Menjaga Spirit Haornas di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan manusia. Namun, di balik tragedi itu, pandemi menghidupkan kembali spirit olahraga yang sempat lama mati suri.

Tahun 2020 bisa dikatakan sebagai annus horribilis, tahun yang mengerikan. Ekonomi nyaris lumpuh, warga di berbagai belahan dunia pun dilanda ketakutan akan virus korona baru yang tidak kasatmata. Orang-orang kehilangan pekerjaan, kerabat, teman, bahkan keluarga yang dicintainya. Publik olahraga di Tanah Air pun kehilangan dua tokohnya, legenda renang Lukman Niode dan mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur, yang berpulang setelah mengalami komplikasi kesehatan akibat terinfeksi korona baru.

Niode, yang berpulang pada 17 April 2020, adalah simbol kejayaan olahraga nasional, khususnya renang, di masa silam. Sejumlah medali dan rekor, baik di level nasional maupun Asia, telah ia raih. Setali tiga uang, nama Abdul Gafur tidak kalah harum. Dokter militer yang tutup usia pada Jumat (4/9/2020) lalu di RSPAD Gatot Soebroto itu merupakan peletak tonggak penting dalam sejarah olahraga nasional.

Gafur adalah tokoh militer sekaligus politik di masa Orde Baru yang ikut membidani lahirnya Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang diperingati setiap 9 September, mulai 1983 silam. Kala itu, ia menjabat Menegpora pertama setelah departemen itu ditiadakan 17 tahun. Lahirnya Haornas itu menegaskan upaya pemerintah kala itu, yang dipimpin Presiden Soeharto, menjadikan olahraga sebagai pembentuk karakter dan budi pekerti bangsa.

Upaya yang sebetulnya telah diiniasi Presiden pertama RI, Soekarno—ketika menggelar Asian Games Jakarta 1962—itu sejalan dengan kemunculan slogan ”mengolahragakan masyarakat dan memasyaratkan olahraga”. Slogan yang muncul tahun 1981 itu lantas dikenal sebagai Panji Olahraga. Kala itu, olahraga dikondisikan pemerintah sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat. ”Tiap Jumat pagi, sekolah-sekolah menggelar SKJ (senam kesehatan jasmani). Begitu pula dengan PNS,” ujar Alexia Deasy (35), warga Jakarta, mengenang masa-masa itu.

Dalam buku berjudul MF Siregar, Matahari Olahraga Indonesia yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, 2008, diungkapkan bahwa kemunculan Panji Olahraga itu berawal dari Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) di Stadion Madya Senayan, Juni 1980. Siregar, tokoh olahraga nasional yang kala itu menjadi ketua panitia penyelenggara POPSI, berbincang dengan Soeharto yang duduk di sebelahnya.

”Pak Siregar, itu atlet-atlet dari Kupang kenapa tidak pakai sepatu?” kata Soeharto. ”Di sana sudah biasa, Pak. Jangankan sepatu untuk olahraga, Pak, mereka juga tidak pakai sepatu di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari,” jawab Siregar kemudian.

”Oh, jadi itu sebabnya. Berarti mereka sudah terbiasa jalan dan lari tanpa sepatu? Secara tidak langsung, kegiatan lari sudah memasyarakat di sana, ya?” tanya Soeharto kembali. ”Betul itu, Pak. Jadi, olahraga di tahap awal memang harus memasyarakat,” balas Siregar. ”Lantas, bagaimana bentuknya, Pak Siregar?” tanya Soeharto kemudian yang lantas membuat Siregar bekerja siang malam menyusun konsep pengembangan olahraga nasional hingga lahirnya Panji Olahraga.