Sejarah tradisi Patekoan di wilayah Glodok menjadi ide untuk membuat ”Rumah Teh”. Selain menjadi tempat untuk menikmati teh, Pantjoran Tea House juga menjadi tempat edukasi tentang teh dan sejarahnya.
Di ujung Jalan Pancoran Raya, Glodok, Jakarta Barat, terdapat kompleks pertokoan yang dikenal sebagai pintu gerbang kawasan pecinan Glodok. Tepat di ujung paling depan terdapat tempat di mana tradisi berbagi dan menjaga kebersamaan dihidupkan kembali. Air teh di dalam delapan teko diberikan secara gratis kepada siapa pun yang berkunjung di kawasan tersebut.
Gedung yang dibangun sekitar tahun 1900 ini pada awalnya bernama Winkel The Lun Tai (toko pojok milik The Lun Thai). Pada 1928, gedung ini digunakan untuk menjual obat tradisional dengan nama Apotek Chung Hwa dan menjadi toko obat tertua kedua setelah Tai San Ho. Pada 1930 kawasan tersebut berkembang menjadi pusat pengobatan tradisional.
Bangunan bekas Apotek Chung Hwa yang khas menjadi salah satu landmark di kawasan Glodok dan Kota Tua Jakarta. pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkerja sama dengan PT Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) menetapkan bangunan ini sebagai salah satu yang direvitalisasi. Usulan tersebut diinisiasi oleh Lin Che Wei, CEO JOTRC saat itu.
Pemugaran bangunan ini memakan waktu sekitar 8,5 bulan, dan selesai pada 15 Desember 2015. Pemugaran cukup berat karena hanya 20% dari bangunan asli yang tersisa. Bentuk arsitektur bangunan kolonial tetap dipertahankan.
Sejarah tradisi Patekoan di wilayah Glodok menjadi ide untuk membuat ”Rumah Teh”. Selain menjadi tempat untuk menikmati teh, Pantjoran Tea House juga menjadi tempat edukasi tentang teh dan sejarahnya yang menjadi bagian dari kisah pecinan di Batavia. Semua teh di rumah teh ini dipetik langsung dari China, Taiwan, dan Indonesia, dengan pilihan jenis teh hijau sampai dong ding.
Penyajian teh gratis terinspirasi dari kisah kebaikan Kapiten China ketiga di Batavia (1653-1666) Gan Djie dan istrinya. Di bagian depan kantor kapiten seringkali menjadi tempat berteduh pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan di jalan karena hawa panas Batavia. Mereka sulit sekali mendapatkan air untuk minum. Melihat hal ini, istri Gan Djie (Nyai Gan Djie) mengusulkan pada suaminya untuk menyediakan air teh di depan kantor.
Tradisi ini disebut ”Patekoan” yang berasal dari kata Mandarin, ”pa” (delapan) dan ”tekoan” (teko). Angka delapan secara filosofis dianggap sebagai angka keberuntungan karena bentuknya yang tak pernah putus. Harapannya, teh dari patekoan ini akan membawa keberuntungan, baik bagi yang menyajikan maupun yang meminum.
Selain tradisi Patekoan, Pantjoran Tea House juga merawat tradisi gongfu cha, yakni tata cara minum teh secara tradisional.
Tradisi ini biasanya dilakukan untuk permintaan maaf, menghormati orang yang lebih tua, atau menyatukan dua keluarga dalam acara lamaran (sanjit).