuk membuat kain. Tetapi ketika Revolusi Industri semakin meningkat, pabrik bertenaga uap mengancam mata pencaharian ribuan pekerja tekstil itu.
Menghadapi masa depan industri yang mengancam pekerjaan dan identitas profesional mereka, banyak pekerja tekstil yang melakukan protes. Dipimpin oleh Ned Ludd, mereka mulai menghancurkan mesin-mesin yang mereka anggap merampok sumber pendapatan mereka.
Tidak jelas apakah Ned Ludd adalah orang sungguhan, atau hanya mitos yang ditemukan selama periode pergolakan. Menurut laman Merriam-Webster, nama itu kemudian menjadi identik dengan orang atau kelompok yang menolak munculnya teknologi baru. Nama Luddite kemudian menjadi semacam sebutan “hinaan” bagi orang yang takut dengan inovasi.
Di era kecerdasan buatan generatif seperti ChatGPT saat ini, apakah kita lantas akan disebut juga sebagai Luddite jika merasa khawatir pekerjaan kita akan diambil alih oleh AI?
Kekhwatiran itu beralasan. Berdasar analisa tim jurnalisme data Kompas, sebagian pekerjaan memang ada yang bisa diambil alih oleh AI. Sementara banyak jenis pekerjaan yang juga terpapar oleh kecerdasan buatan.
Kekhawatiran itu misalnya dirasakan oleh Maria (22), mahasiswa semester akhir jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung. Ia merasa cita-citanya untuk menjadi analis data, akan terhapus begitu saja. Padahal saat masuk kuliah, Maria percaya diri bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah sesuai dengan cita-citanya tersebut.